Tema pergaulan bebas remaja dan kehamilan yang tak diinginkan sepertinya akan selalu menjadi hal menarik untuk kembali diangkat, baik dalam film-film layar lebar maupun layar kaca. Apalagi, di Indonesia topik itu kerap masih dianggap sebagai hal tabu, juga dipandang sebagai aib jika sampai terjadi.
Pada era tahun 2000-an ada puluhan atau bahkan ratusan episode sinetron, antara lain Pernikahan Dini dan Kecil-Kecil Jadi Manten, yang mengeksplorasi isu tersebut dan malah sempat menjadi semacam tontonan favorit bagi para pencinta opera sabun Tanah Air di beberapa stasiun televisi swasta. Sementara di Amerika Serikat yang sudah jauh lebih liberal pun ada film drama keluarga Juno (2007) yang mengangkat kehamilan pada remaja.
Kali ini, film produksi Starvision, Dua Garis Biru, menyuguhkan problematika serupa.
Film terbaru arahan sutradara Ginatri S Noer ini memperlihatkan, bahkan sampai saat ini, isu kehamilan yang tak diinginkan, apalagi dilakukan remaja yang terlibat pergaulan atau perilaku seks bebas, masih menjadi masalah besar.
Dalam sinopsisnya, film ini mengisahkan hubungan asmara dua remaja yang kebablasan, lalu berbuah kehamilan di luar nikah. Dara (Zara JKT48) dan Bima (Angga Yunanda) keduanya digambarkan sebagai remaja kebanyakan yang lugu dan tengah dimabuk cinta.
Akibat minimnya pengawasan dari orangtua, juga tipisnya pemahaman keduanya sendiri, pasangan remaja ini pun ”terpeleset”.
Tak vulgar
Sumber awal konflik itu memang tidak bertele-tele digambarkan dalam film ini. Tidak juga dibuat-buat terlalu dramatis atau vulgar layaknya pakem cerita dalam sinetron. Eskalasi baru terbangun kemudian. Bangunan cerita secara bertahap digarap dengan mengalir oleh Ginatri.
Setelah sukses membuat kembali (remake) sinetron lawas produksi TVRI, Keluarga Cemara, sepertinya Ginatri memang mempunyai ketertarikan menggarap tema dan genre film keluarga berikut beragam problematikanya.
Lebih lanjut kejadian terjadinya kehamilan pada remaja ini digambarkan secara sederhana, tetapi mengena. Boleh jadi cara penggambaran seperti ini dilakukan untuk mengingatkan, terutama kepada para penonton film yang kebanyakan kalangan remaja, bahwa hal serupa juga bisa terjadi pada mereka, dalam kondisi apa pun dan di waktu kapan saja.
Momen film ini juga terbilang pas lantaran masih dalam masa liburan sekolah. Dengan begitu, anak dan orangtua bisa bersama menonton film ini.
Dalam film ini, tertangkap pula pesan tentang pentingnya dialog antara anak dan orangtua perihal kesehatan reproduksi. Beragam hal perlu ada dialog tersebut, termasuk pengetahuan soal seksualitas dan bagaimana keluarga serta lembaga pernikahan idealnya dibangun.
Menariknya, tema-tema berat seperti itu cukup bisa dibahas dan digambarkan dengan ringan saja melalui sejumlah adegan dalam film ini.
Isu ini sepertinya memang perlu terus diangkat, apalagi mengingat peliknya persoalan yang terjadi secara riil. Selain menyasar segmen penonton remaja, film Dua Garis Biru juga cocok menjadi bahan kontemplasi bagi para orangtua yang tengah membesarkan anak remaja.
Mengutip Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional dari data hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas 2016), ada satu dari sembilan anak perempuan di Indonesia menikah di usia di bawah 18 tahun. Padahal, usia yang dinilai sudah siap untuk menikah pada perempuan adalah 21 tahun.
Secara global pun Indonesia berada di peringkat ketujuh dengan lebih dari 60 persen pernikahan dini, yang berujung pada perceraian setelah setahun menikah.
Data yang tak kalah mengkhawatirkan lagi ditunjukkan oleh hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia Remaja 2017. Survei ini menunjukkan 52 persen pria dan 15 persen wanita belum kawin usia 15-24 tahun lebih memilih aborsi.
Belum lagi soal tingginya tingkat kerentanan masalah kesehatan, yang dialami terutama oleh perempuan berusia di bawah 19 tahun, yang secara fisik dinilai belum siap untuk hamil. Pesan-pesan tentang itu banyak disisipkan di sepanjang film, yang mulai tayang perdana pada 11 Juli 2019.
Film Dua Garis Biru juga dibintangi sejumlah aktor film senior macam Cut Mini, Dwi Sasono, Rachel Amanda, dan Lulu Tobing. Lulu sendiri terbilang lama sempat menghilang dari layar sinema dalam negeri setelah sempat menjadi primadona sinetron.