Hangat Cinta di Prambanan
Penyanyi dan musisi asal Amerika Serikat, Brian McKnight, dan penyanyi asal Indonesia yang kini mukim di Perancis, Anggun, tampil di Prambanan Jazz Festival 2019. Seolah menyerap narasi cinta yang lekat dengan Candi Prambanan, Brian dan Anggun menyuguhkan lagu-lagu bersyair cinta. Malam pun hangat, seperti cinta....
Brian McKnight tampil bersama The Brian McKnight 4 di ajang special show Prambanan Jazz Festival 2019 pada hari terakhir festival yang digelar di kawasan Candi Prambanan, Yogyakarta, Minggu (7/7/2019). Pelantun lagu hit ”One Last Cry” (1992) itu tampil pukul 20.00 saat kawasan Prambanan diselimuti hawa dingin pada suhu 22 derajat celsius.
Malam itu, Brian, yang memang dikenal dengan lagu-lagu cinta, membagi suguhan lagunya dalam beberapa segmen sesuai rilis album-albumnya. Tahun 1992, 1995, 1997, hingga 1999. Dimulai dengan lagu-lagu berirama cepat seperti ”Genesis”, ”All Night Long”, hingga ”Hungry”. Lantas disusul lagu-lagu berirama lebih lambat seperti ”10 Million Stars” dan ”Forever”. Penonton diajak bernostalgia di masa kejayaan lagu-lagu Brian di era 1990-an.
Sembari menyuguhkan vokalnya yang masih sangat bertenaga, Brian juga memainkan kibor. Suara yang dihasilkan dari sistem tata suara panggung tersimak sempurna, jernih dan megah. Penonton pun segera hanyut menikmati sajian Brian yang di panggung aktif berinteraksi dengan penonton.
Penampilannya malam itu terasa dekat, tak berjarak. Brian tampaknya tahu betul bagaimana menghadapi penonton Indonesia setelah berulang kali tampil di Indonesia.
”Lagu-laguku memang banyak bercerita tentang cinta. Karena aku yakin, cintalah yang akan membuat dunia jadi lebih baik,” ujarnya sebelum melantunkan ”Everything”.
Brian lalu membawakan medley lagu-lagu cinta milik penyanyi lain. Seperti ”I Have Nothing” (Whitney Houston) dan ”September” milik Earth, Wind & Fire.
”Aku bisa saja cerita soal cinta terus-menerus karena cinta memang luar biasa. Tapi, aku juga tahu tentang patah hati. Dan, kamu semua tahu, saat patah hati, aku selalu ada untuk kalian (dengan lagu-laguku),” kata Brian.
Lalu ia melantunkan medley lagu-lagu tentang patah hati, di antaranya tentu saja ”One Last Cry”. Tepuk tangan panjang mengiringi Brian yang berjalan meninggalkan panggung.
Mitos
Di belakang Brian, ada Anggun yang membuka penampilannya dengan ”Kembali”. Penyanyi yang kariernya telah go international itu tampil dengan gaya yang masih saja centil dan manja.
”Halo Yogyakarta. Pripun kabare,” sapanya seusai melantunkan ”No Promises”. Di lagu-lagu awal itu suara Anggun tampak belum maksimal. Baru di lagu kelima suaranya terasa pas.
”Saya udah lama banget nggak ke sini. Dulu pernah main di Prambanan, tetapi ada teman bilang, kalau main ke Prambanan, jangan bawa pacar daripada putus,” kata Anggun.
Dia lalu selalu menolak setiap kali diminta menyanyi di Prambanan, terutama jika datang bersama sang pacar. ”Waktu itu pernah datang (ke Prambanan) dan bawa pacar, eh putus beneran,” ujarnya seraya terkekeh.
Setelah menikah kembali dengan suami keempat, Anggun pun berani menerima tawaran menyanyi lagi di Candi Prambanan. ”Akhirnya sekarang saya ke sini sama anak dan suami di Prambanan Jazz,” katanya.
Anggun malam itu juga membawakan lagu-lagu populernya seperti ”Snow on the Sahara”, ”Yang Aku Tunggu”, ”Mimpi”, dan ”Hanyalah Cinta”. Ia menutup penampilannya dengan ”Tua-Tua Keladi”.
