KPK masih fokus pada pembuktian pidana pada perkara Bantuan Likuiditas Bank Indonesia. Upaya mengembalikan kerugian negara terus dilakukan.
JAKARTA, KOMPAS - Pembuktian pidana tetap akan menjadi perhatian utama Komisi Pemberantasan Korupsi dalam penanganan perkara dugaan korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia. Salinan vonis lepas atas kasasi mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional Syafruddin Arsyad Temenggung akan dipelajari untuk menentukan upaya hukum perkara BLBI.
Syafruddin, yang divonis bersalah di tingkat pertama dan banding, divonis lepas di tingkat kasasi oleh Mahkamah Agung (MA). Syafruddin dinyatakan terbukti melakukan perbuatan sebagaimana didakwakan, tetapi perbuatan itu bukan tindak pidana sehingga ia dilepaskan dari segala tuntutan hukum.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah, Kamis (11/7/2019), di Gedung KPK, Jakarta, mengatakan, KPK belum menerima salinan putusan kasasi Syafruddin. Dari salinan putusan itu, KPK akan mengetahui pertimbangan hakim sehingga menyimpulkan kasus itu bukan pidana. Selain itu, KPK juga perlu melihat sikap hakim di putusan itu mengenai adanya kerugian negara Rp 4,58 triliun dalam perkara Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
”Pertimbangan hakim perlu kami pelajari agar KPK bisa mengambil langkah signifikan mengupayakan pengembalian kerugian negara,” ujar Febri.
Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro mengatakan, MA masih merampungkan salinan putusan itu. ”Setelah rampung, segera akan dikirim ke pengadilan pengaju untuk diberikan kepada pihak-pihak terkait, termasuk KPK,” ujarnya.
Perkara BDNI
Pemahaman holistik terhadap vonis kasasi Syafruddin diperlukan tim KPK untuk penanganan kasus BLBI yang tengah berjalan. Dalam kasus BLBI yang tengah disidik, KPK telah menetapkan dua tersangka, yakni pemegang saham utama Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim dan istrinya, Itjih Nursalim.
Terkait hal itu, kemarin, KPK memanggil dua saksi yang merupakan mantan Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri, yaitu Kwik Kian Gie dan Rizal Ramli. Namun, hanya Kwik yang memenuhi panggilan penyidik KPK, sedangkan Rizal meminta penjadwalan ulang pemeriksaan pekan depan.
Febri mengatakan, pemeriksaan itu bertujuan mempertajam runtutan peristiwa dan proses yang terjadi sebelum surat keterangan lunas (SKL) diterbitkan untuk BDNI. ”Diduga, meskipun diketahui ada kewajiban obligor yang belum selesai, SKL tetap diberikan sehingga terjadi kerugian negara Rp 4,58 triliun. Aspek pidana korupsi jadi perhatian serius kami,” katanya.
Setelah diperiksa, Kwik mengatakan, dirinya ditanya penyidik KPK soal proses Sjamsul dalam melakukan kewajibannya sebagai pemegang saham utama BDNI.
Guru Besar Hukum Perdata Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Nindyo Pramono menilai, permasalahan BLBI domain hukum perdata karena perkara itu didasari adanya kesepakatan negara dengan pemegang saham sejumlah bank yang mengalami masalah pada 1998. Ia menekankan, apabila negara merasa dirugikan oleh sejumlah pihak dalam perkara BLBI, seharusnya negara mengajukan gugatan perdata.
Sementara pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menekankan, kemungkinan Sjamsul dan Itjih dijerat pidana dalam perkara BLBI tetap tinggi walaupun Syafruddin divonis lepas dalam perkara BLBI. Dalam kasus ini, pihak yang diduga merugikan negara Rp 4,8 triliun adalah Sjamsul dan Itjih. Sementara Syafruddin merekomendasikan dan mengeluarkan SKL. ”Maka, terhadap Sjamsul dan Itjih tetap bisa dituntut secara terpisah korupsinya,” katanya.
Dia menilai, keputusan MA melepaskan Syafruddin sangat aneh, tetapi harus dihormati sebagai keputusan tertinggi.