Seperti Apa Kriteria Ibu Kota di Era JP Coen?
Tidak mudah menentukan sebuah lokasi ibu kota pemerintahan. Empat abad silam, JP Coen mencari lokasi pengganti Ambon yang dinilai tak strategis sebagai pusat kongsi dagang Belanda (VOC). Kriteria yang ditentukan tidak jauh berbeda dengan upaya Pemerintah Indonesia saat ini dalam mengkaji calon pengganti Jakarta.
Perlu kajian matang untuk menentukan lokasi ibu kota negara. Hal ini mengingat kedudukan dan peran yang dijalani ibu kota. Sebagai pusat pemerintahan, ibu kota menyandang atribut sebagai tempat penting sebuah pusat kekuasaan yang mengendalikan seluruh jalannya pemerintahan di sebuah negara.
Selain itu, dalam relasinya ke luar, ibu kota juga tempat kedudukan perwakilan negara-negara lain serta kantor perwakilan lembaga internasional. Mengingat pentingnya atribut tersebut, tidak heran jika penentuan lokasi ibu kota negara memerlukan pertimbangan dan kajian mendalam.
Baca juga: Jejak Belanda Tidak Hanya Ada di Jakarta
Rencana memindahkan ibu kota bukan hal baru bagi Indonesia. Sejak era Presiden Soekarno hingga Presiden Joko Widodo, beragam bentuk gagasan dan rencana dimunculkan. Dalam rencana pemindahan selalu dimunculkan kriteria yang harus dipenuhi daerah/kota calon pengganti Jakarta.
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas mengemukakan tujuh kriteria daerah pengganti ibu kota. Kriteria yang disampaikan pada Mei 2019 itu antara lain meliputi aspek keamanan dari ancaman bencana dan ancaman keamanan nasional, aksesibilitas, ketersediaan sumber daya alam, serta kesiapan aspek sosiologis masyarakat yang mendiami lokasi calon ibu kota.
Ditilik dari aspek sejarah, ibu kota Indonesia tercatat beberapa kali mengalami pindah ke beberapa lokasi di masa pasca-kemerdekaan. Di era perjuangan mempertahankan kemerdekaan, ibu kota pindah dari Jakarta ke Yogyakarta pada 4 Januari 1946. Pertimbangannya adalah faktor keamanan karena saat itu Jakarta dikuasai Belanda yang gencar-gencarnya melakukan agresi militer.
Dua tahun berikutnya, ibu kota kembali dipindah. Lagi-lagi karena faktor keamanan, juga akibat agresi militer yang dilakukan Belanda. Pemerintah Indonesia memindahkan ibu kota dari Yogyakarta ke Bukittinggi pada 19 Desember 1948.
Kepindahan dua kali ibu kota pada masa awal kemerdekaan didorong aspek keamanan yang mendesak. Kepindahan pusat pemerintahan republik hanya bersifat sementara. Setelah keamanan di Indonesia pulih, ibu kota kembali ke Jakarta.
Batavia punya apa?
Faktor keamanan menjadi salah satu kriteria utama yang harus dipenuhi sebuah predikat ibu kota. Faktor ini menjadi penopang ibu kota yang berperan bukan hanya sebagai pusat pemerintahan, melainkan juga sebagai pusat ekonomi.
Menelisik pemilihan ibu kota empat abad silam, pencarian lokasi ibu kota tidak dapat dilepaskan dari dua fungsi tersebut, sebagai kawasan pusat pemerintahan dan pusat ekonomi. Hal inilah yang menjadi landasan bagi pimpinan Kongsi Dagang Hindia Timur milik Belanda (VOC) menetapkan Batavia sebagai ibu kota.
VOC merebut Jayakarta dan kemudian mengubah namanya menjadi Batavia pada tahun 1619. Dari sekian tempat di Nusantara, pemilihan Batavia oleh VOC menarik untuk dikaji. Sebenarnya, apa yang dimiliki Jakarta sehingga menarik JP Coen, Gubernur Jenderal VOC (1617-1623), memindahkan pusat perdagangan dari Maluku ke Batavia?
Kriteria apa saja yang ada di benak JP Coen dalam pemilihan pusat pemerintahan dan perdagangan VOC di Nusantara? Lebih jauh lagi, bagaimana aktualisasi kriteria ibu kota yang ideal menurut JP Coen dengan pandangan dari Bappenas saat ini?
