LONDON, JUMAT - Berstatus sebagai petenis nomor satu dunia dan menjadi unggulan pertama, Novak Djokovic akhirnya mendapat tempat di final Grand Slam Wimbledon setelah melalui salah satu laga tersulitnya di All England Club, London, Inggris, tahun ini. Djokovic pun membuka kesempatan mempertahankan gelar dari turnamen tenis tertua itu untuk kedua kalinya.
Kemenangan atas Roberto Bautista Agut, 6-2, 4-6, 6-3, 6-2 pada semifinal, Jumat (12/7/2019), mengantarkan Djokovic pada final keenam di Wimbledon, sama seperti yang dilakukan Boris Becker, Jimmy Connors, dan Rod Laver. "Final Wimbledon selalu terasa beda. Saya selalu memimpikan ini sejak kecil, jadi tentu saja sangat senang kembali ke final,"kata Djokovic.
Laga yang berlangsung 2 jam 48 menit itu menjadi salah satu yang tersulit bagi Djokovic. Apalagi, itu terjadi setelah kemenangan mudah diraih petenis Serbia itu pada perempat final. Djokovic hanya kehilangan enam gim saat mengalahkan David Goffin, 6-4, 6-0, 6-2.
Momen ketika Djokovic kehilangan satu set terjadi juga ketika berhadapan dengan Hubert Hurkacz (Polandia) pada babak ketiga. Dalam laga tiga jam, Djokovic menang, 7-5, 6-7 (5), 6-1, 6-4.
"Saya harus menggali semua kemampuan saya pada pertandingan tadi. Meski ini menjadi semifinal pertama Agut, dia bermain cukup baik. Pada set pertama, dia melakukan banyak kesalahan, tetapi setelah itu bisa menemukan ritmenya. Saya senang bisa mengatasinya," ujar Djokovic.
Jika bisa mengalahkan Roger Federer atau Rafael Nadal di final, Minggu, Djokovic akan mengulang prestasinya pada 2015 ketika berhasil mempertahankan gelar juara. “Big match” Federer dan Nadal berlangsung pada Jumat tengah malam waktu Indonesia.
Gelar pada 2014 dan 2015 menjadi bagian dari empat gelar yang didapat Djokovic dari Grand Slam lapangan rumput itu. Tak banyak petenis yang bisa mempertahankan gelar di Wimbledon.
Sejak era Terbuka, pada 1968, hanya ada enam tunggal putra yang bisa melakukannya sebelum Djokovic. Mereka adalah John Newcombe (1970-1971), Bjorn Borg (1976-1980), John McEnroe (1983-1984), Boris Becker (1985-1986), Pete Sampras (1993-1995 dan 1997-2000), serta Federer (2003-2007).
Kemenangan atas Agut juga mengantarkan Djokovic pada final Grand Slam untuk ke-25 kali. Dia hanya kalah dari Nadal dengan 27 final dan Federer (31).
Namun, seperti diprediksi Djokovic sebelum pertandingan, Agut menjadi lawan yang tak mudah dikalahkan. “Agut punya kemampuan bermain lama untuk memperebutkan satu poin, meski kelihatannya dia berada dalam posisi sulit. Pukulannya konsisten, sangat datar dari forehand maupun backhand,” ujarnya sebelum semifinal.
Di lapangan, itu terlihat ketika Agut bisa menahan setiap permainan reli, salah satunya ketika terjadi 45 pukulan pada gim ketujuh set ketiga. Agut kehilangan poin, tetapi bisa membuat Djokovic kelelahan. Dia pun memperlambat kemenangan Djokovic ketika empat kali menggagalkan match point Djokovic pada gim terakhir.
Becker, mantan pelatih Djokovic, menilai, Agut bukanlah petenis yang memiliki servis keras atau pukulan paling bertenaga. “Namun, Roberto bisa bermain dengan cerdik untuk menyulitkan lawan. Saya tak akan heran jika pertandingan bisa berlangsung lebih dari tiga jam, tetapi Novak akan menemukan cara untuk menang,” kata Becker pada BBC.
Agut sebenarnya tertinggal, 3-7, dari Djokovic, tetapi memenangi dua pertemuan terakhir pada musim ini, yaitu di semifinal ATP Qatar dan babak keempat Miami Masters. Dia meraih hasil cukup bagus dengan menjuarai ATP Doha, pada turnamen pertama, dan mencapai perempat final Australia Terbuka, perempat final pertamanya di Grand Slam.
Sebelum ke All England Club, penampilannya pada turnamen pemanasan Wimbledon di Halle, Jerman, juga cukup baik. Dia dihentikan Roger Federer pada perempat final, namun setelah memberi perlawanan ketat, 3-6, 6-4, 4-6.
Agut juga termotivasi dengan absennya dia di Wimbledon 2018. Cedera otot perut membuatnya harus menyaksikan Wimbledon dari siaran TV. (REUTERS)