Metamorfosis Angkutan Umum di Jakarta
Angkutan umum di Ibu Kota berkembang sejalan dengan dinamika kota. Terobosan sistem transportasi, teknologi informasi, dan pertumbuhan penduduk turut membentuk moda yang cocok untuk warga. Hingga kemudian lahirlah moda raya terpadu atau MRT sebagai angkutan umum paling baru di Jakarta.
Angkutan umum di Ibu Kota berkembang sejalan dengan dinamika kota. Terobosan sistem transportasi, teknologi informasi, dan pertumbuhan penduduk turut membentuk moda yang cocok untuk warga. Hingga kemudian lahirlah moda raya terpadu atau MRT sebagai angkutan umum paling baru di Jakarta.
Moda yang diluncurkan Maret 2019 lalu mempunyai pelintasan sendiri. Kapasitas MRT dapat mengangkut 322 orang penumpang per kereta atau 1.950 orang per rangkaian. Dalam sehari, MRT diperkirakan bisa mengangkut hingga 300.000 orang penumpang. Adapun waktu tempuh hanya 30 menit dari Lebak Bulus hingga Bundaran HI.
MRT muncul di tengah perkembangan dan kebutuhan Kota Jakarta yang pesat, sebagai pusat pemerintahan dan bisnis. Penduduk Ibu Kota makin padat, mencapai 10,4 juta orang pada 2018. Jumlah penduduk yang besar ini berimbas pada kebutuhan sarana tempat tinggal, hiburan, sentra ekonomi, hingga sarana transportasi untuk mobilitas mereka. Kehadiran MRT melengkapi angkutan umum yang menjadi andalan warga saat ini yaitu Transjakarta dan kereta rel listrik (KRL).
Baca juga : Angkutan Massal Mendesak Dibenahi
Sebelum ada Transjakarta atau MRT, Jakarta pernah memiliki sarana angkutan umum massal yang tak kalah canggih, yakni tramway. Trem listrik mulai dioperasikan di Batavia pada 1899, menggantikan trem uap yang telah beroperasi sejak 1881.
Sampai 1959, trem listrik ini beroperasi di lima jalur yang saling berhubungan. Jalur atau Lin yang terpanjang adalah Lin 1, yang melayani rute antara Kampung Melayu- Pasar Ikan melalui Jatinegara Timur, Matraman, Salemba, Kramat, Pasar Senen, Jalan Veteran, Harmoni, Jalan Gajah Mada, Glodok, Kota, Taman Fatahillah, dan Jalan Cengkeh.
Lintasan trem listrik berakhir dari daftar moda transportasi umum Jakarta pada 1959. Saat itu Presiden Soekarno menolak moda transportasi trem, dengan alasan trem tidak cocok bagi kota seperti Jakarta. Bung Karno lebih setuju dibangun jaringan kereta api bawah tanah atau metro sebagai sarana angkutan umum massal di Ibu Kota.
Becak
Selain trem, beberapa jenis angkutan warga pernah muncul di DKI Jakarta, dari becak hingga metromini dan kopaja, yang membantu mobilitas masyarakat Ibu Kota. Becak masuk pertama di Jakarta sekitar tahun 1936 dan segera menjadi moda favorit bagi warga Ibu Kota.
Saat itu belum banyak pilihan angkutan transportasi, terlebih becak bisa mengantar penumpang dan barang hingga gang-gang. Jumlah becak terus bertambah hingga mencapai 160.000 unit pada 1972. Lantaran makin membeludak, Gubernur Ali Sadikin melarang becak ada di Jakarta pada 1970.
Sebagai gantinya, Pemerintah DKI Jakarta mengizinkan beroperasinya 10.000 unit kendaraan jenis keempat di wilayah DKI mulai 1974. Kemudian, becak benar-benar diputuskan hilang dari Jakarta melalui Perda Nomor 11 Tahun 1988.
Kriteria angkutan umum jenis keempat pengganti becak yang dimaksud adalah beroda tiga, sopir dan penumpang seatap, jumlah penumpang minimal dua orang, dapat memuat barang maksimal 50 kilogram, dan dapat maju mundur. Ada tiga jenis angkutan yang lolos kriteria ini, yaitu : helicak, oplet, dan bemo.
Bemo
Helicak diluncurkan pertama kali pada 1971. Sarana angkutan buatan Italia ini memiliki bentuk kombinasi antara helikopter dan becak. Penumpang duduk di depan, sementara sang supir mengemudi dari belakang tanpa perlindungan dari teriknya matahari atau rintik hujan.
