Tunjangan Ahli Waris Korban
Sebagai reaksi atas korban meninggal akibat ”kecelakaan kerja”, Menaker menurunkan tim investigasi ke tempat kejadian di Langkat, Sumut. Pegawai Pengawas Dinas Tenaga Kerja, unit kerja Gubernur Sumut menginformasikan, dari 24 buruh yang meninggal dengan upah Rp 700.000 sebulan, ternyata hanya satu yang menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan.
Karena itu, yang harus dipantau media massa ke depan adalah bagaimana ujung kasus ini. Apa keputusan yang dijatuhkan Dinas Tenaga Kerja Sumut? Bagaimana kondisi ahli waris dari buruh yang menjadi korban?
Untuk diketahui, ahli waris buruh korban berhak atas tunjangan pensiun berkala (seumur hidup) yang wajib dibayarkan oleh perusahaan/majikan. Hal ini berdasarkan Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan UU Ketenagakerjaan.
Mereka juga berhak atas ”uang pesangon” yang jumlahnya bisa mencapai puluhan kali upah. Jadi, bukan tali asih dari pengusaha, seperti yang disebutkan oleh bapak polisi dalam berita di televisi.
Sebagai pembelajaran kepatuhan melaksanakan UU, di samping kewajiban finansial tersebut di atas, patut diduga terjadi pelanggaran pidana berdasarkan kedua UU itu.
Peristiwa di atas sekaligus momentum strategis untuk Mendagri agar sepenuhnya menilai kinerja para gubernur dengan lima ratusan bupati/wali kota dalam melaksanakan hak jaminan sosial di daerah masing-masing.
Kepatuhan melaksanakan UU SJSN berada di bawah pengawasan pemerintah daerah. UU tersebut melindungi hak finansial sekitar 49 juta buruh dengan akumulasi ”dana pembangunan jangka panjang non-inflatoar” yang berupa dana jaminan sosial sebesar Rp 300 triliun menuju Rp 1.500 triliun.
Kita jangan lalai lagi dan tidak mengambil pelajaran seperti peristiwa tahun lalu, di antaranya kebakaran pabrik di Tangerang dengan korban meninggal juga puluhan jiwa, ataupun peristiwa pilot bergaji UMR yang meninggal akibat kecelakaan. Seingat saya, tak terdengar berita apa hukuman yang dijatuhkan kepada perusahaan penanggung jawab hilangnya nyawa puluhan jiwa itu.
Odang Muchtar
Konsultan Small and Medium-sized Enterprises (SME) Social Security,
Bintaro, Jakarta 12330
Laut
Setelah membaca uraian Guru Besar Mayling Oei-Gardiner (UI) saya prihatin. Berjudul ”Janji Pendidikan di Pasar Kerja” (Kompas, 15 Juni 2019), Mayling menjelaskan bahwa sebagian lulusan pendidikan menengah dan tinggi tidak menemukan pekerjaan impian di pasar kerja.
Saya mencoba menyarankan alternatif untuk mencari sumber kehidupan. Indonesia terdiri dari pulau-pulau dan dikelilingi laut yang seharusnya disebut perairan Indonesia. Konon masyarakat kita zaman dahulu suka berlayar, terbukti dengan nyanyian: ”Nenek moyangku orang pelaut, gemar berlayar lintas samudra, ...” dan seterusnya.
Dengan adanya penjajahan bangsa asing pada 1600-1942 perairan Indonesia diramaikan kapal-kapal dagang asing yang mengangkut hasil bumi dan hasil tambang untuk diangkut ke negeri mereka. Kapal-kapal kita menjadi tersisih dan penduduk akhirnya lebih banyak bekerja di daratan.
Dalam Kompas, 17 Juni 2019, halaman 14, disebutkan bahwa kapal asing mengintai (untuk mencuri ikan kita).
Bagaimana kalau cinta bahari dihidupkan kembali? Perairan Indonesia diramaikan kembali oleh bangsa sendiri. Perairan Indonesia perlu kita jaga supaya kekayaan yang terkandung di dalamnya tidak dicuri oleh pihak lain.
Indonesia saat ini dikenal sebagai negara agraris, padahal kenyataannya juga negara maritim. Untuk itu, perairan kita adalah peluang baru untuk mencari kehidupan. Contohlah Jepang yang berkembang di darat dan di laut.
Titi Supratignyo
Pondok Kacang Barat
Tangerang Selatan