Secara geografis, letak Sunda Kelapa, nama tertua Jakarta, cukup strategis untuk melayani jalur perdagangan antarpulau dan internasional. Sunda Kelapa terletak tidak jauh dari Selat Sunda dan Selat Malaka. Kapal-kapal dagang dari Asia dan Timur Jauh (China dan Kepulauan Jepang) dapat bersandar di Batavia dengan jarak yang terjangkau.
Adolf Heuken SJ dalam buku Sumber-sumber Asli Sejarah Jakarta Jilid II (2000) menyebutkan, Sunda Kelapa merupakan pelabuhan utama Kerajaan Hindu Sunda. Pelabuhan ini disinggahi kapal-kapal dari Palembang, Tanjungpura, Malaka, Makassar, dan Madura. Bahkan, kapal dagang internasional dari India, China Selatan, dan Kepulauan Ryuku (sekarang Jepang) singgah di pelabuhan ini.
Pelabuhan Sunda Kalapa memiliki sumber air minum yang layak dari Sungai Ciliwung. Kali Ciliwung mengalirkan air segar dari gunung di daerah selatan yang diselimuti hamparan hutan lebat.
JP Coen melirik Batavia yang memenuhi empat kriterianya. Untuk dijadikan sebagai ibu kota, Batavia memiliki daya dukung alam wilayah, terutama sumber daya air.
Selain itu, Sunda Kalapa juga terkenal sebagai pelabuhan tempat para awak kapal mengisi perbekalan sebelum melanjutkan perjalanan ke timur atau ke barat. Dari pelabuhan ini juga dapat dibeli komoditas berharga saat itu, yakni rempah-rempah.
Merujuk keterangan Heuken, aneka bahan makanan antara lain beras, kelapa, buah-buahan, dan ayam tersedia dalam jumlah besar di Sunda Kalapa dengan harga lebih murah daripada di Banten.
Selain dari segi geografis, daya tarik Jakarta di abad ke-14 adalah dari aspek ketersediaan perbekalan bagi awak kapal yang hendak melanjutkan perjalanan. Ketersediaan sumber daya alam yang melimpah menjadikan pelabuhan di Teluk Jakarta ini disukai para pelaut.
Kriteria
Maluku, pusat VOC sebelum Batavia, dinilai Gubernur Jenderal VOC, Jan Pieterszoon Coen, letaknya terlalu di timur. Jaraknya jauh untuk mencapai Selat Malaka yang merupakan celah jalur perdagangan internasional. Jauh dari pusat jalur perniagaan membuat potensi perdagangan VOC tidak bisa bersaing dengan kongsi dagang dunia.
Selat Malaka yang terletak di perairan antara Pulau Sumatera dan Semenanjung Malaka merupakan urat nadi lalu lintas perdagangan yang menghubungkan Asia Barat dan Asia Timur.
Letak Maluku yang kurang strategis membuat JP Coen mencari pengganti ibu kota bagi VOC. Ia mengungkapkan setidaknya empat kriteria calon lokasi pusat VOC di Hindia Timur. Pertama, lokasi aman dan cukup mudah dipertahankan jika terjadi serangan militer.
Kriteria kedua, sebaiknya wilayah tersebut tidak berada di bawah kekuasaan raja-raja pribumi. Syarat ketiga, lokasi harus cocok untuk menyimpan perbekalan serta komoditas yang didatangkan dari wilayah Asia dan selanjutnya dikirim ke Eropa. Artinya, lokasi harus mendukung kemudahan distribusi komoditas yang diperdagangkan VOC.
Syarat keempat adalah lokasi harus berfungsi sekaligus sebagai pusat administrasi dan pemerintahan VOC yang mengurusi area perdagangan hingga Timur Jauh. Perdagangan menjadi kepentingan utama VOC bergeliat di Nusantara hingga Timur Jauh dalam kurun 1600 hingga bangkrutnya VOC pada 1799.
JP Coen melirik Batavia yang memenuhi empat kriterianya. Untuk dijadikan sebagai ibu kota, Batavia memiliki daya dukung alam wilayah, terutama sumber daya air.
Air bersih mengalir dari Gunung Salak di selatan Batavia melalui Sungai Ciliwung. Hutan di sekitar kota masih lebat dan dapat dimanfaatkan untuk keperluan bahan membangun kota.
