JAKARTA, KOMPAS - Meskipun masih fokus merampungkan perkara pidana dalam kasus dugaan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi membuka peluang untuk memproses kasus melalui jalur perdata. Namun, KPK perlu berkerja sama dengan Kejaksaan Agung yang memiliki kewenangan untuk menangani kasus perdata.
Wakil Ketua KPK, Basaria Panjaitan, tidak menutup kemungkinan KPK menempuh jalur perdata dalam penanganan kasus BLBI. Hal itu menjadi pertimbangan KPK setelah Mahkamah Agung memberikan vonis lepas terhadap kasasi yang diajukan oleh mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung.
“Bisa saja menempuh perdata. Nanti pimpinan akan membahas hal itu terlebih dahulu,” ujar Basaria, Jumat (12/7/2019), di Jakarta.
Tidak menutup kemungkinan KPK menempuh jalur perdata dalam penanganan kasus BLBI
Pasal 32 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengatur, apabila tidak ditemukan tindak pidana korupsi, sedangkan secara nyata telah ada kerugian negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan itu kepada jaksa pengacara negara untuk dilakukan gugatan perdata atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan.
Secara terpisah, Guru Besar Hukum Perdata Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Nindyo Pramono, menuturkan, jalur perdata dalam kasus BLBI bisa dilakukan oleh KPK melalui berkoordinasi dengan jaksa agung muda bidang perdata dan tata usaha negara (Jamdatun). Sebab, yang memiliki kewenangan untuk menempuh jalur perdata ialah Kejaksaan Agung melalui jaksa pengacara negara.
Menurut pakar hukum perbankan, Pradjoto, kemungkinan penanganan kasus BLBI melalui jalur perdata sangat terbuka. Ia menuturkan, dari sudut material sangat memungkinkan untuk memulihkan kerugian negara, apabila peradilan berpendapat memang terdapat kurang bayar yang dilakukan Sjamsul terhadap perjanjian yang telah dilakukan dengan pemerintah.
Namun, Pradjoto mengingatkan, dalam penanganan perdata, pihak penggugat harus menguasai secara detail perjanjian yang terjalin dalam master settlement acquisition agreement (MSAA). Langkah itu diperlukan untuk memastikan bahwa perjanjian itu telah dijalankan sesuai aturan sekaligus untuk mengetahui ada atau tidaknya misrepresentasi.
“Sebab, di dalam perdata berlaku azas, siapa yang mendalilkan harus membuktikan. Dan, bukti di dalam perdata terletak kepada kebenaran formal bukan material,” ucap Pradjoto.
Terkait pelaksanaan proses pidana dalam kasus BLBI yang menersangkakan pemegang saham utama Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim dan istrinya, Itjih Nursalim, KPK telah memeriksan 26 saksi yang berasal dari BPPN, mantan menteri, pihak swasta, pengacara, lembaga penjamin simpanan, dan Komite Kebijakan Sektor Negara.
“Perbedaan penyidikan saat ini dibanding perkara sebelumnya yang melibatkan Syafruddin ialah KPK fokus pada perbuatan yang dilakukan Sjamsul dan Itjih, kemudian untuk pembuktian unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain dalam perkara itu,” kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah.