Rekam jejak menjadi hal penting dalam mengukur integritas capim KPK. Terkait hal ini, kepatuhan capim berlatar belakang penyelenggara negara dalam melaporkan kekayaan perlu dilihat.
JAKARTA, KOMPAS —Integritas dan profesionalitas dalam memberantas korupsi menjadi pertimbangan utama Panitia Seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam memilih calon pimpinan KPK periode 2019-2023. Namun, dalam proses seleksi ini belum ada penilaian terkait kepatuhan calon yang merupakan penyelenggara negara dalam melaporkan kekayaannya. Padahal, kepatuhan melaporkan kekayaan menjadi salah satu indikator integritas pejabat publik.
Setelah mengumumkan 192 calon pimpinan (capim) KPK yang lolos seleksi administrasi, kini Panitia Seleksi (Pansel) Capim KPK mempersiapkan tahap seleksi selanjutnya, yaitu uji kompetensi terkait tes obyektif dan pembuatan makalah.
Dalam tahapan seleksi yang akan berlangsung 18 Juli tersebut, Wakil Ketua Pansel Capim KPK Indriyanto Seno Adji menuturkan, pansel akan menekankan penilaian pada pemahaman formal dan material para capim tentang pemberantasan serta pencegahan korupsi secara luas.
”Hal yang terpenting, kami menjadikan integritas, profesionalitas, serta kapabilitas para calon sebagai ukuran dan basis penilaian,” ujar Indriyanto, Jumat (12/7/2019), di Jakarta.
Terkait hal itu, lanjut Indriyanto, pansel akan dengan saksama menilai rekam jejak, visi, dan rencana semua capim. Dalam proses ini, semua capim yang berasal dari berbagai latar belakang punya peluang sama dalam seleksi.
Dari 192 capim yang Kamis lalu dinyatakan lolos seleksi administrasi, porsi terbesar, yaitu 40 orang, berlatar belakang profesi akademisi/dosen. Kemudian diikuti advokat/konsultan hukum (39), jaksa/hakim (18), korporasi (17), komisioner atau pegawai KPK (13), anggota Polri (13), auditor (9), dan profesi lain (43).
Laporan kekayaan
Sebagian perwira tinggi Polri yang lolos tahap seleksi administrasi diduga belum menyerahkan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) tahun 2019. Sementara sebagian dari perwira tinggi Polri yang sudah melaporkan LHKPN ada yang menyerahkannya terlambat dari batas waktu yang seharusnya, yaitu pada Maret di setiap tahun.
”Sangat disesalkan Pansel Capim KPK tidak memperhatikan isu kepatuhan LHKPN dari pendaftar yang berasal dari unsur penyelenggara negara, aparatur sipil negara, dan institusi penegak hukum,” kata peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana.
Padahal, lanjut Wana Alamsyah, peneliti ICW lainnya, kepatuhan dalam melaporkan LHKPN menjadi salah satu indikator dari integritas pejabat publik. Pasalnya, melaporkan LHKPN merupakan kewajiban hukum setiap penyelenggara negara.
Menanggapi hal itu, Ketua Pansel Capim KPK Yenti Garnasih mengatakan, dalam seleksi administrasi, proses seleksi tidak sampai kepada LHKPN. Bahkan, dalam seluruh proses seleksi capim KPK tidak ada ketentuan tentang LHKPN. ”Kecuali tentang pembuatan surat pernyataan bahwa apabila terpilih, harus menyerahkan LHKPN, selain berhenti sementara dari jabatannya atau tidak rangkap jabatan. LHKPN harus diserahkan setelah menjabat,” ujarnya.
Namun, Yenti menegaskan, Pansel Capim KPK tidak menutup masukan dari masyarakat, termasuk ICW. Oleh karena itu, jika memang yang menyatakan persoalan terkait pelaporan LHKPN tersebut mempunyai bukti, dipersilakan melaporkan kepada pansel. ”Aturan mengenai LHKPN memang tidak ada sanksinya. Kami juga akan membahasnya dalam Pansel Capim KPK,” ujar Yenti.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah berharap pansel berhati-hati dalam melihat rekam jejak dan kepatuhan capim dalam pelaporan harta kekayaannya. Pasalnya, dua hal itu menjadi ukuran yang penting dalam menghadirkan pimpinan KPK yang baik. ”Jika proses seleksi tidak dilakukan dengan hati-hati dan rekam jejak dari aspek integritas diabaikan, bukan tidak mungkin hasil seleksi akan ikut membuat KPK ke depan lebih lemah,” katanya.
Febri memastikan, KPK siap membantu pansel memeriksa dan menelusuri rekam jejak para capim KPK.
Hal terkait rekam jejak yang juga perlu diperhatikan dari para capim KPK, ujar Kurnia, adalah mereka mesti tidak pernah tersandung persoalan masa lalu. Poin ini dapat diukur dengan beberapa indikator. ”Misalnya, dari para pendaftar harus dipastikan bersih dari catatan hukum. Persoalan yang juga cukup penting terkait dengan dugaan pelanggaran etik para pendaftar pada lembaga terdahulu. Jangan sampai jika ada figur yang diduga pernah melanggar etik, diloloskan pansel,” tuturnya.
Transparansi
Pengajar Hukum Pidana Universitas Parahyangan, Bandung, Agustinus Pohan, menuturkan, kehadiran komisioner KPK dengan latar belakang anggota Polri atau jaksa bukanlah suatu kewajiban. Namun, kehadiran pimpinan KPK yang berprofesi sebagai anggota kepolisian atau jaksa juga tidak bisa dikesampingkan.
Hal yang terpenting, lanjut Pohan, para komisioner KPK terpilih mesti sepenuhnya bekerja demi KPK. ”Seandainya ada polisi atau jaksa yang terpilih sebagai pimpinan KPK, mereka harus menunjukkan diri bahwa mereka bukan kepanjangan tangan dari institusi asal. Mereka harus bekerja independen dan mandiri sebagai pimpinan KPK,” kata Agustinus.
Agustinus juga mengingatkan agar pimpinan KPK periode 2019-2023 dapat melepaskan diri dari berbagai kepentingan politik. Penanganan kasus korupsi harus selalu hanya berdasarkan bukti dan fakta hukum serta bukan karena dorongan politik tertentu. ”Oleh karena itu, transparansi penting dilakukan KPK dalam setiap penanganan kasus. Keterbukaan itu dapat dinilai langsung oleh publik,” ujarnya.
(SAN/SHR/EDN/INK)