Panji, Sendang Kebajikan yang Tak Pernah Kering
Panji bukan sekedar seni. Panji adalah budaya bangsa yang mengajarkan nilai-nilai kehidupan. Ibaratnya sendang, sumber air, budaya panji tak pernah mengering meski nilainya diambil berulang-ulang.
Panji bukan sekadar seni. Panji adalah budaya bangsa yang mengajarkan nilai-nilai kehidupan. Ibarat sendang, sumber air, budayanya tak pernah mengering meski nilainya terus diambil berulang-ulang.
Tahun ini, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan kembali menggelar festival panji. Tahun ini, bertajuk Festival Panji Nusantara 2019, acara ini digelar di Taman Krida Budaya Jawa Timur di Kota Malang, 10-12 Juli.
Tidak seperti tahun lalu, tahun ini gebyarnya bisa dibilang lebih sederhana. Tidak ada perwakilan negara tetangga hadir dan menari. Tahun lalu, dengan mengusung tema Festival Panji Internasional, beberapa pementas asal Kamboja dan Thailand ikut tampil. Meski begitu, pameran dan pentas sendratari tetap ada.
Meski terus dipentaskan dan dituturkan dari waktu ke waktu, nilai-nilai kisah panji tak pernah berkurang. Ibarat sendang, kisah panji justru mengalirkan nilai-nilai kebajikan tekstual dan kontekstual dari waktu ke waktu.
”Kisah panji harus terus diajarkan kepada generasi penerus agar tidak punah karena mengajarkan nilai-nilai kehidupan. Ada cinta, toleransi, perjuangan, dan kebersamaan. Nilai-nilai itu bisa menjadi landasan berbangsa dan bernegara di negeri ini,” kata seniman topeng Malang dari Kecamatan Tumpang, Sholeh Adi Pramono, Kamis (11/7/2019).
Baca juga: Topeng-topeng Panji di Padepokan Asmoro Bangun Malang
Salah satu interpretasi kisah panji dengan tema milenial saat itu disajikan pematung asal Universitas Negeri Malang, Ponimin. Ia menginterpretasikan kisah panji sebagai pertempuran memperebutkan eksistensi kehidupan kebangsaan. Bentuk yang harus dibela adalah eksistensi tanah air atau bumi pertiwi. Pembelaannya lewat berbagai macam perjuangan kehidupan.
”Kisah panji bukan sekadar kisah asmara. Ini adalah perjuangan hidup dan kali ini bisa diartikan hidup berbangsa dan bernegara. Tanah air harus dijaga dengan berbagai upaya,” kata Ponimin.
Muasal
Kisah panji merupakan kumpulan kisah dari Jatim era klasik, tepatnya masa Kerajaan Kadiri, dan populer pada zaman Majapahit. Ada tiga pendapat mengenai asal-usul kisah panji, yaitu menurut WH Rassers, Poerbatjaraka, dan CC Berg.
Latar belakang sejarah kisah panji versi Rassers menghubungkan panji dengan Raja Airlangga, penguasa Jatim abad ke-11. Saat itu, Airlangga membagi kerajaan kepada dua anaknya, yaitu Jenggala dan Kadiri. Panji berasal dari Jenggala dan Candrakirana dari Kadiri.
Baca juga: Bangkitnya Seni Topeng Malang
Menurut Poerbatjaraka, kisah panji muncul justru setelah masa Majapahit. Menurut dia, panji adalah cerminan raja dan ratu Kadiri yang namanya tercantum dalam kakawin Smaradhahana karya Empu Dharmaja.
Raja Kadiri tersebut bernama Kameswara, dengan ratu Sri Ratu Kinararatu yang merupakan putri asal Kerajaan Janggala. Sang raja kemudian disebut Hinu (Inu) Kertapati dan sang ratu bernama Dewi Candrakirana.
Adapun, versi ketiga tentang panji dinyatakan CC Berg. Berg mengatakan, persebarannya sudah ada sejak tahun 1277 dan tahun 1400. Ia menduga, kisah asli panji tentu jauh lebih dulu dari masa itu.
Baginya, Hayam Wuruk adalah tokoh sentral dari kisah panji. Ia percaya, Airlangga adalah tokoh pemisah Jawa (karena membagi kerajaan jadi dua). Adapun Hayam Wuruk adalah tokoh yang mempersatukannya kembali.
