PONTIANAK, KOMPAS— Solusi komprehensif dibutuhkan untuk mengatasi masalah perdagangan manusia, yang antara lain dilakukan dengan modus pengantin pesanan atau kawin kontrak dengan pria dari China. Fenomena ini sudah lama terjadi, tetapi hingga kini belum ada perbaikan signifikan.
Penegakan hukum yang tegas dalam kasus ini mesti diiringi dengan langkah lain, seperti pemberdayaan ekonomi masyarakat dan penguatan diplomasi antarnegara. Penyuluhan kepada masyarakat juga mesti dilakukan agar tidak sembarangan menerima tawaran dari pihak tertentu yang pada akhirnya akan mengarah pada perdagangan orang.
Mantan Wali Kota Singkawang, Kalimantan Barat, Hasan Karman, Jumat (12/7/2019), mengatakan, praktik perkawinan perempuan di daerahnya dengan pria asing, khususnya warga negara Taiwan, terjadi sejak tahun 1970-an.
Kala itu, banyak veteran di Taiwan yang tidak memiliki istri pergi ke Singkawang untuk mencari istri. Pasalnya, jika tidak memiliki istri, kekayaan mereka akan diambil negara. Sementara itu, tidak mudah mendapatkan perempuan di Taiwan yang mau menikah dengan mereka karena perempuan di Taiwan menuntut laki-laki mapan. Generasi berikutnya adalah anak-anak muda yang mencari istri ke Singkawang.
Menurut dia, unsur perdagangan manusia muncul pada generasi ketiga. Kondisi ini kemudian dimanfaatkan sindikat perdagangan internasional dengan modus pengantin pesanan atau kawin kontrak dengan pria dari China.
Permintaan terhadap pengantin pesanan di China meningkat dalam beberapa tahun terakhir dan dipicu oleh kebijakan satu anak yang diberlakukan sejak 1979. Kebijakan itu menyebabkan pada 2020, jumlah laki-laki di China dalam usia menikah, 40 juta jiwa lebih banyak daripada jumlah perempuan pada kelompok usia yang sama (Kompas, 12/7/2019).
Selain menargetkan perempuan-perempuan dari daerah Singkawang, korban perdagangan orang melalui modus pengantin pesanan dalam beberapa tahun terakhir juga ditemukan di Jawa Barat, Jawa Tengah, Banten, dan Jakarta.
Hasan mengatakan, korban perdagangan orang pada umumnya adalah masyarakat tidak mampu. Karena itu, salah satu solusi untuk mengatasi masalah ini adalah menyelesaikan masalah ekonomi mereka.
Selain pemberdayaan ekonomi, Heriyanto, Ketua Umum Serikat Buruh Migran Indonesia, menilai, perlu ada diplomasi antarnegara karena masalah ini menyangkut perlindungan warga negara Indonesia yang ada di luar negeri. Aparat penegak hukum juga mesti serius menangani kasus ini karena diperkirakan masih ada warga negara Indonesia di China yang menjadi korban perdagangan.
Pencegahan
Upaya untuk mencegah perdagangan orang, kata Heriyanto, juga mesti dilakukan. Pencegahan yang dimaksud tidak hanya sosialisasi ataupun penyuluhan, tetapi perlu ada pelatihan langsung kepada penegak hukum, pemerintah daerah, hingga ke tingkat desa, misalnya tokoh adat dan masyarakat.
Pelatihan itu mulai dari langkah mengidentifikasi modus sehingga masyarakat menolak dan tidak terjebak dengan modus yang ditawarkan. Pelatihan tersebut perlu dilakukan secara masif agar semakin banyak masyarakat yang menyadari bahaya di balik kawin kontrak dengan pria China.
Masyarakat, menurut Heriyanto, juga perlu dilatih untuk mengidentifikasi pelaku. Biasanya, ”mak comblang” menjalankan modus tersebut turun- temurun. Bagi comblang, merekrut perempuan yang bersedia menjadi pengantin pesanan adalah bisnis karena ada motif mendapatkan uang di balik itu.
Mardiana Maya Satrini dari Satuan Tugas Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak MAHARANI Singkawang menuturkan, pola pikir masyarakat bahwa anak adalah aset ekonomi perlu diubah.
Asisten Deputi Hak Perempuan dalam Tindak Pidana Perdagangan Orang, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Destri Handayani menuturkan, pemerintah telah intensif memberikan informasi kepada berbagai pihak terkait tentang modus dan bahaya perdagangan manusia. Pengurusan paspor di imigrasi juga telah diperketat