Kepastian hukum, definisi tanah telantar, dan kepemilikan asing menjadi perhatian Persatuan Perusahaan Real Estat Indonesia dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang Pertanahan. Kedua hal itu menjadi kunci untuk kepastian berusaha.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kepastian hukum, definisi tanah telantar, dan kepemilikan asing menjadi perhatian Persatuan Perusahaan Real Estat Indonesia dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang Pertanahan. Kedua hal itu menjadi kunci untuk kepastian berusaha.
Sekretaris Jenderal Real Estat Indonesia (REI) Totok Lusida mengatakan, para pengembang yang tergabung di REI mendukung pembahasan RUU Pertanahan yang kini tengah bergulir di DPR. Revisi UU Pokok Agraria dinilai sudah diperlukan untuk disesuaikan dengan perkembangan zaman. REI juga telah diundang Komisi II DPR untuk berdiskusi dan memberikan masukan.
”RUU Pertanahan diharapkan memberi kepastian hukum, misalnya soal penyelesaian gugatan perdata atau sengketa soal tanah. Lalu, soal kepemilikan asing. Yang diperlukan adalah aturan yang jelas sehingga di kemudian hari tidak gugat-menggugat,” kata Totok dalam temu media, Jumat (12/7/2019), di Jakarta.
Saat ini RUU Pertanahan tengah digodog di DPR. Ditargetkan RUU tersebut dapat selesai dan diundangkan pada September tahun ini.
Kepastian hukum dalam menyelesaikan gugatan perdata menjadi perhatian REI dalam RUU Pertanahan. Itu karena sengketa pertanahan memakan proses dan waktu yang panjang. Hal itu dinilai merugikan pengembang karena berdampak pada ketidakpastian berusaha.
Hal berikutnya adalah mengenai kepemilikan asing. Saat ini, kepemilikan asing diatur di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2015. REI berharap RUU Pertanahan dapat mengakomodasi kepemilikan asing, terutama menyangkut periode hak pakai oleh orang asing.
Selama ini, hak pakai orang asing selama 30 tahun, kemudian dapat diperpanjang 20 tahun berikutnya dan 30 tahun berikutnya. Periode pertama selama 30 tahun tersebut dianggap terlalu singkat. Maka, REI mengusulkan agar hak pakai periode pertama langsung sepanjang 50 tahun.
Selain itu, diusulkan pula pembatasan harga properti yang bisa dibeli orang asing untuk menyeleksi pembeli. Detail seperti itu diusulkan tidak diatur di UU, tetapi dalam PP atau peraturan setingkat menteri.
”Jangan sampai yang dibeli adalah properti untuk segmen menengah ke bawah karena masyarakat kita masih perlu banyak,” ujar Totok.
Selain itu, REI meminta agar definisi lahan telantar diperjelas. Bagi pengembang, lahan yang dimiliki bukan merupakan lahan telantar, melainkan inventaris yang akan dikembangkan.
Oleh karena itu, diusulkan batasan waktu dan prasyarat lain, seperti rencana induk pengembangan dan perizinan untuk membedakan tanah yang memang disiapkan untuk untuk bisnis properti dengan tanah yang sengaja didiamkan untuk mencari untung.
Wakil Sekjen REI Bidang Hukum dan Perundang-undangan Hery Sulistyono menambahkan, hak pakai untuk kepemilikan asing memang perlu dibatasi. Hal itu akan memberi kepastian bagi orang asing untuk membeli hunian di Indonesia.
Secara terpisah, Kepala Bagian Biro Hukum dan Humas Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Yagus Suyadi mengatakan, hingga saat ini ruang bagi kepemilikan asing memang telah dikunci di UU Pokok Agraria.
Meski demikian, PP No 103/2015 dimaksudkan agar kepentingan orang asing di Indonesia dapat terakomodasi. Karena perkembangan kebutuhan, substansi mengenai kepemilikan orang asing juga telah dibahas untuk dimasukkan dalam RUU Pertanahan. (NAD)