Kajian arkeologis kisah panji juga diungkapkan arkeolog Universitas Negeri Malang, Dwi Cahyono. Dwi menjelaskan bahwa kisah panji tertulis dalam Prasasti Pabanyolan (Prasasti Gubug Klakah) di Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang. Prasasti tembaga itu ditulis pada tahun Saka 1303 (1381 Masehi) atau pada pengujung pemerintahan Hayam Wuruk.
Baca juga: Dorong Transformasi Sastra Panji dalam Konteks Kekinian
Menurut Dwi, Prasasti Pabanyolan tidak memuat maklumat raja, misalnya mengenai penetapan sima (tanah perdikan). Tidak pula memuat keputusan hukum, melainkan berisi sinopsis suatu cerita dengan tokoh panji sehingga bisa disebut cerita panji. Dwi mengatakan, prasasti ini terbilang unik karena berisi sinopsis susastra. Menurut dia, Prasasti Pabanyolan merupakan satu-satunya prasasti yang memuat kisah panji.
Kendati prasasti ini tidak menyebutkan kata panji, di dalamnya disebut tokoh utama, Ino atau Hino, yang berasal dari Jawa, tetapi lama tinggal di Kling. Kisah itu menggambarkan perjalanan seseorang untuk mendapatkan obat.
Bagian dari kisah dalam Prasasti Pabanyolan adalah bahwa setelah mendapat obat, Khadehan pulang ke Jawa dan akhirnya tiba di Jawa, di mana ino turut serta. Khadehan disebut-sebut pengiring panji, sedangkan ino adalah panji. Khadehan dinilai sebagai orang yang berjasa menemukan panji di negeri manca (tanah Kling), di mana ia telah lama berpisah dengan ibunya.
Kisah dalam Prasasti Pabanyolan itu, kata Dwi, ada pola 3 in 1 yang menjadi indikator kuat bahwa kisah tersebut adalah panji, yaitu integrasi, disintegrasi, dan reintegrasi. Pada mulanya Ino tinggal bersama dengan keluarganya di Jawa, semestinya di dalam lingkungan Kadatwan Jenggala.
Oleh karena suatu sebab, panji berada di Kling dan terpisah lama dengan keluarganya. Pertemuan kembali antara ino dan ibunya (Parameswari) terjadi di luar kesengajaan, ketika khadehan mencari obat untuk Parameswari. Berdasarkan kesamaan pola ini, tidak diragukan bahwa sinopsis dalam Prasasti Pabanyolan ini adalah suatu varian dari cerita panji.
Dwi menambahkan, susastra panji tidak hanya dikenal di Nusantara, tetapi juga di Thailand dan Kamboja. Ketika Raja Rama I berkuasa (1782-1809), lahir karya sastra saduran bercerita panji berasal dari Jawa, yang dijadikan sumber dalam teater tradisional Thailand dengan sebutan dalang dan inao (bahasa Thai untuk menyebut nama inu). Demikian pula di Kamboja, dikenal lakon eynao.
Dengan gambaran tersebut, artinya kisah panji tidak melulu soal asmara. Tidak hanya berkisah tentang petualangan Pangeran Panji untuk mendapatkan kembali Dewi Candrakirana, tetapi juga tentang cinta anak pada ibunya.
Nama panji pun muncul beragam, seperti Panji Jayengtilem atau Panji Wangbang Wideya. Adapun nama sang ratu di antaranya menjadi Sekartaji.
Kisah panji menyimpan banyak nilai pelajaran. Panji ibarat sendang atau sumber yang tidak pernah mengering saat airnya ditimba
Ki.sah panji berkembang melalui berbagai cerita tutur, syair (syair Panji Semirang, cerita Wayang Kinudang Serat Gambuh, syair Lelakon Masa Kumitar, dan sebagainya), hikayat (hikayat Panji Semirang, hikayat Naya Kusuma, hikayat Dewa Asmara Ayay, dan sebagainya), ataupun dongeng (Keong Mas, Andhe-andhe Lumut, Kethek Ogleng, Enthit, Bango Tong-tong, Timun Mas, dan sebagainya).
”Kisah panji menyimpan banyak nilai pelajaran. Panji ibarat sendang atau sumber yang tidak pernah mengering saat airnya ditimba,” kata Dwi.
Hingga kini, kisah panji tetap lestari karena tercatat dalam relief beberapa candi di Tanah Air. Lydia Kieven, peneliti panji asal Jerman, dalam bukunya, Menelusuri Panji dan Sekartaji (2018), menggambarkan, ada beberapa relief candi bertema panji. Salah satu candi dengan relief kisah panji adalah Candi Penataran, Blitar.
