Penyandang Tunarungu Dilibatkan dalam Penanggulangan Bencana
›
Penyandang Tunarungu...
Iklan
Penyandang Tunarungu Dilibatkan dalam Penanggulangan Bencana
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melibatkan komunitas tuna rungu dalam upaya mitigasi dan penanggulangan kebencanaan. Hal ini dilakukan agar penyandang tuna rungu juga dapat meningkatkan kesiapsagaan dan kewaspadaan dalam menghadapi bencana alam.
Oleh
ANDREAS BENOE ANGGER PUTRANTO
·2 menit baca
BANYUWANGI, KOMPAS — Badan Nasional Penanggulangan Bencana melibatkan komunitas tunarungu dalam upaya mitigasi dan penanggulangan kebencanaan. Hal ini dilakukan agar penyandang tunarungu juga dapat meningkatkan kesiapsagaan dan kewaspadaan dalam menghadapi bencana alam.
Komunitas yang dilibatkan langsung dalam penanggulangan bencana ialah Gerakan untuk Kesejahteraan Tuna Rungu Indonesia (Gerkatin). Komunitas tersebut ikut dalam Ekspedisi Desa Tangguh Bencana yang diadakan BNPB untuk desa-desa di pesisir Jawa bagian selatan.
”Kelompok tunarungu juga wajib dan berhak menyelamatkan diri saat terjadi bencana. Kami tidak hanya memberi sosialisasi terkait mitigasi bagi dirinya sendiri, tetapi mereka juga dilibatkan untuk memberi masukan terkait mitigasi bencana,” ujar Direktur Pemberdayaan Masyarakat Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Lilik Kurniawan dalam pembukaan ekspedisi Desa Tangguh Bencana Tsunami Regio Jawa di Banyuwangi, Jawa Timur, Jumat (12/7/2019).
Lilik mengatakan, terdapat 5.744 desa/kelurahan se-Indonesia yang masuk dalam daerah rawan bencana. Sebanyak 584 di antaranya terdapat di pesisir selatan Pulau Jawa. Di Banyuwangi, sedikitnya terdapat 48 desa di 11 kecamatan yang masuk dalam daerah rawan bencana.
Di desa-desa tersebut, lanjut Lilik, pasti ada warga penyandang tunarungu. Jangan sampai saat sirene peringatan dini tsunami berbunyi, para penyandang tunarungu tidak mengerti ada ancaman bahaya.
Oleh karena itu, BNPB juga ingin menyerap aspirasi dari penyandang tunarungu terkait mitigasi bencana. Harapannya, semua warga terbebas dari ancaman bencana alam.
Fasilitator Forum Penanggulangan Risiko Bencana Inklusif Jawa Timur Maskurun mengatakan, para penyandang disabilitas tuli memang tidak mendengar saat alarm sirine peringatan dini tsunami berbunyi. Namun, mereka masih bisa melihat.
”Karena itu, kami berharap ada alarm visual. Kami berharap ada dua jenis alarm visual, yaitu lampu dan tulisan elektronik berupa teks berjalan. Kedua fasilitas ini pasti sangat membantu kami,” katanya.
Maskurun mengatakan, fasilitas alarm visual sudah diterapkan di beberapa daerah antara lain, DI Yogyakarta, Jawa Tengah. Di Jawa Timur, fasilitas ini hanya ada di Kediri. Ia berharap fasilitas serupa juga tersedia di Banyuwangi.