Malaikat dan Sepasang Jenazah di Tepi Danau
Selepas latihan biola, hendak pulang, aku menunggu bus Transjakarta. Bangku termenung di halte dikuasai tukang ojek. Melawan nyeri dari lutut yang kaku dan tak sudi ditekuk, aku duduk menyandar di pagar tembok. Aku sadar seorang perempuan berusia sekitar 50-an, mengenakan rok berwarna krem, duduk sekitar tiga meter di sampingku.
Di bawah temaram lampu listrik trotoar, sekilas kulihat kulit wajahnya yang coklat kusam. Kakinya mengapit sandal jepit. Jari dan mata kakinya lebam, seperti penderita kusta yang sudah lama sembuh. Tidak sebagaimana perempuan biasa, tangannya kosong. Kekayaannya, kalaupun ada, dalam bayanganku, dia sembunyikan di dua saku bajunya.
Dari arah kejauhan terlihat bus mendekat, lampunya terus berkedip. Aku sontak berdiri, mendekap ransel, menyandang biola. Yang berhenti bus berukuran pendek. Sesak di dalam. Kecewa, aku mengingsut mundur. Melangkah hati-hati menghindari undakan trotoar. Aku kembali duduk sambil mengelon ransel. Biola kusandarkan ke tembok.
Tak lama kemudian, aku bangkit lagi dengan beban masa tuaku: ransel dan biola, yang sejak beberapa tahun aku bujuk supaya ramah pada jemari dan otakku yang, lantaran digerogoti usia, tentulah sudah mengecil. Susut membatu, kupikir. Tetapi, si biola begitu sombong. Begitu pelit kuajak untuk merayakan hidup. Aku, jauh dari ambisi menjadi parbiola, seperti kata orang Batak, yang ingin tampil dalam sebuah orkestra. Angan-anganku terdengar ganjil, memang. Namun, itulah kepercayaan yang muncul sebagai keyakinan di pengujung usiaku: selama jari-jari dan otak masih bisa bekerjasama dalam memainkan sebuah melodi, walaupun terdengar sumbang, maka selama itu pula siksa hidup yang bernama stroke takkan menyudahi indahnya hidup. Tak ada bukti. Yang ada hanyalah keyakinan, yang boleh jadi toh akan merebahkan aku di jalan yang sesat.
Aku bangkit lagi. Menyongsong lampu bus yang terus berkelap-kelip dan mendekat. Sayang, lagi-lagi yang singgah bus berbadan pendek, dengan bangku-bangkunya yang tidak peduli pada lutut yang tak bisa kutekuk dengan sempurna. Kembali aku menyerahkan diri ke tembok. Melonjorkan kaki. Tiba-tiba perempuan di sebelahku tadi berdiri dekat bahuku.
”Ini, bawalah. Pergilah ke dokter,” ucapnya. Refleks, uluran tangannya tidak serta-merta kusambut. Kuucapkan terima kasih, dan kukatakan bahwa aku punya ongkos pulang yang cukup. Dia sodorkan lagi tangannya dengan uang yang tergulung di dalamnya. Dalam remang cahaya, kulihat dia bolak-balik memperhatikan kaki dan wajahku, seakan-akan dia sedang menebak isi pikiranku.
”Nih, ambillah, pergilah ke dokter,” katanya membujuk.
Tangannya yang tergelung terus menggantung di depanku. Ah. Kupikir, niat baik, dari siapa pun, tak baik ditampik. Genggamannya kusambut. Terasa ada yang tergulung berpindah ke tapak tanganku. Lantas dia mundur, menjauh.
Tak berapa lama, ketika perempuan itu lenyap dengan langkah seperti memanggul beban, hilang di balik warung nasi uduk, muncullah bus berbadan panjang yang kutunggu-tunggu sedari tadi. Aku naik. Manakala bus bergerak maju, mataku terus menengok ke luar. Mencari-cari malaikat perempuan tadi. Namun, tak sekilas pun sosoknya melintas di balik jendela.