Candi dibangun pada masa Raja Srengga dari Kerajaan Kadiri (1200 Masehi). Di pendopo teras Candi Penataran tergambar beberapa relief terkait kisah panji. Salah satunya dikisahkan Raden Panji (Inu Kertapati) duduk membawa surat dan dirundung sedih karena berpisah dengan kekasihnya, Dewi Sekartaji (Galuh Candrakirana). Surat itu akan dikirim kepada kekasihnya melalui bantuan seekor burung untuk mengatasi rasa sedihnya. Dalam relief di Candi Penataran juga ditemui sosok pria bertopi tekes.
Di Malang
Kisah panji, di Malang Raya, ditemui dalam bentuk kesenian wayang topeng dan wayang krucil. Hingga saat ini dua seni tersebut masih ditemui di Malang. Seni wayang topeng cukup berjaya era Majapahit. Namun setelah kerajaan itu mengalami kemunduran, maka kisah wayang topeng pun mengikuti.
Dalam penelitian Sutopo dkk dari IKIP Malang, berjudul Inventarisasi dan Dokumentasi Wayang Topeng (Sebuah hasil pencarian di Desa Jabung, Kecamatan Jabung, Malang) tahun 1988, disebutkan masyarakat Hindu Majapahit banyak menyingkir ke pedalaman seperti Tengger dan Bali saat Demak membumihanguskan Majapahit pada 1527.
Para pelarian Majapahit itu tetap melestarikan wayang topeng, dengan tetap mempertunjukkan wayang topeng pada upacara-upacara tertentu. Di kawasan Tengger, wayang kulit dilarang karena takut dianggap menyinggung dewa. Makanya, sarana pertunjukan wayang menggunakan topeng. Sejak itu, wayang topeng tumbuh dengan baik di wilayah kultur Tengger dan Malang.
Mula-mula, hasil penelitian di atas menyebut wayang topeng hanya dikenal di kalangan masyarakat Tengger saja. Namun, kemudian menyebar ke berbagai daerah. Terkait wayang topeng, Jatim bisa dibagi dalam tiga kultur yaitu kultur Madura, Kultur Tengger (Malang, Lumajang, Probolinggo, Pasuruan), dan Osing (Banyuwangi).
Di Malang sendiri, banyak seni wayang topeng bermunculan. Diantaranya, Jabung, Jatiguwi, Kebo Bang, Duwet, hingga Ngawen. Dari beberapa lokasi di atas hanya beberapa yang masih eksis, di antaranya topeng Jabung, topeng Kedungmonggo Pakisaji, dan topeng Tumpang. Di Padepokan Kedungmonggo, peninggalan maestro topeng Mbah Karimun, hingga kini masih ada kegiatan pelatihan tari dan produksi topeng kayu.
Pertunjukan wayang topeng merupakan teater rakyat dengan mengisahkan cerita panji. Namun, naskah dramatari wayang topeng tersebut rata-rata berupa naskah lisan sehingga dari satu tempat ke tempat lain ada perbedaan. Beberapa kisah ditampilkan dalam pentas wayang topeng di antaranya hikayat Panji Semirang, Sarita Panji Kamboja, Panji Reni, dan Geger Gunung Wilis.
Di Padepokan Kedungmonggo, peninggalan maestro topeng Mbah Karimun, hingga kini masih ada kegiatan pelatihan tari dan produksi topeng kayu.
Gelaran wayang topeng merupakan pentas besar dengan kelengkapan pendukung hingga 25 orang. Mulai dari dalang, pengrawit (pemain gamelan), sinden, dan pemain inti.
Kini seiring zaman, pentas wayang topeng lebih dibuat simple dengan menggunakan musik dari kaset. Hal itu tentu sedikit banyak mulai menggerus nilai sosial wayang topeng tersebut. Di mana, menekankan pada gotong royong, kebersamaan pemain, toleransi, dan tentu saja cinta kasih yang menjadi inti dari cerita yang dipentaskan.
Di luar wayang topeng, di Malang juga masih hidup seni wayang krucil di Dusun Wiloso, Desa Gondowangi, Kecamatan Wagir. Pemilik wayang krucil tersebut saat ini adalah Saniyem (88). Ia mewarisi satu kotak besar wayang krucil dari leluhurnya. Kotak itu berisi sekitar 80 wayang krucil.
