Hati Ibu
Aku menduga, hati Ibu memang terbuat dari batu. Sejak kecil hingga 12 tahun aku hidup bersamanya, Ibu tak pernah berubah. Tawa, bahkan senyumnya, adalah fenomena langka yang nyaris tak kutemui setiap hari. Meski begitu, seulas senyumnya pernah mengembang ketika aku naik kelas dengan peringkat kedua.
Setiap pagi, tatapan mata Ibu membangunkanku setelah ia membisik halus di telingaku. Dengan matanya pula, ia menggiringku untuk lekas menimba air. Ibu sama sekali tak menghiraukan telapak tanganku yang mulai kapalan.
Sebelum aku tuntas menimba air dan memenuhi tembikar untuk mandi, langkah Ibu kudengar di antara derit timba. Sosoknya menghilang di balik rerimbunan kecipir di belakang rumah menuju ke rawa.
”Ibuku membuatkanku nasi kuning dan sambal goreng hari ini,” ujar temanku sesaat sebelum kami masuk kelas pagi itu.
”Aku melahap telur dadar begitu aku bangun tidur. Bahkan, sebelum aku cuci muka. Ha-ha-ha...,” suara temanku yang lain, disusul derai tawa.
Sambal terasi dan daun pepaya rebus melenggang di benakku. Itu sarapan yang Ibu masakkan untukku. Itu pun baru bisa kunikmati setelah aku selesai memenuhi tembikar dengan air dari sumur.
Kalian tentu bertanya di mana ayahku. Ya. Aku juga pernah menanyakan hal yang sama kepada Ibu. Itulah yang membuatku menduga hati Ibu terbuat dari batu. Keras dan tak mudah digempur oleh rasa ingin tahuku.
”Ia adalah lelaki yang tak pantas kau hormati,” suara Ibu bergetar.
Jemarinya berhenti mengepang batang-batang eceng gondok. Itulah saat pertama kali aku melihat ada mendung bergelayut di rongga matanya. Aku tak berani lagi bertanya tentang ayahku. Sejak saat itu, aku membuat satu praduga; ayahkulah yang membuat hati Ibu perlahan-lahan mengeras.
Aku membalikkan badanku yang terasa amat ngilu. Kemarin, sepulang sekolah, aku terpeleset ketika berusaha meraih tiang pegangan di jembatan. Tanah lempung yang diguyur hujan semalaman membuat sepatuku terbenam. Saat aku sekuat tenaga melangkah, tiba-tiba saja kakiku terperosok ke samping. Pangkal pahaku bertambah nyeri ketika aku bangun pagi ini.
”Ibu tak membangunkanku?”
”Sudah berkali-kali....” Ibu sama sekali tak memandangku. Ikat-ikat eceng gondok lekas dijemurnya di pelataran.
Aku tertatih meraih timba, tetapi tembikar sudah penuh.
”Obat di meja, minumlah sehabis sarapan. Tak usah sekolah dulu hari ini. Badanmu panas sekali.”
Tanganku meraba tengkuk. Aku bahkan tak menyadari jika tubuhku sepanas ini. Aku lekas ke dapur. Sarapan, lalu meneguk obat yang telah Ibu belikan dari warung. Aku bahkan tak bilang kepadanya jika aku terpeleset di dekat jembatan.
Matahari merangkak naik. Berkas-berkas cahaya memantul dari daun-daun kecipir yang hijau segar. Beberapa ekor kupu-kupu terlihat terbang ketika Ibu menyibak rimbunnya dengan sabit. Seperti pagi-paginya yang lalu, ia menuju rawa di sebelah timur. Di sanalah hidup kami bergantung. Pada hamparan eceng gondok yang menghijau di permukaan.
Meski Ibu selalu menghunusku dengan tatapan penuh perintah setiap pagi, aku sama sekali tak pernah membencinya. Rasa jengkel memang sesekali muncul, tetapi akan lenyap digerus waktu. Bagaimanapun, ia dan aku hanya berdua menempati rumah ini. Tak mungkin rasanya aku membenci satu-satunya orang yang menemaniku di rumah ini.
Ibu adalah sosok yang tak kutemukan keraguan di dalam dirinya, sekecil apa pun. Maka, aku sungguh malu ketika dulu selalu mengeluh perihal sarapanku yang itu-itu saja. Bagi Ibu, keadaan tak patut diratapi. Hidup harus terus berjalan sebagaimana air yang tak bisa terus menggenang.
Aku teringat cerita Ibu beberapa waktu yang lalu. Saat itu, aku tengah membantunya mengepang eceng gondok.
”Siapa yang mengajari Ibu mengepang?” Ibu tertegun mendengar pertanyaanku.
”Nenekmu,” Ibu terdiam sesaat. Matanya menembus jauh ke arah daun-daun waru yang mulai diguyur gerimis.
Kepadaku, Ibu mengatakan, Nenek meninggal ketika aku masih berumur dua tahun. Aku tidak bertanya dari pihak manakah Nenek yang ia ceritakan. Aku sungguh tak berani. Aku takut Ibu akan memutus ceritanya. Seperti ketika kutanyakan tentang ayah kepadanya.