Seperti dituturkan Anggun, mitos putus pacar memang lekat dengan Candi Prambanan. Mitos ini mungkin berkaitan dengan legenda Roro Jonggrang yang melatari keberadaan Candi Prambanan. Namun, bagi 25.000 penonton yang malam itu memadati kawasan Prambanan, mitos itu runtuh.
Banyak penonton, baik muda maupun tua, datang bersama pasangan mereka. Sambil menonton, mereka saling bergenggaman tangan. Senyum tersungging di wajah setiap kali musisi yang mereka tunggu memainkan lagu cinta favorit. Mungkin saja kisahnya sama dengan kisah cinta mereka.
Selain Brian McKnight dan Anggun, Prambanan Jazz 2019 hari ketiga diisi musisi dan penyanyi yang juga terkenal karena lagu-lagu cinta mereka. Di antaranya Andien Aisyah, Tompi, Ari Lasso, Glenn Fredly, dan Tulus.
Kaya warna
Saat membawakan ”Perbedaan”, Ari Lasso mengajak penonton menyalakan ponsel dan melambaikan ke arah panggung. Suasana berubah syahdu. Petikan gitar yang mendayu berpadu apik dengan suara khas Ari Lasso. Penonton seolah hanyut. Mereka saling berangkulan, menyandarkan kepala di bahu pasangan sambil bernyanyi bersama.
Suasana romantis makin menjadi kala Glenn Fredly tampil. Glenn tahu betul bagaimana membuat penonton larut dalam lagu-lagu romantisnya. Dengan enam lagu yang dibawakannya, penonton diajak menyelami kedalaman rasa, dari bahagia hingga sedih mendalam.
Salah satu lagunya adalah ”Sekali Ini Saja”. Saat intro mengalun, penonton berteriak antusias. Memasuki refrein, semua penonton ikut menyanyi. Seperti ini liriknya. ”Tuhan bila masih ’kudiberi kesempatan/ Izinkan aku untuk mencintanya/ Namun bila waktuku telah habis dengannya/ Biar cinta hidup sekali ini saja../”
Putri (17), penonton asal Yogyakarta, mengatakan, perasaannya campur aduk saat menyaksikan Glenn tampil. Padahal, ini bukan pertama kali ia menyaksikan Glenn.
”Seperti roller coaster. Waktu dia menyanyikan lagu yang suasananya senang, rasanya ingin jingkrak-jingkrak. Tapi, pas yang dimainkan lagu sedih, rasanya ingin nangis juga,” ujar Putri.
Tulus yang merupakan penampil terakhir malam itu tak kalah hebat menyihir penonton. Dia membawakan lagu-lagu seperti ”Sewindu”, ”Gajah”, ”Jangan Cintai Aku Apa Adanya”, juga ”Adu Rayu” hasil kolaborasi dengan Glenn dan Yovie Widianto.
”Saya tak ingat sudah berapa kali tampil di Prambanan Jazz. Tapi, saya selalu penasaran bagaimana atmosfer panggung setiap tahunnya. Dan, setiap tahun selalu menyenangkan,” ujarnya.
Salah satu penonton, Jihan (17), datang jauh-jauh dari Surabaya untuk menonton aksi Tulus. Tahun ini adalah kesempatan pertamanya menonton festival jazz di kompleks candi itu.
Pengalaman itu, bagi Jihan, sangat menarik. ”Ini festival yang enggak biasa. Menonton jazz dengan latar belakang Candi Prambanan memberikan pengalaman lain. Sangat menyenangkan,” katanya.
Jihan memang penyuka jazz. ”Saya suka jazz. Referensi itu saya perkaya di internet,” katanya.
Begitu juga dengan Michael (18) asal Jakarta. Ia mulai mengenal jazz sejak usia 10 tahun lewat lagu-lagu jazz lawas Frank Sinatra dan Louis Armstrong yang kerap diputar kedua orangtuanya melalui piringan hitam.
”Buat saya, jazz musik yang unik. Sering kali musiknya tenang dan lembut. Tapi, kadang kita bisa mendengar berbagai aliran tercampur dalam musik jazz. Musik ini sangat kaya warna,” ujarnya.