Pengusaha Perikanan Enggan Gunakan Jalur Bitung-Davao
›
Pengusaha Perikanan Enggan...
Iklan
Pengusaha Perikanan Enggan Gunakan Jalur Bitung-Davao
Pengusaha perikanan di Sulawesi Utara belum akan memanfaatkan jalur perdagangan antara Bitung, Sulut, dan Davao, Filipina. Ekspor produk pengolahan ikan di Bitung saat ini kalah bersaing akibat mahalnya bahan baku.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
MANADO, KOMPAS — Pengusaha perikanan di Sulawesi Utara belum akan memanfaatkan jalur perdagangan antara Bitung, Sulut, dan Davao, Filipina. Ekspor produk pengolahan ikan di Bitung saat ini kalah bersaing akibat mahalnya bahan baku.
Ketua Asosiasi Pengolahan Ikan (API) Bitung Basmi Said menyambut baik upaya pembukaan jalur Bitung-Davao. Pengapalan langsung dari Bitung dapat memangkas ongkos kirim sebesar 500-700 dollar AS per peti kemas.
”Itu sangat bagus. Selama ini, kami harus kirim ke Surabaya atau Jakarta dulu sehingga kena biaya handling (penanganan pelabuhan) dan re-stuffing (pemuatan ulang). Kualitas ikan juga berisiko menurun,” kata Basmi, dihubungi dari Manado, Sulut, Sabtu (13/7/2019).
Saat ini, biaya ekspor ke Davao masih tinggi, yaitu 1.600 dollar AS per peti kemas. Pemerintah sedang menyusun paket insentif untuk menurunkan biaya ekspor.
Meski begitu, pengusaha pengolahan ikan di Bitung saat ini enggan mengekspor, termasuk ke Filipina. Hal itu disebabkan ikan olahan Bitung kalah bersaing dengan produk negara tetangga di pasar negara tujuan ekspor akibat tingginya harga bahan baku. Harga ikan tangkapan di Bitung saat ini Rp 18.500 per kilogram, sedangkan ikan tangkapan di Thailand Rp 15.000 per kilogram.
”Karena bahan baku mahal, pengiriman dari Bitung ke luar negeri sepi beberapa bulan terakhir. Misalnya, kita produksi 50 ton, ikan kita lebih mahal Rp 150 juta dibanding Thailand. Kita sudah kalah total, makanya pengusaha lebih suka kirim ke Jawa,” tuturnya.
Tingginya harga ikan olahan disebabkan jumlah kapal ikan tangkap yang semakin sedikit sejak Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melakukan moratorium pemberian izin usaha perikanan tangkap pada 2014.
Basmi menilai, izin penangkapan ikan bagi kapal berukuran 100 gros ton (GT) dipersulit Peraturan Menteri Nomor 57 Tahun 2014 tentang Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP).
Akibatnya, tingkat utilisasi unit pengolahan ikan di Bitung hanya 19,6 persen atau 275 ton per hari, jauh di bawah kapasitas 1.414 ton per hari. Angka ini menurun dari tingkat utilisasi 50,6 persen atau 715 ton per hari pada 2014. Harga jual ikan pun menjadi naik.
Kalau ikan tangkapan banyak, harga bahan baku akan menurun. Mau ke Davao atau ke tujuan lainnya, ekspor kita bisa jadi lebih kompetitif.
”Solusinya, sementara ini, harusnya perizinan kapal dibuka, dipermudah, dan dipercepat, terutama untuk Indonesia bagian timur. Kalau ikan tangkapan banyak, harga bahan baku akan menurun. Mau ke Davao atau ke tujuan lainnya, ekspor kita bisa jadi lebih kompetitif,” kata Basmi.
Sementara itu, Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Sulut Jenny Karouw membenarkan, industri perikanan mengalami kelesuan dalam beberapa tahun terakhir. Namun, berangsur-angsur perbaikan mulai terlihat, salah satunya karena fasilitasi perizinan untuk kapal-kapal ukuran 60 GT oleh pemerintah provinsi.
Selain itu, ikan kaleng juga sudah mulai dilabel di Indonesia sebelum diekspor. ”Ini memberikan nilai tambah bagi daerah. Industri perikanan sekarang mulai membaik,” lanjut Jenny.
Pengajar ilmu ekonomi Universitas Sam Ratulangi, Noldy Tuerah, menyebutkan, ekspor dari sektor pengolahan ikan perlu terus ditingkatkan karena potensinya yang besar. Sektor ini juga memberikan nilai tambah (value added) yang lebih besar dibandingkan komoditas lain yang berupa barang mentah.
”Pengolahan ikan hampir tidak melibatkan bahan baku impor. Kalaupun ada, persentasenya kecil sekali, misalnya kaleng untuk industri pengalengan ikan,” ujar Noldy.
Adapun komoditas yang lebih siap diekspor antara lain jagung, kopra, kelapa butir, pala, dan mebel. Jenny Karouw berharap, ekspor dari Bitung ke Filipina yang diangkut kapal MV Baltic Summer ini bisa dimanfaatkan pengusaha. Apalagi, kapal tidak hanya berlayar sampai Davao, tetapi juga Labuan (Malaysia) dan Ho Chi Minh (Vietnam).
Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sulut (Apeksu) George Umpel mengatakan, petani kelapa mendukung penuh kebijakan pembukaan rute dagang Bitung-Davao. Menurut dia, ekspor bisa meningkatkan harga kelapa dan kopra yang dihargai rendah di dalam negeri.
”Pengusaha lokal bilang ada overproduksi kelapa di Sulut sehingga kelapa kami dibeli murah. Sekarang harga kopra tidak sampai Rp 5.000 per kg, sedangkan kelapa butir Rp 1.250 per kg. Kalau bisa dijual ke luar negeri, harga kelapa dan kopra akan makin bagus bagi petani,” tutur George.
Kendati begitu, ia berharap, kelapa dan kopra tidak berhenti di Filipina, tetapi bisa diekspor lebih lanjut ke India atau China. Saat ini, produksi kelapa di Filipina juga berlimpah.
Biaya transportasi ke Bitung pun dinilainya membuat harga kelapa dan kopra lebih mahal sehingga bisa kalah bersaing di Filipina. ”Sentra kelapa di Sulut sebenarnya ada di Kabupaten Minahasa Selatan. Saya harap, ekspor bisa lewat Pelabuhan Amurang saja,” kata George.