Sidang MK Sebagian Permohonan Lemah
JAKARTA, KOMPAS - Sebagian permohonan sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum di Mahkamah Konstitusi dinilai lemah. Hal ini diduga karena tidak disiapkannya bukti-bukti dan segala sesuatunya terkait permohonan itu sejak awal.
Hakim konstitusi Arief Hidayat dalam persidangan di Ruang Panel 1 Mahkamah Konstitusi pada Kamis (11/7/2019) menyebutkan hal tersebut. Ia juga mengingatkan bahwa terkait hal itu, sesungguhnya ada peran saksi yang bisa dimaksimalkan sejak awal.
Arief menyatakan, itulah alasan keberadaan saksi dari tingkat TPS hingga proses rekapitulasi di provinsi. Ia menambahkan, peran saksi di antaranya untuk mengumpulkan bahan sejak awal sebelum sengketa PHPU diajukan ke MK.
Pada persidangan di Ruang Panel 1 yang diketuai Anwar Usman dengan Enny Nurbaningsih sebagai anggota majelis hakim konstitusi itu, Arief juga menyoroti petitum atau tuntutan dari sebagian pemohon yang dianggap tidak jelas. Selain itu, ia juga menggarisbawahi sejumlah banyak bukti yang baru diajukan pemohon dalam persidangan tersebut.
Selain mempersoalkan mepetnya waktu untuk memverifikasi bukti-bukti tersebut, Arief juga mengingatkan tentang sebagian bukti yang ternyata belum diklasifikasi oleh sebagian pemohon. Arief juga mempertanyakan bagaimana bisa bukti-bukti tersebut diverifikasi tanpa pengelompokkan yang jelas.
Pada hari ke-3 sidang pendahuluan itu, MK kembali membagi tiga panel yang melakukan persidangan secara terpisah. Panel 1 memeriksa 25 perkara dari Sumatera Utara dan Papua Barat. Panel 2 memeriksa 26 perkara yang berasal dari Maluku, Gorontalo, DI Yogyakarta, dan Kepulauan Riau. Sementara Panel 3 memeriksa 22 perkara dari Sumatera Barat, Sulawesi Tenggara, dan Kalimantan Timur.
Dengan demikian terdapat 73 perkara yang diperiksa dalam persidangan Kamis itu. Sebelumnya pada Rabu (10/7/2019) ada 64 perkara yang diperiksa. Adapun pada sidang perdana pada Selasa (9/7/2019), juga terdapat 64 perkara yang diperiksa.
Komisioner KPU Hasyim Asy’ari sehari sebelumnya mengatakan bahwa pihaknya akan menentukan perlu atau tidaknya menghadirkan saksi setelah mendengarkan pembacaan jawaban KPU pada persidangan kedua. Ia menyatakan, dari hasil proses persidangan kedua itu kelak, barulah KPU bisa memiliki gambaran akan menghadirkan saksi fakta ataukah sebaliknya.
“Misalnya (saksi fakta itu) mantan anggota KPPS, PPK, atau KPU kabupaten/kota,” sebut Hasyim. Namun, ia menambahkan bahwa kepastian untuk hal tersebut juga masih akan menunggu perkembangan tertentu terkait apa yang hendak disampaikan pemohon kelak.
Bawaslu Siap
Komisioner Badan Pengawas Pemilu Fritz Edward Siregar pada Kamis itu memastikan pihaknya siap menghadapi seluruh persidangan di MK dalam kapasitas untuk memberikan keterangan. Hal itu didukung keberadaan pengawas TPS yang dimiliki Bawaslu pada Pemilu 2019 dan berbeda dengan Pemilu 2014.
“Pemilu 2019 kami punya pengawas TPS, maka kami juga bisa kumpulkan juga C1 yang dimiliki pengawas TPS. Jadi kami bisa bandingkan juga nanti, dan majelis (MK) bisa menilai lah C1 atau DA1 yang dimiliki Bawaslu saat harus persandingkan data di MK,” sebut Fritz.
Sementara itu terkait diajukannya kembali sengketa pemilu ke Mahkamah Agung (MA)oleh Prabowo-Sandiaga, Fritz mengatakan bahwa Bawaslu sudah menyampaikan jawaban terkait. Bawaslu, imbuh Fritz, juga sudah mengirimkan jawaban itu ke MA.
“Bawaslu sudah terima permintaan dari MA agar Bawaslu sebagai tergugat menyampaikan jawaban, dan Bawaslu sudah menyampaikan jawaban dan kami sudah mengirimkannya kepada MA,” kata Fritz.
Ia menyampaikan, jawaban Bawaslu pada intinya sama dengan jawaban terdahulu ke MA terkait dengan perkara sama yang sebelumnya tidak diterima MA karena adanya cacat formil. Fritz meyakini, MA akan memerhatikan jawaban-jawaban yang sudah disampaikan dan melihat kompetensi absolut yang dimiliki MA dalam melihat putusan ataupun dalam menyelesaikan perkara tersebut.
Fritz berpendapat, bahwa perkara terkait mestinya diselesaikan di Bawaslu dan setelah itu ditindaklanjuti oleh KPU. Dalam hal ini, MA baru bisa melakukan kajian atau memeriksa pokok perkara setelah misalnya, keputusan berupa proses pembatalan salah seorang calon telah dijalankan oleh KPU.
“Tapi pada saat sebuah sikap pembatalan tidak ada, maka MA tidak memiliki kompetensi (absolut) untuk menyelesaikan suatu permohonan,” sebut Fritz.