Kecemasan Datang Lebih Cepat
Timur Tengah kembali bergolak. Saat konflik di Suriah dan Irak mulai mereda, ”hawa” di wilayah perairan Selat Hormuz makin menghangat, bahkan menjalar hingga ke perairan Selat Gibraltar. Meningkatnya ketegangan di Teluk Persia—ditandai dengan serangan atau sabotase atas sejumlah tanker—memicu kecemasan berulangnya sejarah era perang Irak-Iran.
Aksi tiga perahu cepat bersenjata milik Garda Revolusi Iran yang coba mendekati tanker Inggris, British Heritage, dekat Selat Hormuz, Rabu (10/7/2019), merupakan aksi paling serius setelah Iran menembak jatuh pesawat nirawak Amerika Serikat, RQ-4 Global Hawk, di atas Selat Hormuz, 20 Juni lalu.
Aksi Iran itu, entah mau mencegat atau sekadar memprovokasi tanker Inggris, jelas merupakan aksi balasan Iran terhadap penahanan supertanker Iran, Grace 1, di Selat Gibraltar oleh Angkatan Laut Inggris pada 4 Juli lalu.
Upaya Iran itu berhasil digagalkan setelah campur tangan fregat Inggris, HMS Montrose, yang berada tak jauh dari British Heritage. Montrose memberi peringatan melalui radio kepada ketiga perahu itu untuk segera menjauh.
Iran mengambil langkah rasional. Mereka segera mundur setelah diperingatkan. Namun Iran berhasil memberi pesan, Selat Hormuz berada dalam jangkauan armada sekelas perahu cepat bersenjata milik Iran. Teheran pun secara khusus, tampaknya ingin memperingatkan Inggris, agar segera membebaskan Grace 1 yang ditahan di Selat Gibraltar jika insiden British Heritage di dekat Selat Hormuz tidak ingin terulang lagi.
Iran bisa saja bermanuver atau melakukan provokasi lebih besar dengan cara menguji coba rudal balistik dari darat ke arah perairan Teluk Persia, atau menggelar latihan perang besar-besaran di Teluk Persia dengan melibatkan kapal perang, rudal balistik dari berbagai jenis, pesawat tempur dan pasukan darat, untuk menunjukkan taji Teheran.
Intinya, Iran bisa melancarkan serangan balasan di Teluk Persia dengan kekuatan militer yang dimiliki jika kepentingan mereka di mancanegara diganggu, seperti penahanan Grace 1 di Selat Gibraltar.
Picu kecemasan
Insiden tanker Iran, Grace 1, di Gibraltar dan tanker Inggris, British Heritage, di Selat Hormuz kini memunculkan kecemasan, yaitu memicu peningkatan aksi sabotase, provokasi, atau serangan terhadap tanker lain di Teluk Persia dan wilayah lainnya.
Sebelum insiden Grace I dan British Heritage terjadi, telah terjadi dua kali sabotase terhadap tanker di Teluk Persia. Pada 13 Juni lalu terjadi serangan atas dua tanker, yaitu Front Altair milik Norwegia dan Kokuka Courageous milik Jepang di Teluk Oman.
Sebelumnya, 12 Mei, terjadi sabotase atas empat tanker di dekat Pelabuhan Fujairah di Uni Emirat Arab (UEA). Dua dari empat tanker itu milik Arab Saudi dan sisanya milik UEA dan Norwegia. Rentetan insiden yang melibatkan tanker—sejak Mei hingga Juli— menunjukkan perang tanker sudah dimulai.
Rentetan insiden itu yang memaksa Inggris mengirim fregat kedua ke Teluk Persia untuk memperkuat kehadiran HMS Montrose. Menteri Luar Negeri Inggris Jeremy Hunt, Jumat (12/7), mengumumkan, Inggris akan mengirim HMS Duncan ke Teluk Persia.
Kepala Staf Gabungan Angkatan Bersenjata AS Joseph Dunford, Rabu, mengatakan, AS ingin membentuk koalisi militer dalam dua pekan mendatang untuk misi pengawalan di perairan Selat Hormuz, Teluk Persia, dan Selat Bab al- Mandeb di Laut Merah. Dunford belum menjelaskan, negara mana saja yang akan terlibat dalam koalisi militer itu.
Selama ini Selat Hormuz dikenal sangat strategis karena sekitar 20 persen pasokan energi dunia melalui jalur itu. Sebagian besar dari pasokan itu ditujukan untuk pasar Asia, seperti China, Jepang, Korea Selatan, dan India.
Jalur Bab al-Mandeb yang kini dikontrol milisi loyalis Iran, Al Houthi, tak kalah strategis. Jalur itu menjadi jalur lalu lintas laut utama antara Eropa dan Asia. Bahkan, hampir 40 persen suplai minyak ke Eropa dan AS dari kawasan Teluk diangkut melalui Bab al-Mandeb.
Milisi Al Houthi disebut sering mengganggu jalur lalu lintas di Bab al-Mandeb. Koalisi Arab pimpinan Arab Saudi mengklaim telah menggagalkan upaya Al Houthi—dengan menggunakan perahu yang dilengkapi peledak jenis blue fish—menyerang kapal dagang dekat Bab al-Mandeb, Senin (8/7).
Rangkaian insiden yang terjadi dalam dua bulan terakhir ini membuat kekhawatiran atas berulangnya sejarah perang tanker pada era perang Iran-Irak, 1980-1988, ternyata terjadi lebih cepat dari yang diperkirakan.
Jika pada era perang Irak- Iran perang tanker terjadi beberapa tahun setelah perang meletus, kini perang tanker sudah meretas sebelum terjadi perang terbuka Iran-AS.
Bahkan, insiden yang terjadi saat ini bisa lebih berbahaya dan meluas karena tidak hanya terjadi di Teluk Persia, tetapi merambah ke Selat Gibraltar dan Terusan Suez.
Saat era perang Iran-Irak, Iran menyerang tanker-tanker milik sejumlah negara Arab Teluk yang melintasi Teluk Persia. Serangan itu merupakan balasan atas dukungan negara-negara Arab Teluk pada Saddam Hussein.
Para era itu, Iran menyerang 451 kapal dagang, 259 di antaranya tanker. Tanker Kuwait dan UEA saat itu terpaksa menggunakan bendera AS untuk menghindari serangan Iran. Namun, Iran tetap menyerang kapal-kapal berbendera AS itu. Tindakan itu memaksa AS menyerang kapal- kapal perang Iran mulai Agustus 1987 hingga April 1988. Serangan itu melumpuhkan armada laut Iran dan menjadi salah satu faktor utama yang memaksa Iran menerima gencatan senjata dengan Irak sesuai dengan Resolusi PBB Nomor 598.
Kini sejarah boleh jadi tengah berulang lagi. Hal itu ditandai dengan terjadinya beberapa insiden yang melibatkan tanker di Teluk Persia meskipun dalam skala terbatas dibandingkan era perang Irak- Iran. Namun, isu ini bisa meluas jika pihak-pihak yang bertikai tak bisa menahan diri.