Dari sisi pertahanan militer, lokasi Batavia juga sangat menguntungkan karena terletak di teluk dan terdapat pulau-pulau kecil yang tersebar di Kepulauan Seribu yang dapat memperkuat basis pertahanan.
Baca juga: Kilang Gula Batavia
Aspek kemudahan distribusi komoditas juga dipenuhi Batavia yang relatif dekat dengan Selat Malaka jika dibandingkan dengan melewati Selat Makassar atau Selat Lombok.
Satu-satunya kendala menjadikan Batavia sebagai ibu kota adalah penguasaan raja pribumi. Kala itu wilayah yang diingini JP Coen masih dikuasai Pangeran Jayawikarta yang jadi bagian dari Kesultanan Banten.
JP Coen bertekad merebut Jayakarta dengan agresi militer. Hal ini dipandang sebagai langkah yang efisien karena dapat menghemat uang, waktu, serta menghindari upaya tawar-menawar yang berkepanjangan. Coen melihat satu-satunya cara mewujudkan ”ibu kota” VOC secara ekonomis adalah dengan merebut Jayakarta dari tangan Pangeran Jayawikarta (Heuken, 2000, hal 76).
Pada 1619, JP Coen menyerang pasukan Banten dan membumihanguskan Jayakarta. Sejak itu Jayakarta berubah namanya menjadi kota Batavia dan VOC membangun kastil Batavia di sisi timur Kali Besar sebagai benteng utama.
Tak banyak berubah
Bergulirnya kembali wacana pemindahan ibu kota Republik Indonesia, mengingatkan kembali pemikiran JP Coen saat menentukan Batavia sebagai pusat pemerintahan VOC.
Lebih dari empat abad silam JP Coen mengemukakan empat kriteria pusat perdagangan dan pemerintahan VOC di Hindia Timur. Awal Mei 2019, Bappenas mengungkap setidaknya tujuh kriteria yang harus dipenuhi oleh lokasi pengganti ibu kota.
Terdapat beberapa kesamaan dan perbedaan antara kriteria dari JP Coen dengan Bappenas. Kriteria yang sama antara lain; pertama, tentang lokasi yang strategis dari aspek koneksivitas maritim.
Kedua, dekat dengan kota yang sudah berkembang. Alasan ketiga, berada di tengah wilayah negara. Keempat, memenuhi parameter keamanan dan pertahanan. Kelima, tersedia sumber daya air bersih yang cukup dan bebas dari pencemaran.
Syarat keenam, bebas dari bencana alam. Coen tidak secara eksplisit menyebutkan hal ini dalam kriterianya. Namun, pada syarat ketiga, Coen menyebutkan, ”lokasi harus cocok untuk menyimpan perbekalan dan barang dagangan” dapat dilihat sebagai faktor aman dari bencana alam yang dapat menimbulkan kerugian bagi VOC.
Satu-satunya perbedaan adalah pada syarat ketujuh ”Penduduk setempat memiliki budaya terbuka kepada pendatang dan potensi konflik sosial rendah”. Namun secara umum, kriteria ideal ibu kota yang terpisah rentang waktu 400 tahun tidaklah banyak berubah.
Gagasan besar pemindahan ibu kota yang dilakukan di dua era yang berbeda memiliki titik tolak yang sama, yaitu pengembangan Negara. Keduanya juga melihat lanskap potensi Indonesia dan tantangan di masa depan.
Baca juga: Ironi Negeri Bahari
Baik JP Coen maupun Bappenas melihat aspek sebagai Negara maritim, wilayah Indonesia harus terhubung melalui jalur laut dan perairan. Titik sentralnya adalah strategis secara konektivitas laut. Gagasan ini relevan dengan program tol laut yang dikembangkan pemerintah saat ini sebagai sarana pemerataan pembangunan dan perekonomian.
Menyandang predikat negara kepulauan, pelayaran nasional adalah lokomotif logistik nasional dan moda transportasi nasional massal yang paling efisien untuk angkutan komoditas.
Artinya, sejak era kapal layar antar pulau dan antar negara hingga era kapal modern saat ini, transportasi laut menjadi sarana mobilitas dan pengiriman logistik paling efisien. Inilah potensi besar bangsa Indonesia yang memiliki 13.466 pulau yang terhubung oleh berbagai selat dan laut yang layak dipertimbangkan untuk menentukan lokasi ibu kota. (LITBANG KOMPAS)