Siapakah dia gerangan? Apakah dia menyangka uang kertas pecahan Rp 20.000, itu akan datang bersama malaikat untuk membuat otak dan jemariku yang sudah keriput maju melompat dengan kemampuan menggesek dawai dengan ligat dan fasih komposisi ”Minuet” karya Bach, yang sudah bertahun begitu kikir pada kemampuanku. Atau apakah itu perangsang untuk kemahiranku, yang sama sekali belum bisa dengan bangga dipertontonkan sekalipun kepada istriku, bahwa aku sudah bisa menyenandungkan ”Ode To Joy” Beethoven, dengan mengalir walau terkadang terdengar kaku.
Siapa dia, dan mengapa dia menggenggamkan uang kertas hijau itu ke tapak tanganku. Padahal dia yang lebih membutuhkannya, kalau ditilik dari caranya berpakaian. Apalagi uang itu hasil dia mengemis seharian, barangkali. Ah, dia lenyap begitu cepat. Tak berbekas di jendela kaca bus yang berkabut karena uap mulut, hidung, dan tubuh penumpang. Membuat kenanganku terbang jauh seketika. Perempuan itu melambungkan pikiranku pada putriku. Aku menitikkan airmata ketika untuk pertama kali Dian mengirimkan uang kepadaku. Lama ayahnya ini tertegun dibuatnya. Tak percaya hidup ini begitu baik. Dan semakin tak percaya hidupku ini jauh lebih baik lagi lantaran dia, melampaui apa yang bisa kupikirkan ketika aku dan istriku membesarkannya, mendewasakannya.
Siapa perempuan di trotoar itu sesungguhnya? Dia pasti sedang sakit. Dan lebih membutuhkan uang yang dia genggamkan setengah memaksa ke tanganku.
Sesampai di rumah, kuceritakan pengalaman pertama dalam usiaku yang sudah melampaui 75. Aku tersentak dibuat jawaban istriku. ”Ransel dan biola, dan kakimu yang pincang bikin dia jatuh hati. Dia kira kau pengamen yang kemalaman.”
Perempuan selalu benar. Istri apalagi. Tak terlalu lama kesimpulan yang dia sampaikan setengah bercanda itu menyadarkanku. Ketika itu kami sedang makan malam. Meja makan terasa ikut menertawakanku. Di dalam hati aku tersenyum simpul.
Satu harapanku. Semiskin-miskinnya malaikat trotoar itu tentulah dia punya handphone, perkakas manusia mutakhir, yang tersembunyi di saku bajunya yang lusuh. Semoga dia sempat membaca status Facebook yang kutulis keesokan hari setelah pertemuan yang ganjil dengannya, sebagai ucapan terima kasih yang tulus. ”Uang kertas hijau yang kau sedekahkan itu takkan pernah kubelanjakan. Sehat, bahagia selalu. Jumpa lagi, Ibu.” Begitu catatan itu kututup. ***
Dia adalah jenazah yang merasa kurang beruntung di kaki bukit, di atas danau itu. Sudah dua tahun dia menunggu. Belum juga terdengar orang menggali. Membawa istrinya. Desir angin yang membuat daun-daun bambu berkusip-kusip, berbisik-bisik, sudah tak pernah membangunkannya lagi. Hanya debur ombak menerpa tebing, jauh di bawah sana, yang masih terus membuatnya terjaga. Dia dekatkan kupingnya di dinding liang kubur. Memejamkan mata. Menutup gendang telinganya, kalau-kalau ada kecipak perahu yang datang mengantarkan jenazah ke pemakaman yang sunyi dalam keteduhan di pinggang bukit, di tepi danau itu. Bergetar bibir dan jemarinya dipicu harapan kalau yang datang itu adalah istrinya.
Sesesak-sesaknya penantian, bagaimanapun akan ada akhirnya. Dia tiba-tiba merasa seperti disentakkan ketika mendengar isak-tangis di kejauhan. Juga lenguh dan raung yang tertahan karena siksa kehilangan. Ribuan riak membanting tebing di bawah sana. Derai angin menyapu daratan. Ratusan jejak kaki terdengar mendekat. Berhenti persis di bagian kepalanya. Perlahan tubuh istrinya diturunkan anak-anaknya dan seluruh kerabat ke dalam gua gerbang petala yang sudah disiapkan sejak dia dimakamkan di situ. Tepat di sebelahnya. Dua tahun silam.