Wayang krucil diwarisi Saniyem dari leluhurnya, Mbah Taram. Mbah Taram, sosok asal Sidoarjo, Jatim, yang dipercaya membawa seni wayang krucil ke kampung tersebut sekitar tahun 1896. Saniyem adalah generasi kedelapan keturunan Mbah Taram. Hanya Saniyem yang memiliki koleksi wayang krucil di desa itu.
Baca Juga : Mbah Saniyem Penjaga Terakhir Wayang Krucil
Wayang krucil, menurut beberapa literatur, awalnya dibuat tahun 1648 oleh Raden Pekik, putra Panembahan Kediri atau keturunan kedelapan Sunan Ampel. Sunan Ampel saat itu adalah Adipati Surabaya. Ada juga literatur yang menyebutkan wayang itu peninggalan Sunan Kudus.
Wayang saat itu dipakai untuk menyebarkan ajaran Islam di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Selain itu, juga untuk memenuhi hasrat ingin tahu rakyat kecil, yang saat itu tidak mampu menonton wayang kulit. Wayang kulit dahulu merupakan tontonan bagi keluarga kaya atau bangsawan.
Di Gondowangi, cerita wayang krucil dibangun dengan simbolisasi Mbah Gimbal dan Mbah Tandur. Sebuah petuah berbentuk dongeng, agar warga menjaga tradisi pertanian. Ironinya, dari sekitar 8.000 warga Desa Gondowangi, yang bertahan masih bertani kini hanya sebanyak 10 persen.
Wayang krucil berbentuk pipih dengan ketebalan 2-3 sentimeter. Bagian tangan terbuat dari kulit. Bahan wayang adalah kayu pule atau kayu mentaos. Lakon wayang krucil yang dimainkan beragam, seperti lakon Islami, Panji Asmorobangun, Singosari, Babad Majapahit, atau Babad Tanah Jawi.
Baca Juga : Gebyak Syawal Wayang Krucil di Malang
Penokohan wayang krucil dibagi dalam empat kategori, yaitu kapandhitan, bambangan (ksatria), punakawan, dan sabrangan (antagonis). Dalam wayang krucil, satu wayang bisa memerankan banyak penokohan, misalnya Damarwulan, Anglingdarma, atau tokoh lainnya. Berbeda dengan wayang kulit, satu tokoh hanya punya satu karakter.
Selama ini, kotak penyimpanan wayang krucil koleksi leluhur Saniyem itu hanya dibuka saat gebyak syawal (seminggu setelah Lebaran), upacara ruwatan, atau ritual adat desa lain. Untuk menampilkannya pun butuh prosesi rumit, mulai dari membuat tumpeng, menyediakan sesaji seperti kemenyan, dupa ratus, serta bunga.
Suku Tengger
Suku Tengger pun tidak bisa dipisahkan dari kisah Panji. Tengger memiliki mitos legenda Joko Seger dan Roro Anteng, dua pecinta yang setelah mengelana akhirnya saling menemukan dan memadu kasih hingga memiliki 25 anak. Anak terakhir harus dikorbankan, sebagaimana janjinya pada dewata saat meminta dikaruniai anak. Langit mengabulkan permintaan itu, dengan syarat keduanya harus mengorbankan anak bungsu.
“Nilai dalam kehidupan manusia adalah tentang kasih sayang. Ada kisah keberduaan. Di bumi Jawa ada Arok Dedes, ada Panji-Sekartaji. Di sini, ada Joko Seger-Roro Anteng. Ini seharusnya menguatkan kebangsaan kita. Inti semuanya adalah pesan kasih sayang dan kebersamaan,” kata Heri Lentho, seniman yang kerap mementaskan kisah Joko Seger-Roro Anteng.
Akhirnya, kisah panji bukan sekedar seni. Panji adalah budaya. Di dalam kisah panji, banyak nilai yang mengaliri darah bangsa ini. Panji mengajarkan orang memegang teguh janji, mengajarkan cinta kasih, dan menjaga perilaku manusia karena ada karma atas segala tindakannya.
Lydia Kieven mengatakan, tradisi panji adalah living heritage atau tradisi hidup, untuk dipraktikkan, dilestarikan, dan ditransformasikan. Panji menurutnya menjadi sumber belajar atau teladan untuk menghargai budaya dalam lingkungan modern, memperkuat jati diri, dan bersikap mandiri (dalam menghadapi persoalan politik, agama, dan sosial) di tengah masuknya arus luar.