Selain helicak, ada pula oplet yang umumnya adalah modifikasi dari mobil-mobil Eropa, antara lain Morris Minor dan Opel. Mobil-mobil yang waktu itu usianya sudah lebih dari 10 tahun dimodifikasi menjadi angkutan umum oplet. Dengan kemudahan operasionalisasi dan rute yang bebas, banyak warga mengoperasikan oplet.
Tahun 1969, di Jakarta tercatat ada 198.554 kendaraan bermotor. Oplet menjadi angkutan umum penumpang yang kedua terbanyak setelah becak, yaitu 6.128 unit oplet. Untuk menertibkan keberadaannya, Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin membangun stasiun oplet di bekas bundaran tram Kampung Melayu. Senjalaka keberadaan oplet muncul seiring terbitnya Perda No 4/1972 yang menetapkan oplet, bukan jenis kendaraan yang layak untuk Jakarta. Keberadaannya digantikan mikrolet.
Selain helicak dan oplet, ada pula bajaj dan bemo. Kendaraan bajaj pertama kali diluncurkan pada tahun 1975. Angkutan roda tiga produksi India dengan kapasitas 150 cc tersebut cepat diminati warga karena bisa melewati gang sempit dan memiliki daya muat yang besar. Sayangnya, bajaj bersuara bising dan mengeluarkan asap berlebih.
Baca juga : Bersama Atasi Macet Jakarta
Dua bajaj melintasi genangan air di Jalan Pramuka, Jakarta Pusat, yang terjadi setelah hujan deras, Senin (4/7/2011).Sejak tahun 1980, Pemprov DKI Jakarta sudah menghentikan impor bajaj dari India, termasuk impor suku cadangnya. Pemprov DKI Jakarta perlahan memusnahkan bajaj dua-tak dan meluncurkan bajaj BBG. Bajaj dua-tak diganti BBG untuk mengurangi polusi udara dan menghemat subsidi bahan bakar.
Lain bajaj, lain pula bemo atau becak motor. Angkutan roda tiga ini mulai digunakan di Jakarta pada 1962 untuk menyemarakkan Asian Games sebagai sarana transportasi bagi atlet dari penginapan menuju Istora Senayan. Sejak 1971, Pemerintah DKI Jakarta memutuskan bemo dijadikan sebagai angkutan umum pengganti becak.
Selama kurang lebih 25 tahun beroperasi, Pemerintah DKI Jakarta kemudian mencabut izin operasional seluruh bemo. Sejak 1996 Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK), Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB) dan surat uji kelaikan jalan tidak dikeluarkan untuk Bemo.
Pemprov DKI Jakarta kemudian mengeluarkan kebijakan peremajaan bemo untuk diganti dengan angkutan pengganti bemo (APB) atau yang lazim disebut mikrolet. Angkutan mikrolet masih beroperasi hingga saat ini dengan jumlah sekitar 6.564 unit kendaraan.
Angkutan bemo di Jakarta benar-benar berakhir pada 2017. Bemo dihapus karena dinilai tidak ramah lingkungan, tidak memiliki surat izin, usia kendaraan sudah tua, dan dinilai berbahaya untuk dijadikan angkutan massal umum.
Kebijakan lain adalah mengatur bus kota milik perorangan atau perusahaan swasta. Lahirlah PPD dengan armada bus besarnya, PT Metromini dan Koperasi Angkutan Jakarta (Kopaja) dengan armada bus sedang. Hingga saat ini Metromini dan Kopaja masih beroperasi. Jumlah armada Metromini pada 2015 mencapai 1.432 unit bus, sedang Kopaja sebanyak 1.246 unit kendaraan.
Transportasi daring
Sarana angkutan warga Jakarta juga diramaikan dengan kehadiran ojek sepeda motor. Ojek di Jakarta pertama kali muncul dalam bentuk ojek sepeda di kawasan Pelabuhan Tanjung Priok tahun 1970. Ojek berkembang sebagai reaksi atas larangan terhadap bemo dan becak masuk ke pelabuhan (Kompas, 12 September 1970). Ojek sepeda lalu menyebar ke kawasan Ancol, Harmoni, dan Kota. Jumlah pengojek saat itu mencapai hampir 500 orang.
Keberadaan ojek sepeda perlahan digantikan ojek sepeda motor yang muncul di Ancol sejak 1974. Saat pertama kali muncul di Jakarta, ojek merupakan alat transportasi jarak dekat, misalnya mengantar warga dari depan rumah sampai ke jalan raya.
