Peran Desa
Awal bulan Juli, Kementerian Pariwisata menggandeng Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) untuk bekerja sama mendorong percepatan pengembangan desa wisata dan rumah inap berbasis teknologi.
Mengapa desa yang digandeng sebagai pendorong? Bukankah infrastruktur dan fasilitas di desa masih terbatas?
Desa bisa membuktikan kemampuannya menjadi magnet bagi pariwisata. Misalnya, Gua Pindul di Gunung Kidul (DI Yogyakarta) dan mata air Desa Ponggok di Klaten (Jawa Tengah). Masyarakatnya membuktikan desa mereka mampu menjadi motor pendorong bagi pertumbuhan pariwisata.
Pariwisata Gua Pindul berkembang pesat ketika warga desa melihat gua kapur yang ada di desa mereka bisa dijadikan obyek pariwisata selusur gua dengan pelampung. Wisata Gua Pindul kini menjadi salah satu obyek wisata favorit. Siapkan diri untuk menghadapi antrean pengunjung di musim liburan.
Bagi warga Desa Bejiharjo, Kecamatan Karangmojo, Kabupaten Gunung Kidul, keberadaan wisata Gua Pindul mengubah kondisi ekonomi mereka. Warga yang semula mengandalkan hidup dari bertani, kini bisa menjadi pemandu wisata.
Ada yang membuka rumah inap, membuka warung makan, dan menjual cinderamata. Di bawah pimpinan Badan Usaha Milik Desa Maju Mandiri, penghasilan obyek wisata itu mencapai Rp 5,8 miliar per tahun. Selain mengelola Gua Pindul, badan usaha ini juga mengelola sampah, pasar desa, usaha persewaan, dan simpan pinjam.
Dampak lain, urbanisasi bisa ditekan. BUM Desa Maju Mandiri bekerja sama dengan 11 kelompok sadar wisata, melayani wisatawan dan mempekerjakan 2.000 tenaga kerja. Selama tiga tahun beroperasi, kegiatan ini menekan angka kemiskinan, dari 23,2 persen menjadi 18,3 persen.
Adapun Desa Ponggok, Klaten, baru-baru ini mendapat penghargaan dari Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Kepala Desa Ponggok Junaedhi Mulyono dinilai berhasil mengubah desa miskin ini menjadi desa berpenghasilan belasan miliar rupiah per tahun.
Pendapatan Desa Ponggok pada 2016 sebesar Rp 10 miliar, yang pada 2017 mencapai 12 miliar. Padahal, pada 2006, penghasilan Desa Ponggok Rp 80 juta per tahun.
Junaedhi meminta bantuan dari Universitas Gajah Mada Yogyakarta untuk menemukan dan menggali berbagai potensi di desanya. Ada tiga kelompok mahasiswa yang dikirim untuk mencari kekurangan Desa Ponggok, namun juga menemukan potensi desa dan cara mengembangkannya.
Akhirnya, ditemukan wisata mata air. Wisatawan diajak berenang dan menyelam di kolam mata air yang penuh ikan, kemudian berfoto di dalam air. Foto-foto di bawah air yang jernih penuh ikan viral di dunia maya. Desa Ponggok pun ramai didatangi wisatawan.
Keberhasilan dalam mengelola wisata itu bisa diduplikasi desa-desa lain. Apkasi, dengan dukungan Kementerian Pariwisata, kini sedang menggarap kawasan wisata lintas batas. Harapannya, devisa akan mengalir deras dari wisatawan mancanegara pelintas batas.
Desa yang berbatasan dengan Malaysia didorong untuk maju. Pariwisata di Atambua, Nusa Tenggara Timur, juga dikembangkan untuk menjaring wisatawan Timor Leste.
Berkaca dari keberhasilan Banyuwangi (Jawa Timur) dalam mengembangkan pariwisata, desa-desa akan didorong menggunakan teknologi. Di Banyuwangi, ada 400 rumah inap yang sudah terdaftar di platform dalam jaringan, sehingga memudahkan wisman memperoleh akomodasi.
Mencari dan mengembangkan potensi lokal, memanfaatkan teknologi, dan dipandu pemimpin yang berkomitmen, maka desa akan menjadi kekekuatan ekonomi baru yang dahsyat. Begitu juga desa-desa di perbatasan, bisa menjadi sentra ekonomi baru Indonesia. (M Clara Wresti)