Narkoba Jenis Baru Mengancam, Produk Hukum Baru Mendesak
›
Narkoba Jenis Baru Mengancam, ...
Iklan
Narkoba Jenis Baru Mengancam, Produk Hukum Baru Mendesak
Sejak 2009, terdeteksi 803 jenis narkoba baru yang beredar di dunia. Sebanyak 74 jenis diantaranya masuk ke Indonesia. Namun belum semua jenis narkoba baru itu diatur di peraturan perundang-undangan sehingga menyulitkan aparat penegak hukum.
Oleh
Aguido Adri, Nikolaus Harbowo dan Ayu Pratiwi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Sejak 2009, terdeteksi 803 jenis narkoba baru yang beredar di dunia. Sebanyak 74 jenis diantaranya masuk ke Indonesia. Namun belum semua jenis narkoba baru itu diatur di peraturan perundang-undangan sehingga menyulitkan penindakan oleh aparat penegak hukum.
Berdasarkan data PBB Urusan Narkoba dan Kejahatan (UNODC) dalam Word Drug Reports 2018, sejak 2009 hingga 2018 telah terdeteksi sebanyak 803 jenis narkotika baru atau new psychoactives substances (NPS) yang beredar di dunia. Data ini sesuai laporan dari 111 negara.
Deputi Pemberantasan Badan Narkotika Nasional Arman Depari menegaskan, dari 803 jenis NPS, sebanyak 74 jenis diantaranya sudah beredar di Indonesia. Ada 65 jenis yang sudah diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 50/2018 tentang Perubahan Penggolongan Narkotika, sedangkan sembilan jenis belum diatur.
“NPS ini menciptakan celah bagi kejahatan karena banyak narkotika belum diatur oleh hukum,” ujar Arman, Kamis (11/7/2019).
Arman memberi contoh, pengungkapan kasus narkoba di Bekasi, Minggu (12/6/2019), ditemukan jenis narkotika baru dengan butir bercorak tulang ikan.
“Jenis narkotika yang ditemukan di Bekasi sangat berbahaya karena mengandung tiga jenis narkoba yaitu Cannabidoid sintetis, Cathinone sintetis, dan pentylone. Efeknya 5-11 kaki lipat bahayanya dari ekstasi biasa,” lanjutnya.
Dia belum mengetahui negara yang memproduksi narkoba tersebut. Namun, narkoba itu biasa ditemukan di negara Balkan sampai Rusia.
Ia melanjutkan, kasus yang terungkap di Aceh Tamiang beberapa waktu lalu, juga merupakan jenis baru di Indonesia, yaitu PMMA (paramethamphetamine). Jenis ini berbeda dengan jenis ekstasi yang terbuat dari MDMA (metilendioksi-metamfetamina) atau MDA (melondialdehid).
Hasil tes laboratorium BNN terhadap sampel narkotika yang disita kian membuktikan masuknya sejumlah narkotika jenis baru. Diantaranya sabu kristal atau blue ice dan ekstasi dari pentylone dan caffeine.
Blue ice yang berbentuk bongkahan seperti gula batu itu mengandung metylamphetamine (bahan dasar sabu) hampir 100 persen. Sabu ini merupakan sabu kualitas istimewa. Proses pembuatannya lebih lama daripada sabu biasa.
Adapun ekstasi dari bahan pentylone dan caffeine diyakini lebih kuat daripada ekstasi yang terbuat dari MDMA atau metilenedioksimetamfetamine (bahan dasar ekstasi).
Berkaca pada masuknya banyak narkoba jenis baru itu, Arman menekankan pentingnya revisi Undang-Undang (UU) Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Sebab UU belum memasukkan banyak narkoba jenis baru tersebut.
“Instrumen UU Narkotika yang BNN gunakan masih terdapat banyak kelemahan. Seperti penggolongan narkoba yang belum mengikuti perkembangan zaman. Sekarang banyak bermunculan jenis narkoba baru di Indonesia. Dengan UU sekarang, kita tidak bisa serta merta melakukan penindakan,” kata Arman.
Pelaksana Harian Ketua Umum DPP GRANAT Komisaris Jenderal (Purn) Togar M Sianipar mengatakan, jumlah narkoba baru yang beredar di Indonesia berpotensi terus meningkat. Salah satunya karena panjangnya garis pantai di Indonesia, dan minimnya pengawasan di garis pantai itu, sehingga Indonesia menjadi sasaran empuk peredaran narkoba.
"Indonesia negara kepulauan terbesar di dunia. Kita belum mampu mengawasi seluruh garis pantai, sehingga ada banyak tempat yang rawan penyelundupan narkoba. Jalur laut merupakan jalur favorit pengedar narkoba," ujar Togar.
Pada Mei 2019 misalnya, BNN menggagalkan penyelundupan 50 kilogram sabu dan 23.000 butir pil ekstasi di wilayah Riau. Penyelundupan dari Malaysia ke Indonesia itu menggunakan kapal penangkapan ikan yang kemudian diserahterimakan di tengah laut kepada kapal lain.
Menurut Togar, resiko penyelundupan narkoba semakin tinggi dengan semakin banyaknya jumlah pelabuhan laut dan udara internasional di Indonesia.
"Beberapa daerah pelosok kini sudah ada pelabuhan internasional. Itu rawan jadi tempat penyelundupan narkoba kalau tidak dijaga. Airport interdiction dan seaport interdiction perlu dibentuk di seluruh pelabuhan," tutur Togar.
Revisi belum prioritas
Sementara itu, terkait revisi UU 35/2009, Wakil Ketua Komisi III Erma Suryani Ranik mengatakan, revisi belum menjadi prioritas untuk dituntaskan. DPR masih berkonsentrasi menyelesaikan sejumlah RUU, seperti RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, RUU Jabatan Hakim, RUU Mahkamah Konstitusi, dan RUU Pemasyarakatan.
"Mudah-mudahan DPR periode berikutnya bisa melakukan revisi (UU Narkotika)," kata Erma yang juga politisi Partai Demokrat.
Di sisi lain, Erma berharap, Badan Narkotika Nasional (BNN) dan kepolisian tidak terlalu memusingkan urusan jenis narkoba baru. Menurut dia, kedua instansi tersebut tetaplah fokus pemberantasan terhadap jenis-jenis narkoba yang sudah ada.
"Jadi jangan bicara urusan jenis narkoba yang baru dulu. Fokus saja menangani yang lama. Sabu dan heroin saja enggak kelar-kelar pemberantasannya," tutur Erma.