Reformasi perpajakan menghadapi tantangan berat di tengah pusaran ekonomi digital. Semua pihak berharap Reformasi Perpajakan Jilid III, yang digadang-gadang sebagai reformasi terbesar dalam sejarah, dapat menjawab berbagai tantangan masa kini dan masa depan.
Sepekan terakhir, akun media sosial Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan diwarnai tagar #HariPajak dan #PajakKitaUntukKita. Beragam konten terkait dengan perpajakan diunggah dalam rangka memperingati Hari Pajak setiap 14 Juli.
Peringatan Hari Pajak tahun ini, Minggu (14/7/2019), mengusung tema besar ”Bersama Dukung Reformasi Perpajakan”. Adapun Hari Pajak pertama kali diperingati pada 2018 sesuai Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor 313 Tahun 2017.
Tema tentang reformasi perpajakan itu sejatinya bukan hal baru. Reformasi perpajakan sudah dimulai sejak 1983 dan terbagi dalam lima babak. Pertama, reformasi undang-undang perpajakan tahun 1983 untuk menggantikan produk hukum era kolonial Belanda.
Kedua, reformasi birokrasi tahun 2000-2001 dalam rangka mempersiapkan cetak biru reformasi perpajakan yang lebih besar dan berkelanjutan. Ketiga, reformasi perpajakan jilid I tahun 2002-2008 terkait dengan pembentukan pelayanan satu atap dan modernisasi organisasi perpajakan.
Keempat, reformasi perpajakan jilid II tahun 2009-2014 dengan fokus peningkatan layanan masyarakat dengan menyusun prosedur standar operasi pelayanan perpajakan dan memperbarui proses bisnis Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kemenkeu.
Terakhir, reformasi perpajakan jilid III dimulai tahun 2017 dan ditargetkan selesai 2024. Reformasi terbesar sepanjang sejarah ini terbagi dalam dua fase dan melibatkan lima pilar utama DJP. Tujuannya merespons perkembangan teknologi digital dan dinamika ekonomi global.
Reformasi perpajakan jilid III dimulai tahun 2017 dan ditargetkan selesai 2024.
Reformasi perpajakan jilid III fase pertama terkait dengan organisasi, sumber daya manusia, dan peraturan perpajakan baru yang diproyeksikan selesai 2020. Sementara itu, teknologi informasi dan basis data serta proses bisnis ditargetkan rampung 2024.
”Data adalah tambang baru. Kalau kita mengatakan tambang hanya ada di dalam tanah, maka yang ada di dalam era digital, era revolusi industri 4.0, data adalah tambang baru,” ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
Basis data DJP harus terus diperbesar untuk menggarap potensi penerimaan dari aktivitas ekonomi digital. Basis data itu berasal dari kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty) dan pertukaran data pajak otomatis (Automatic Exchange of Information/AEoI).
Penerimaan pajak
Di Indonesia, rasio pajak terus menurun sejak 10 tahun terakhir. Bahkan, target rasio pajak menurun dari 12,2 persen tahun 2019 menjadi kisaran 11,8-12,4 persen tahun 2020. Adapun rasio pajak pada 2018 sebesar 11,5 persen.
Penurunan rasio pajak berdampak terhadap penerimaan pajak. Realisasi penerimaan pajak tidak pernah mencapai target sejak 2010. Adapun realisasi penerimaan pajak tahun 2018 sebesar Rp 1.521,4 triliun atau 85,2 persen dari target APBN.
Di Indonesia, rasio pajak terus menurun sejak 10 tahun terakhir. Bahkan, target rasio pajak menurun dari 12,2 persen tahun 2019 menjadi kisaran 11,8-12,4 persen tahun 2020.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo berulang kali mengingatkan, reformasi perpajakan harus konsisten, persisten, dan butuh komitmen. Rasio pajak dan penerimaan bisa meningkat jika DJP berhasil membangun kepercayaan.
”Kebijakan yang sedang dan akan terbit mesti bermuara untuk mengurangi ketidakpastian, penyederhanaan peraturan, dan standardisasi praktik perpajakan,” kata Prastowo.
Tumpang tindih peraturan pajak harus diakui masih terjadi. Hal itu menciptakan ketidakpastian, biaya tinggi, dan menurunkan kepercayaan wajib pajak. Akibatnya, tingkat kepatuhan wajib pajak ikut terdegradasi.
Ketua DPR Bambang Soesatyo juga mengapresiasi reformasi perpajakan yang sudah dilakukan pemerintah. Namun, terobosan dan inovasi tetap harus ada dan sangat dinanti wajib pajak agar mereka lebih mudah menjalankan kewajibannya.
”Wajib pajak jangan dipusingkan lagi dengan pengisian formulir, tetapi cukup dengan satu ketikan sudah selesai,” kata Bambang.
Reformasi perpajakan sudah berjalan 36 tahun. Memang tak ada indikator pasti keberhasilan reformasi. Namun, dengan perjalanan selama ini, Indonesia seharusnya tak gagap menjawab tantangan yang silih berganti.