Tangisan terakhir sudah tak terdengar, dilarikan angin dan mampir di tebing dan riak air di danau bawah sana. Desah kaki semakin menjauh. Kuburan di tebing itu kembali pada kesunyiannya semula. Angin, juga buai air ikut menjauh.
”Sudah dua tahun aku di sini. Menunggumu. Kau tak datang-datang juga. Ada apa?” katanya menyapa sang istri yang terbujur diam di sebelahnya. Sambungnya lagi, ”Kupikir Jawa sudah tenggelam. Makanya kau tak datang-datang”. Dia tidak mengeluh. Hanya menelan liur. ”Tak ada kabar. Apa pun tak ada.” Dia bangkit, direngkuhnya tangan istrinya. Tetapi, tetap saja perempuan yang pernah bekerja berpuluh tahun sebagai guru di daratan yang jauh itu tak bersuara.
Dua tahun memang lama. Teramat lama. Apalagi untuk orang yang menunggu sendirian di liang yang gelap. Siang, apalagi malam. Ingin rasanya dia keluar dari rumah abadinya itu. Menuruni punggung bukit dan berselancar di permukaan danau di bawah sana untuk membunuh waktu yang bergerak begitu lambat.
Dia menjemput akhir hidupnya dengan tenang. Seperti tak hendak menyusahkan siapa pun. Juga tidak istrinya. Dulu, sepulang dari gereja, juga saat di meja makan, mereka berdua acapkali seperti terlibat dalam pertaruhan. Siapa yang lebih dulu menghadap Tuhan. Namun, perdebatan tentang siapa yang lebih dulu menjemput ajal itu sudah tak bisa dilanjutkan lagi ketika sang istri terserang dimensia. Mantan guru itu sering berdiri di tepi meja makan, di seberang suaminya, dan layaknya sedang menghadapi murid di depan kelas, dia berbicara dalam bahasa Belanda, Inggris, Jepang, bercampur bahasa Batak. ”Aku yang akan lebih dulu pulang menemui Dewata,” begitulah dia selalu menutup ocehannya.
”Ai sudah jadi patungku itu dibuat Si Raisa? Kapan mau dia tegakkan di makamku ini? Sudah dua tahun aku menunggu,” tanyanya seraya mengusap bahu istrinya.
”Tak pernah kutanya. Untuk apa?” jawab sang istri. ”Seniman jangan didesak-desak, bisa mati daya khayalnya.” Tak terduga, tiba-tiba sang istri menjawab. Dan itulah kata-kata yang diucapkannya kepada suaminya begitu untuk pertama kali mereka bertemu di rumah penghabisan mereka itu, di kaki bukit, di tepi danau itu.
”Ah ...”
Mengiang dalam ingatan sang istri bagaimana putri satu-satunya dari semua anaknya, hanya dialah yang bisa bertahan, paling menjulang, dan berdiri di atas kakinya sendiri. Yang lain sempoyongan ingin menegakkan kembali perusahaan yang dibangun oleh sang ayah. Sia-sia. Mereka sangat tergantung pada sang ayah, seakan-akan tak mau lepas dari pangkuannya. Ketika pemerintah membukakan pasar kepada multinasional untuk beroperasi sampai ke desa-desa, perusahaan itu pun tumbang. Tinggal si Raisa satu-satunya yang bisa tegak sebagaimana patung yang selalu dia pahatkan, tatahkan sendirian.
”Apakah ada dikatakannya kepada kau, apa yang menjadi masalah sehingga patungku itu belum juga rampung? Padahal sudah dua tahun aku mati,” desak sang suami lagi.
”Bah ...” sang istri nyaris kehilangan kesabaran. Untunglah dia sadar, dia baru saja terbaring satu liang dengan suaminya itu. ”Janganlah dia didesak terus. Kasi dia kebebasan, sebagaimana orang-orang kaya yang memesan patung kepadanya. Ingat kau bagaimana dia menolak pembuatan sejumlah patung yang dipesan orang kaya dari Jalan Sudirman itu? Katanya, ruangannya tidak layak untuk disesaki patung sebanyak yang dipesan orang kaya itu. Keinginannya yang harus diikuti. Nilainya yang wajib dihormati. Seniman. Tak jadi pun tak masalah. Karena menurut dia, kalau jumlah patung yang dipesan diletakkan akan bertentangan dengan kesadaran akan ruang.
