Memasuki musim kemarau, beberapa daerah dilaporkan mengalami kekeringan. Padahal, puncak musim kemarau diprediksi baru terjadi pada Agustus mendatang. Hari-hari tanpa hujan diperkirakan dialami masyarakat Indonesia selama beberapa waktu mendatang.
Warga di beberapa daerah mulai kesulitan air bersih. Sementara pasokan air untuk lahan pertanian menyusut. Ketersediaan air yang terbatas mengancam lahan pertanian. Ada petani yang membeli air dari tempat lain, tetapi ada pula yang menyewa generator untuk memompa air tanah. Ujung-ujungnya, biaya bertambah.
Masalah kekeringan yang mengancam lahan pertanian sering dihubungkan dengan tingkat ketahanan pangan. Kendati keduanya terkait, ketahanan pangan sebenarnya tidak memperhatikan asal muasal pangan, yakni lokal atau impor, tetapi soal kebutuhan yang tercukupi.
Namun, dalam konteks perdagangan, tentu saja impor mesti ditekan. Sebaliknya, ekspor harus digalakkan. Hal itu berarti bahan pangan mesti diproduksi sebesar-besarnya di dalam negeri. Agar tujuan itu tercapai, faktor pendukung produksi pangan harus diciptakan atau dibangun. Ongkos atau investasi mesti dikeluarkan.
Salah satu infrastruktur dasar yang digenjot pembangunannya adalah bendungan. Triliunan rupiah dikeluarkan untuk membangun 49 bendungan baru dan melanjutkan 16 bendungan periode sebelumnya. Narasi yang selalu disuarakan: bendungan dibangun untuk mendukung ketahanan pangan.
Keberadaan bendungan memang memberi kepastian ketersediaan air bagi lahan pertanian. Meskipun didesain multifungsi, pada dasarnya bendungan yang dibangun pemerintah berfungsi untuk meningkatkan indeks pertanaman. Jika dalam setahun pola tanam sebuah area pertanian adalah padi-palawija-palawija, maka dengan keberadaan bendungan dapat ditingkatkan menjadi padi-padi-palawija. Bahkan, bisa jadi menjadi padi-padi-padi.
Meski demikian, tidak semua lahan irigasi teknis memperoleh pasokan air dari bendungan. Dari total 7,3 juta hektar lahan irigasi teknis, sampai dengan 2015 baru 11 persen atau sekitar 800.000 hektar yang airnya dipasok dari bendungan. Saat ini, luasannya bertambah menjadi sekitar 1 juta hektar. Sisanya, daerah irigasi teknis yang airnya berasal dari bendung yang tergantung pada debit air sungai.
Jika 65 bendungan yang dibangun sejak 2015 tersebut selesai semuanya, lahan irigasi teknis yang dapat dipasok air dari bendungan meningkat menjadi 20 persen atau sekitar 1,5 juta hektar. Jika dibandingkan dengan total bendungan, masih jauh lebih banyak lahan irigasi yang belum mendapat jaminan ketersediaan air dari bendungan.
Namun, penyelesaian pembangunan konstruksi bendungan tidak lantas menuntaskan masalah ketahanan pangan. Agar dapat mengairi lahan pertanian, bendungan memerlukan jaringan irigasi, mulai dari jaringan irigasi primer, sekunder, sampai dengan jaringan tersier. Jika tidak, sia-sia saja bendungan dibangun.
Tantangannya bukan itu saja. Alih fungsi lahan juga berjalan dengan cepat. Badan Pusat Statistik mencatat, pada 1998 sampai dengan 2002, laju alih fungsi lahan pertanian menjadi non-pertanian rata-rata 110.000 hektar per tahun. Sementara, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional mencatat laju alih fungsi lahan pertanian mencapai 150.000 hektar per tahun.
Dengan demikian, pembangunan infrastruktur berupa bendungan dan irigasi juga memerlukan peran suprastruktur berupa regulasi atau peraturan dari pemerintah. Tanpa peraturan untuk membatasi alih fungsi lahan, bukan tidak mungkin bendungan di masa mendatang justru kekurangan lahan pertanian untuk diairi.
Tantangan lain berupa kerusakan daerah hulu. Kini sudah ada beberapa bendungan yang usianya ditengarai lebih pendek dari rencana karena masalah sedimentasi yang berjalan cepat. Sebab, daerah hulu dari sungai yang dibendung rusak. Bukan tidak mungkin, di masa mendatang, bendungan tinggal cerita karena tidak lagi berfungsi seperti sedia kala.
Membangun bendungan adalah usaha untuk meningkatkan ketahanan pangan. Bahkan, menjadi sarana untuk menyejahterakan rakyat. Upaya menuntaskan persoalan kekeringan dilakukan dengan membangun bendungan, tetapi bukan berarti tanpa tantangan. (NORBERTUS ARYA DWIANGGA)