Sejak kecil, rawa sudah seperti hidupnya. Ia telah berkarib dengan lumpur dan sampan kayu. Dengan sebilah sabit, Ibu yang masih belia sudah tangkas memotong batang tumbuhan rawa itu. Mengikatnya dengan pelepah pisang dan membawanya pulang dengan sampan.
Ibu pernah seorang diri menyampan ke tengah rawa suatu sore. Nenek meraung-raung dari bantaran. Tak tega melihatnya seorang diri menyabit eceng. Saat Nenek marah kepadanya, Ibu hanya berdalih ingin membeli obat. Nenek sudah beberapa hari tidak mengepang karena sakit dan mereka tak punya cukup uang.
Astaga! Aku hampir saja lupa janjiku dengan Pak Darsiman. Aku harus mengikuti bimbingan untuk persiapan ujian. Tetapi, jangankan pergi ke sekolah, untuk berjalan pun, kakiku terasa sangat nyeri.
”Selamat pagi,” suara Pak Darsiman terdengar sayup-sayup.
Guru yang baru sebulan lalu pindah ke sekolahku itu berdiri canggung di depan pintu. Ia melangkah ketika melihatku muncul dari dapur.
”Ah, sakit apa, Gus?” tanyanya. Aku tertatih menuju kursi.
”Maaf, Pak. Saya....”
”Ya. Aku tahu kau sedang sakit. Aku membaca surat dari ibumu.” Aku sama sekali tak mengira Ibu menuliskan surat izin.
Mata Pak Darsiman mengitari keadaan rumahku. Bagi seseorang dari kota sepertinya, tentu rumah berdinding kayu seperti ini terasa amat asing.
”Itu ibumu?” Pak Darsiman menunjuk foto lama yang terpajang di dinding. Aku mengangguk.
”Namanya Lastini, bukan?” Aku terkejut. Bagaimana mungkin Pak Darsiman mengenali ibuku.
Mungkinkah....
Ah, tidak. Kalian jangan mengira jika Pak Darsiman adalah ayahku. Sungguh terlalu cepat mengambil kesimpulan jika kalian mengira seperti itu.
Tetapi, untuk membuat kalian tak kecewa dengan kisah ini, akan kuceritakan peristiwa selanjutnya.
Matahari hampir sejajar ubun-ubun saat itu. Ikat-ikat eceng gondok yang terkapar di pelataran mengisut oleh panas yang kian terik. Sesekali kulongokkan wajah ke jendela. Ke arah rerimbunan semak yang menyubur di belakang rumah.
Ketika Ibu muncul dari baliknya, aku merasa sangat lega. Ibu terlihat payah benar setelah melepas satu ikatan besar eceng gondok dari gendongannya. Peluh merembes di pelipisnya yang legam.
Mata Ibu dan mata Pak Darsiman bertemu ketika ia baru saja selangkah melewati pintu. Dua detik yang kurasa, tatapan Ibu persis seperti setiap kali ia membangunkanku di pagi hari. Namun, sesaat kemudian Ibu menunduk.
”Sejak kapan kamu kembali, Man?” tanyanya.
”Sebulan lalu, aku dipindahtugaskan ke sini. Sama sekali tak menyangka akan bertemu denganmu,” secercah semangat terbit di senyum Pak Darsiman.
”Bagus sudah sebesar ini rupanya. Dulu masih dua tahun saat aku ke Jakarta.”
Pak Darsiman menatap awan di kejauhan. Seolah kisah masa lalunya tergambar di sana. ”Bagaimana kabar Karmadi? Ia....”
”Ia minggat setelah itu. Sungguh tak patut perbuatannya.” suara Ibu bergetar. Pandangannya berubah nanar.
”Maafkan aku. Aku sungguh tak berniat membuat semua seperti ini.”
Pak Darsiman terdiam. Aku dan Ibu membisu.
Dari pertemuan itulah, aku mengerti jika Pak Darsiman adalah teman Karmadi, ayahku. Suatu sore ketika Ibu menyampan ke rawa, Pak Darsiman-lah yang menolongnya ketika ia hampir tenggelam akibat sampannya yang lapuk.
Ayah tak terima ketika melihat mereka berdua berada di dalam rumah. Pak Darsiman baru saja mengantar Ibu pulang dan menuntunnya ke bilik saat Ayah tiba. Ayah terbakar cemburu. Ia mengira mereka berbuat tak senonoh. Ayah lalu pergi dan tak ada kabarnya hingga kini. Sedangkan Pak Darsiman yang saat itu menunggu penempatan kerja pindah ke Jakarta setelah mendapat panggilan.
Kulihat Ibu memandang jauh ke arah rawa. Dalam satu kedipan saja, pipinya basah oleh air mata. Untuk pertama kali selama tiga belas tahun, aku meyakini, hati Ibu bukan terbuat dari batu.[]
Gemolong, April 2019
Latif Nur Janah, lahir 1990. Gemar menulis cerpen.