”Biarkan dia memperturutkan seruan jiwanya, supaya hasilnya abadi untuk kita berdua. Sebab kudengar, sebelum nyawaku diambil, diam-diam dia sedang mempersiapkan patung kita berdua.”
”Ha …? Ha ... kapan jadinya?” sang suami tak kuasa melawan desakan keingintahuan dari dalam hatinya, seperti dia dulu tak kuasa manakala maut menghampirinya sebelum berangkat ke gereja, di pagi hari, dua tahun yang lalu. Dia memasang kuping baik-baik.
”Kan sudah kubilang. Kasi dia kebebasan. Memang, akan lama baru selesai, karena ada yang bilang, dia punya rencana pula untuk membuat patung yang menunjukkan deretan manusia yang berdiri di tepi jurang dengan mata tertutup, tangan terikat ke belakang. Kupikir pastilah itu patung yang mewakili ribuan korban pembinasaan manusia pada 1965-1966. Sejarah kelam yang begitu menyita pikirannya, padahal tak ada di antara keluarga kita yang jadi ”kiri”, jadi korban. Memang, akan lama kita harus menunggu. Karena patung para korban itu akan dia buat dari tanah yang akan dia kumpulkan sendiri sekepal demi sekepal dari kuburan massal para korban, mulai dari daerah Sungai Ular dekat Medan, Bengawan Solo, Bali, Flores. Juga Pulau Buru. Tanah itu akan dia jemur, dia jadikan tepung, dan disatukan dalam satu adukan. Dijadikan patung”.
”Apakah dia akan ke Aek Raisan juga?” potong sang suami. Itu adalah nama daerah di Tapanuli Utara, di mana orang-orang yang dituduh tanpa bukti terlibat G30S, dibawa tentara di dalam truk dari wilayah lain. Mereka ditembak dan tubuh mereka digulingkan layaknya batang pisang dari atas jembatan.
”Kudengar begitu, sekalipun tak ada kuburan massal di sana. Tapi, dia akan turun ke sungai itu dan dari tebingnya akan dia kumpulkan juga segenggam tanah.”
Sang istri memegangi lengan suaminya seperti ketakutan akan terbang. ”Sabarlah, sayang,” bujuknya. Seumur hidup tak pernah dia mengucapkan ”sayang” kepada suaminya itu. Itu dia ucapkan karena dia sudah lupa akan nama pasangan seumur hidupnya itu. ”Sabarlah, akan datang waktunya dia mempersatukan kita kembali. Ada yang bilang, dia sudah melukis skets patung kita berdua...”
”Kapan jadinya?”
”Sabarlah kau. Berdasarkan skets itu, akan dia bangun patungmu. Patungku. Kita duduk sebelah-menyebelah, berduaan di bangku. Mata kita saling beradu sebagaimana kita dulu dipersatukan sampai pun mati, di gereja. Patung itu akan dia letakkan di atas kuburan kita ini. Dan dari situ, dari atas tebing, kita yang sudah abadi menatap, menikmati, danau yang menghampar di bawah. Setiap hari. Setiap saat.”
Martin Aleida, merayakan ulang tahun ke-75 akhir tahun lalu, berbarengan dengan peluncuran kumpulan cerita pendeknya, ”Kata-Kata Membasuh Luka” (Penerbit Buku Kompas). Lahir di Tanjung Balai, Sumatera Utara, bermukim sejak lebih dari 50 tahun lalu di Jakarta. Penerima penghargaan kesetiaan berkarya Kompas (2013) dan anugerah seni Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (2014).
Aurora Arazzi, Lahir di Padang, 26 April 1997, tinggal dan bekerja di Bandung. Menempuh pendidikan di Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung, bidang printmaking, serta Department of Painting, Musashino Art University, Tokyo, Japan. Berpartisipasi dalam sejumlah pameran di dalam dan luar negeri.