Harum bawang putih berpadu dengan manisnya ang caw segera menerbitkan rasa lapar di Wong Fu Kie. Rumah makan yang sudah dikelola tiga generasi ini menjadi rumah makan tertua di Jakarta yang masih menyuguhkan keaslian hidangan Hakka. Keaslian yang antara lain ditegaskan dengan dominasi rasa gurih dari bawang putih dan hangat fermentasi tape caw.
Masih bertalian darah dengan suku Hakka yang hidup di wilayah selatan Daratan China, pendiri Wong Fu Kie tiba dan menetap di ibu kota Jakarta sejak 1925.
Kini, Wong Fu Kie dikelola oleh generasi ketiganya. Salah satu generasi penerus Wong Fu Kie, Tjokro Indrawirawan, bertekad akan terus mempertahankan resep yang masih tergolong warisan leluhur itu.
Seperti ketika menunjukkan semangkuk caw berwarna merah yang dibuat turun-temurun. Tjokro hanya terdiam ketika ditanya tentang proses detail pembuatan caw sehingga bisa berwarna merah dengan aroma segar itu. ”Membuatnya harus benar-benar bersih. Kalau pegawai yang ngolah sedang datang bulan, bisa enggak jadi fermentasinya,” kata Tjokro.
Sepintas caw ini sama persis dengan tape uli yang terbuat dari bahan dasar ketan. Namun, kuah caw berwarna merah segar. Tekstur kasar ketannya juga masih tampak, sama seperti tekstur tape uli. Caw inilah yang kemudian menjadi bumbu pendamping bawang putih untuk aneka olahan menu masakan.
Tekstur ketan berwarna merah ini dengan mudah dijumpai berpadu dengan hidangan seperti gurami mun tahu atau wong san fumak. Menu masakan sengaja masih memakai bahasa China sebagai penegas keotentikannya. Olahan dengan bumbu kental bawang putih dan caw terbukti memberikan rasa yang khas masakan China.
Belut goreng tepung alias wong san fumak menjadi salah satu menu terlaris dan wajib dicoba di restoran ini. Menu ini seolah menyajikan kesempurnaan rasa dari gigitan pertama. Tekstur belut goreng yang crispy gurih berpadu dengan segarnya sayur hijau kailan. Lagi-lagi aroma bawang putih dan caw dominan pada bumbu belut.
Mencicipi ayam rebus khas Hakka di restoran ini juga bakal meninggalkan kenangan rasa tak terlupakan. Ayam kampung yang dimasak selama 45 menit hingga mengeluarkan kaldu gurih ini ditaburi bumbu bawang putih goreng yang sangat menusuk. Olahan ayam lainnya adalah ayam ku lu nyuk yang digoreng dengan tepung olahan sendiri.
Mi andalan
Ketika pertama kali rumah makan ini didirikan, menu di Wong Fu Kie tak sebanyak sekarang. Daftar menu memang cukup panjang karena seluruh olahan bakmi, bihun, baso, kwetiau, lo cu pan, hingga nasi diolah dengan beragam variasi. Variasi itu antara lain dengan penggunaan sapi, ikan, ayam kampung, olahan hewan laut, hingga babi.
Saat ini, ada lebih dari 100 pilihan menu. Bandingkan dengan kala Wong Fu Kie didirikan dengan menu ala kadarnya. Restoran ini menjadi makin digemari kala itu, terutama karena olahan mi buatan rumahan yang nikmat. Hingga kini pun mi seperti lo mie cuyauw dan mun kiaw mien bakal bikin jatuh hati.
Mun kiaw mien hadir dalam tekstur mi basah yang diolah tradisional. Ibunda Tjokro-lah yang kemudian melengkapi menu andalan mi ini dengan keragaman pilihan menu lainnya. Meski sudah pensiun, sering kali ada pelanggan yang ingin agar si ibu yang tetap memasak di dapur.
Bagi penyuka olahan ikan, gurami mun tahu di Wong Fu Kie tergolong juara. Gurami goreng kering dengan daging lembut disajikan dengan kuah tauco dan beberapa potong tahu.
Sensasi perjalanan
Selain sensasi kelezatan yang dihadirkan, Wong Fu Kie jadi tak terlupakan karena ia menjadi salah satu restoran ”tersembunyi”. Letaknya berada di dalam gang di kawasan Pasar Pagi Lama, Jakarta Barat, tidak jauh dari Stasiun Kota. Namun, ia tak benar-benar tersembunyi karena dengan mudah bisa ditemukan dengan bantuan aplikasi peta Google.
Begitu menemukan gang menuju rumah makan, kaki akan melangkah menyusuri lorong gang. Lorong ini diapit perumahan pecinan dengan bangunannya yang tinggi hingga 3-4 lantai. Di mulut gang terdapat papan petunjuk restoran. Harum masakan bisa menjadi petunjuk arah yang mengidentifikasi keberadaan Wong Fu Kie.
Melongok pada masa lampau, wilayah ini pernah menjadi sentra perdagangan sebelum hadirnya kawasan Mangga Dua. ”Tidak mau keluar karena mempertahankan histori. Sesuai tradisi China, kalau akar, enggak boleh dimatiin. Harus tetap di sini,” ujar Tjokro.
Memasuki restoran, pelanggan segera disuguhi pintu berterali besi yang tersambung dengan dapur. Di dapur inilah, para koki mengolah aneka rupa masakan. Ruang makan hadir sederhana berpenyejuk udara, kental dengan nuansa China.
Pernak-pernik khas Tionghoa hingga tulisan kaligrafi berisi puisi tentang Wong Fu Kie karya seniman difabel dari Malaka terpajang di dekat meja kasir. Wong yang bermakna kuning misalnya digambarkan seperti sungai kuning yang mengalir di Daratan China.
Kehangatan keluarga pun tersaji karena sang pemilik selalu ada untuk menyapa tamu-tamunya. Tjokro biasanya akan mengajak para tamu berbincang. Menunggu antrean hingga sejam di padatnya jam makan siang dijamin tak membosankan karena kehangatan sikap si pemilik.
Tak heran pelanggannya setia dengan rumah makan tua khas Hakka ini.