Paul Tabelak (43) mencuci pakaian di tepi aliran air Bautama Kecamatan Taebenu Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur, Kamis (11/7). Kemudian ia mengambil jeriken mengisi air untuk dibawa pulang ke rumah. Paul lalu bergegas ke lahan sawah seluas 100 are di belakang rumahnya, setelah mandi di rumah. Meski hanya memiliki debit 175 liter per detik, Baumata telah menghidupi sekitar 165.000 warga. Tetapi sayang, belum semua warga Baumata memanfaatkan air ini untuk meningkatkan ekonomi keluarga.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·5 menit baca
Air di saluran irigasi di Kecamatan Taebenu, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur, itu masih mengalir deras meski kini memasuki kemarau. Keberadaannya membuat 100 hektar lahan pertanian warga setempat terpenuhi, termasuk 1 hektar milik Paul Tabelak (43), warga setempat.
Kamis (11/7/2019), ia bahkan menggunakan air itu untuk mencuci pakaian di pinggir saluran tersebut. Paul mengatakan, air ini berasal dari delapan anak sungai yang mengalir melalui proses infiltrasi karst di dalam tanah di perbukitan Noelino. Meski hanya berdebit 175 liter per detik, Baumata telah menghidupi sekitar 165.000 warga.
Paul mengatakan, pihaknya mengelola lahan itu dengan menanam sawi, kol, tomat, terong, cabe, dan jahe. Setelah dipanen, tanaman tersebut dijual di pasar tradisional di Penfui, sekitar 6 kilometer dari Baumata. Dengan hasil ini, ia bisa menyekolahkan dua anaknya di perguruan tinggi di Surabaya, membangun rumah, dan membeli satu truk untuk mengangkut material bangunan di Kota Kupang.
”Kami tidak kesulitan mendapatkan uang karena hasil pertanian dapat diproduksi secara bergilir. Rata-rata penghasilan Rp 25 juta per bulan. Ini belum termasuk jasa angkutan satu truk miliknya,” katanya.
Akan tetapi, belum semua warga mengelola lahan di sana seperti Paul. Baru 85 warga dari total ratusan orang yang melakukan hal serupa Paul. Sebagian besar kawasan pertanian masih telantar. Kebanyakan warga menanam sayuran dan buah-buahan hanya untuk keperluan rumah tangga. Jika ada kelebihan produksi, mereka cuma menjual dengan cara memajang di sisi Jalan Baumata. Padahal, kawasan itu bisa dimanfaatkan untuk mengelola tanaman hortikultura pada musim kemarau.
”Perlu perubahan mental dan pola pikir warga. Warga di sini butuh pemimpin yang tegas, kreatif, dan inovatif. Warga ini perlu didorong terus, apabila perlu, diberi sanksi jika tidak kelola lahan,” kata Paul.
Legenda
Harapan Baumata bisa membawa kesejahteraan bukan isapan jempol. Legenda yang hidup sejak lama mengatakan demikian. Menurut teolog dan budayawan Timor, Pdt Eben Nuban Timor, zaman dulu kawasan Baumata sangat kering dan tandus. Puluhan warga sekitar setiap hari jalan kaki berjam-jam mengambil air puluhan kilometer dari desa itu.
Di lokasi itu hidup Bi Baun dan suaminya, Nai Mat. Setiap hari Bi Baun menenun di pendopo rumah. Sementara Nai Mat mencari air bersama tetangganya.
Suatu hari, Bi Baun sangat haus dan lapar. Padahal, air belum juga ada. Nai Mat belum pulang juga. Sesekali ia menguap sambil mulutnya ditegakkan ke udara. Tiba-tiba, ia merasakan tetesan air masuk ke dalam mulutnya dalam jumlah cukup banyak.
Ia kaget karena wilayah itu sangat gersang, tidak ada hujan dan tidak ada sumber mata air. Air itu tidak berbau, tetapi benar-benar terasa segar dan mengatasi rasa dahaga hari itu.