Seiring dengan kemacetan lalu lintas di Jakarta, ojek berubah fungsi menjadi seperti angkutan umum, yang melintasi jalanan Jakarta. Jarak tempuh jasa antar sepeda motor tersebut sudah puluhan kilometer. Ojek pun menjadi favorit warga Jakarta untuk menembus kemacetan.
Tingginya animo masyarakat terhadap ojek ditangkap pebisnis Jakarta sebagai peluang bisnis. Oleh mereka, layanan pemesanan ojek dikembangkan melalui aplikasi telepon pintar. Tahun 2011 merupakan awal beroperasinya perusahaan Go-Jek di Jakarta, lalu diikuti dengan munculnya beberapa perusahaan sejenis, seperti Grabbike.
Baca juga : Pergerakan dengan Angkutan Umum Baru 25 Persen
Era teknologi informasi memunculkan aplikasi digital yang memudahkan layanan transportasi. Aplikasi itu menunjang sistem transportasi Ibu Kota, seperti Trafi, Moovit, Ompreng.com, dan KRL Access. Aplikasi KRL Access mulai diperkenalkan di telepon seluler berbasis Android sejak Desember 2015. Trafi diperkenalkan di Indonesia pada Mei 2016. Sementara Moovit masuk ke Indonesia pada November 2016.
Munculnya ide dari para kreator teknologi informasi untuk menciptakan aplikasi digital bertema transportasi umum tidak lepas dari meningkatnya animo warga menggunakan angkutan umum setidaknya tiga tahun terakhir.
Berdasarkan catatan PT Transportasi Jakarta, jumlah penumpang pada 2015 masih 102,9 juta. Tahun 2017 melonjak 40,7 persen menjadi 144,9 juta. Hal yang sama terjadi pada kereta komuter. PT Kereta Commuter Indonesia mendata, jumlah penumpang KRL masih 257,5 juta tahun 2015, kemudian pada 2017 naik menjadi 351,8 juta.
Baca juga : MRT, Harapan Baru Mobilitas Warga
Tersisih
Dari fenomena tersebut, peningkatan pengguna transportasi massal dan kendaraan daring merupakan potret sarana angkutan warga Ibu Kota saat ini. Artinya, faktor kunci angkutan masa depan warga Jakarta adalah integrasi antarmoda. Integrasi sarana transportasi merupakan kebutuhan warga Ibu Kota untuk mendukung mobilitasnya.
Untuk bertahan dan tetap menjadi pilihan warga Jakarta, penyedia layanan transportasi harus melakukan kerja sama agar terhubung satu sama lain. Salah satu contohnya, adalah menyatukan operasi kopaja rute Blok M-Manggarai dalam pengelolaan PT Transportasi Jakarta pada 2015.
Integrasi juga dilakukan pada jalur Ragunan-Dukuh Atas yang diganti bus-bus ukuran sedang berwarna putih biru dengan tulisan transjakarta. Selain itu, sejak 2017, PT Transportasi Jakarta melakukan terobosan dengan mengadakan armada baru minitrans yang berfungsi sebagai bus pengumpan.
Namun di sisi lain, pola integrasi ini berpotensi mengancam operator atau pemilik bus yang belum terlibat dalam skema integrasi transportasi Ibu Kota. Bus-bus yang terancam antara lain Metromini atau Kopaja yang memiliki rute yang sama atau bersinggungan dengan armada transportasi massal.
Ancaman itu masih ditambah kemudahan mobilitas yang ditawarkan transportasi daring yang menawarkan kemudahan jasa menghubungkan dengan titik keberadaan transportasi massal.
Selain itu, ada pula Peraturan Daerah DKI Jakarta No. 5 Tahun 2014 tentang Transportasi yang juga tidak berpihak pada armada Metromini dan Kopaja. Dalam regulasi tersebut, disebutkan usia pakai angkutan umum yang bisa beroperasi di Jakarta maksimal 10 tahun.
Jika pada periode lampau, perkembangan teknologi transportasi mempengaruhi hilang atau bertahannya sebuah sarana angkutan, namun saat ini ada variabel lain yang turut berpengaruh, yaitu teknologi dan integrasi. Strategi yang dilakukan selain meningkatkan pelayanan sarana transportasi itu sendiri, operator atau pemilik angkutan juga harus menjadi bagian integrasi sistem transportasi massal serta memanfaatkan jaringan teknologi informasi. (LITBANG KOMPAS)