Dalam era kemajuan teknologi informasi, dunia militer mesti beradaptasi dengan pola ancaman dan serangan baru guna menentukan taktik, teknik, dan strategi peperangan. Serangan siber bisa menjadi pukulan pendahulu sebelum penggunaan senjata kinetik.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·3 menit baca
MAGELANG, KOMPAS — Dalam era kemajuan teknologi informasi, dunia militer mesti beradaptasi dengan pola ancaman dan serangan baru guna menentukan taktik, teknik, dan strategi peperangan. Serangan siber bisa menjadi pukulan pendahulu sebelum penggunaan senjata kinetik.
”Di masa sekarang, TNI harus waspada karena serangan siber bisa menjadi serangan pendahuluan sebelum senjata kinetik digunakan,” ujar Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto saat memberikan sambutan dalam upacara Prasetia Perwira Prajurit Karier TNI 2019 di Lapangan Sapta Marga, Akademi Militer Magelang, Jawa Tengah, Kamis (11/7/2019).
Hadi mengatakan, perubahan situasi global yang terjadi menuntut adaptasi tinggi dari semua kelompok dan organisasi, termasuk TNI. Oleh karena itu, mau tidak mau, seluruh personel TNI wajib menguasai teknologi informasi.
Personel TNI saat ini juga harus mewaspadai bahaya perang nonkonvensional, seperti perang proxy, perang hibrida, dan ancaman melalui siber.
Perang konvensional berupa baku senjata seperti pada era kolonial memang masih tetap berpotensi terjadi kapan saja. Namun, personel TNI saat ini juga harus mewaspadai bahaya perang nonkonvensional, seperti perang proxy, perang hibrida, dan ancaman melalui siber.
Sebagian orang, menurut dia, saat ini antipati terhadap perkembangan artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan. Namun, sikap serupa diharapkan tidak terjadi di kalangan TNI.
”Kita semua harus menyadari bahwa perkembangan dan penggunaan kecerdasan buatan adalah suatu keniscayaan,” ujarnya.
Selain itu, Hadi juga mengingatkan, secara geologis dan geografis, Indonesia adalah negara yang rawan terjadi berbagai bencana. Dia mencontohkan, tahun lalu, di Palu, Sulawesi Tengah, bisa terjadi tiga bencana sekaligus, yaitu gempa, tsunami, dan likuefaksi.
Kondisi ini, menurut Hadi, harus disadari betul oleh para personel TNI. ”Setiap personel TNI harus memiliki kemampuan mengenali risiko dan potensi bencana di daerahnya masing-masing,” ujarnya.
Setiap personel TNI harus memiliki kemampuan mengenali risiko dan potensi bencana di daerahnya masing-masing.
Pada upacara Prasetya Perwira di Akademi Militer Magelang, Kamis (11/7/2019), sebanyak 169 perwira resmi dilantik. Mereka terdiri dari 48 perwira Angkatan Udara (AU), 81 perwira Angkatan Darat (AD), dan 40 perwira Angkatan Laut (AL).
Mereka sebelumnya sudah menempuh pendidikan S-1 dan S-2 di perguruan tinggi dan berhasil dilantik sebagai perwira setelah menjalani pendidikan selama tujuh bulan di Akademi Militer Magelang. Beberapa orang di antaranya sudah selesai menjalani pendidikan sebagai dokter umum dan dokter gigi.
Billy Swaskop Sumalinggi (24), salah seorang perwira, mengatakan, dia sangat lega bisa dilantik. Sejak kecil, dirinya memang selalu bimbang, antara pilihan cita-cita menjadi dokter dan perwira TNI seperti ayahnya.
”Syukurlah, ternyata Tuhan mengabulkan dua cita-cita saya dengan sekaligus. Saya sudah lulus pendidikan kedokteran dan sekarang sudah resmi dilantik sebagai perwira TNI AL,” ujarnya bangga. Billy menamatkan pendidikan kedokteran di Universitas Hang Tuah Surabaya.
Merespons sambutan dari Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto, Billy membenarkan perkembangan teknologi ada dalam berbagai bidang, termasuk dalam dunia kemiliteran. Dia yang memiliki latar belakang pendidikan kedokteran juga merasa harus semakin mengembangkan kemampuan dan penguasaan alat-alat medis kedokteran yang semakin canggih.
Menurut BIlly, pengembangan diri harus dimulai dari keinginan dan niat pribadi. Ke depan, dia akan berupaya memanfaatkan berbagai kesempatan yang ada, termasuk dengan melanjutkan pendidikan ke jenjang S-2.