Depok, tidak berbeda dengan banyak kawasan di Jakarta dan sekitarnya, menjadi kota yang terus didera kemacetan. Pada akhir pekan seperti ini atau pada hari biasa, macet menghantui, terutama di jalan-jalan utama, seperti di Jalan Margonda.
Oleh
J Galuh Bimantara
·4 menit baca
DEPOK, KOMPAS — Depok, tidak berbeda dengan banyak kawasan di Jakarta dan sekitarnya, menjadi kota yang terus didera kemacetan. Pada akhir pekan seperti ini atau pada hari biasa, macet menghantui, terutama di jalan-jalan utama, seperti di Jalan Margonda. Bagaimana sebenarnya Pemerintah Kota Depok berupaya mengatasi masalah ini? Karena sejauh ini belum banyak didengar Depok memiliki dan mengoperasikan angkutan umum massal sendiri, seperti Transjakarta atau Transanggrek di Tangerang Selatan.
Ternyata Pemerintah Kota Depok memilih mengadopsi Joyful Traffic Management atau Jotram, konsep pengelolaan lalu lintas yang mengolaborasikan unsur rekayasa dan unsur seni. Namun, seni bukan unsur dominan. Rekayasa lalu lintas untuk menurunkan kemacetan tetap pokok.
Salah satu kebijakan bagian dari Jotram yang sedang dikaji ialah pemutaran musik di lampu lalu lintas saat sedang menyala merah. ”Itu sekarang sedang viral dan banyak yang mispersepsi, mengira akan ada atraksi band di lampu merah, serta mempertanyakan tambahan anggarannya,” ucap Kepala Dinas Perhubungan Kota Depok Dadang Wihana, Sabtu (13/7/2019) kemarin.
Salah satu kebijakan bagian dari Jotram yang sedang dikaji ialah pemutaran musik di lampu lalu lintas saat sedang menyala merah.
Dadang menjelaskan, tidak ada tambahan biaya karena pihaknya mendayagunakan perangkat yang sudah ada di lampu-lampu lalu lintas, di antaranya pengeras suara. Dishub Depok berencana memutarkan lagu dengan muatan edukasi tertib lalu lintas atau rekaman suara yang memberi imbauan tertib.
Pemkot Depok memang punya rencana menampilkan atraksi seni, tetapi bukan di jalan raya, melainkan di dalam terminal. Yang saat ini sedang diuji coba, melibatkan musisi jalanan menghibur warga di Terminal Depok Baru, yang berdampingan dengan Stasiun Depok Baru. Rencana lainnya, memasang stiker dengan gambar atau warna yang atraktif untuk kerucut-kerucut lalu lintas di area sekolah. Menurut Dadang, itu semua untuk menyajikan sisi humanis dari kegiatan pengelolaan lalu lintas sehingga warga Depok diharapkan tetap bahagia meski menghadapi kemacetan di jalan.
Namun, Dadang menekankan, itu bukan berarti pemkot meninggalkan upaya mengurangi kemacetan. Ruas jalan yang menjadi sorotan utama ialah Jalan Margonda Raya. Volume kendaraan per kapasitas jalan di sana pada hari kerja 0,6-0,8, kemudian beranjak lebih parah pada Sabtu-Minggu, yaitu bisa mencapai 0,9 atau hanya tersisa 10 persen ruang kosong di jalan, sementara sisanya sudah dipakai oleh badan kendaraan-kendaraan. Jika nilainya sudah mencapai satu, artinya kendaraan sama sekali tidak bisa berjalan.
”Pada akhir pekan, hampir 85 persen pergerakan terjadi di dalam kota,” tutur Dadang. Jalan Margonda jadi pusat kepadatan pada akhir pekan, kemungkinan karena pusat-pusat perbelanjaan tersebar sepanjang ruas jalan itu.
Salah satu proyek besar yang sedang dinanti adalah pembuatan terowongan (underpass) di Jalan Dewi Sartika agar tidak ada lagi pelintasan sebidang antara jalan raya dan rel kereta. Namun, proyek yang menelan dana ratusan miliar rupiah itu baru dimulai tahun 2020 dan diperkirakan rampung dalam satu-dua tahun.
Upaya jangka pendek yang bisa dilakukan adalah penertiban. Dadang mengatakan, 220 petugas dishub terbagi ke dalam dua giliran kerja setiap harinya untuk mengatur lalu lintas di beberapa lokasi di Depok.
Seorang karyawan swasta, Andi (50), meminta Pemkot Depok konsisten menertibkan lalu lintas. Sebab, ia merasakan sendiri betapa pelanggaran-pelanggaran di jalan raya memperparah kemacetan.
”Misalnya, banyak yang putar balik di putaran yang terlarang. Itu menimbulkan kemacetan di belakangnya,” ujarnya.
Banyak yang putar balik di putaran yang terlarang. Itu menimbulkan kemacetan di belakangnya.
Ketertiban juga diperlukan untuk hal-hal lain, termasuk kendaraan yang melawan arus, kendaraan yang parkir di bahu jalan, serta angkutan umum yang ngetem di pinggir jalan.
Salah satu pengemudi angkutan kota D11 (Depok-Pal), Totok (50), mengatakan, ngetem tidak terhindarkan karena sopir angkot butuh mencari penumpang sebanyak-banyaknya. Apalagi, jumlah konsumen angkot terus menurun sejak ada ojek dan taksi daring. ”Kalau ada polisi, kami pasti diusir,” kata Totok.
Kalau ada polisi, kami pasti diusir.
Pemandangan angkot yang berbaris ngetem di pinggir jalan jamak terlihat di Jalan Margonda, terutama di dekat pusat keramaian, seperti pusat perbelanjaan dan jalan keluar stasiun. Kemacetan pun diperparah dengan adanya puluhan sepeda motor ojek daring yang berhenti menunggu penumpang di lokasi yang sama.
Soal penertiban ojek daring, Dadang menyebutkan, Dishub Depok sudah memfasilitasi pendirian shelter ojek daring di dekat Stasiun Depok dan Stasiun Depok Baru. Pihaknya sedang mendekati para pelaku usaha di Jalan Margonda yang juga memiliki lahan parkir agar mengalokasikan lahan untuk shelter ojek daring. Dengan adanya shelter, mereka tidak lagi ngetem di bahu jalan.