Air itu tidak berbau, tetapi benar-benar terasa segar dan mengatasi rasa dahaga hari itu.
Tidak lama kemudian ia menyaksikan seekor burung terbang rendah di udara. Saat mendekati kepala Bi Baun, burung itu mengepak-ngepak sayap. Bi Baun merasakan air jatuh di kepalanya mirip siraman air hujan.
Penasaran, dia lalu mengikuti arah terbang burung itu. Burung itu kemudian turun ke tanah dan masuk dalam sebuah kubangan kecil di celah bebatuan. Letaknya sekitar 100 meter dari kediaman Bi Baun.
Tidak lama kemudian Bi Baun coba menggulingkan batu karang itu. Ia ingin menyaksikan apa sebenarnya di balik batu itu. Dia kaget ketika menyaksikan sebuah kolam air kecil di balik batu. Bi Baun lantas mengambil air dengan telapak tangan dan meminumnya. Rasanya sangat segar. Ia pun bahagia, puas, dan kegirangan.
Pulang ke rumah, ia menceritakan temuan itu kepada suaminya yang baru pulang mengambil air. Keduanya lantas pergi ke tempat itu dan memanfaatkan air tersebut untuk minum dan memasak. Nai Mat pun tidak mencari air bersama warga sekitar lagi.
Orang-orang sekitar heran dengan perubahan yang dialami Nai Mat dan istrinya. Mereka mulai mengikuti jejak kedua pasang suami istri ini saat keluar rumah. Ternyata, mereka menyaksikan ada air kolam yang tersembunyi di balik karang dalam tanah. Sejak itu, mata air itu digunakan banyak orang hingga kini.
Apabila warga sekitarnya belum memanfaatkan air Baumata untuk hal yang lebih besar, tidak demikian dengan pemerintah daerah. Sejak zaman Belanda, air dari sana dialirkan ke Kota Kupang melalui satu pipa induk, berdiameter 5 inci. Keberadaannya disempurnakan setelah Indonesia merdeka dengan membangun dua pipa induk, berdiameter masing-masing 4 inci menuju Kota Kupang.
Air ini dimanfaatkan sebagai air baku bagi sekitar 165.000 warga, sebagian tersebar di Kabupaten Kupang dan Kota Kupang. Namun, air PDAM yang dikelola pemerintah baru mencukupi 30 persen kebutuhan warga. Sekitar 385.000 warga Kupang masih kekurangan air bersih. Mereka ini menggali sumur atau membeli air tangki rutin.
Keberadaannya juga dimanfaatkan untuk pemandian. Satu kolam berukuran 2 meter x 3 meter dengan kedalaman 40 cm. Satu kolam lainnya berukuran 20 x 40 meter dengan kedalaman 1-3 meter. Hampir setiap hari selalu ada kelompok warga dari Kabupaten Kupang atau Kota Kupang datang berekreasi dan berenang di kolam itu. Retribusi masuk Rp 3.000 untuk anak dan Rp 5.000 per orang dewasa.
Pemkab Kupang pun membangun sejumlah fasilitas pendukung bagi para pengunjung, seperti tujuh rumah kecil, tempat mainan anak-anak, bangku duduk, WC, kamar ganti, dan tempat ayunan bagi anak-anak.
Geliat bisnis tidak hanya untuk kolam pemandian. Ketua RT 002 RW 005 Baumata Agus Benu mengatakan, ada dua perusahaan air minum kemasan bergantung pada sumber air Baumata, yakni PT Aquamor dan PT Aquafit. Air kemasan ini diprioritaskan untuk kebutuhan warga Kota Kupang, Kabupaten Kupang, Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, Malaka, dan Belu. Hampir semua toko, kios, dan swalayan menjual air kemasan yang bersumber dari air Baumata.
Inisiatif perorangan, swasta, dan pemerintah daerah telah hidup di Baumata. Air yang mengalir memberi berkah besar untuk kehidupan manusia di sekitarnya.