Seluruh umat beragama harus bersatu menolak dan mencegah terjadinya penyalahgunaan atau pemboncengan agama untuk tindak kekerasan. Penolakan bersama ini harus dilakukan demi melindungi generasi muda, dan menjaga kesucian tempat ibadah agar tidak terkontaminasi oleh pengaruh ataupun paham yang salah.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·3 menit baca
MAGELANG, KOMPAS — Seluruh umat beragama harus bersatu menolak dan mencegah terjadinya penyalahgunaan atau pemboncengan agama untuk tindak kekerasan. Penolakan bersama ini harus dilakukan demi melindungi generasi muda, dan menjaga kesucian tempat ibadah agar tidak terkontaminasi pengaruh ataupun paham yang salah.
Demikian dituturkan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin dalam sambutannya yang dibacakan Dirjen Bimbingan Masyarakat Buddha Kementerian Agama Caliadi, dalam acara Pujabakti Agung Asadha, di kompleks Taman Wisata Candi Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Minggu (14/7/2019). Pujabakti Agung Asadha adalah bagian dari rangkaian acara Indonesia Tipitaka Chanting dan Asalha Mahapuja 2563 BE/2019, yang diselenggarakan selama tiga hari, 12-14 Juli, di Candi Mendut dan Candi Borobudur.
Penyalahgunaan agama terjadi karena kesalahan penafsiran ajaran agama oleh sebagian orang.
Menurut Lukman, penyalahgunaan agama terjadi karena kesalahan penafsiran ajaran agama oleh sebagian orang. Padahal, tindak kekerasan tidak semestinya dikorelasikan dengan agama. Sebab, agama selalu mengajarkan tentang kedamaian dan nilai-nilai kebaikan untuk kehidupan manusia.
Untuk mempelajari agama secara benar, Lukman mengatakan, seluruh umat juga harus mempelajari manuskrip Nusantara, peninggalan dari nenek moyang di masa lalu. Dalam agama Buddha, misalnya, manuskrip yang dimaksud antara lain karya sastra, seperti Sutasoma dan Sang Hyang Kamahayanikan.
Manuskrip, menurut dia, sengaja dibuat sebagai cara nenek moyang untuk lebih membumikan ajaran agama di kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, segala bentuk manuskrip penting untuk dipelajari kembali.
”Dengan mempelajari manuskrip, kita bisa belajar untuk beragama dengan baik, beragama dengan rendah hati, moderat, dan menghargai semua perbedaan,” ujarnya.
Asadha, menurut Lukman, adalah momentum penting memperingati hari ketika Sang Buddha memberikan khotbah pertamanya kepada lima pertapa di Taman Rusa. Momentum itulah yang kemudian menjadi awal, mengantarkan umat Buddha untuk mengetahui keseluruhan ajaran Sang Buddha yang kemudian terangkum dalam Tripitaka. Umat Buddha diharapkan juga terus mempelajari Tripitaka, dan mengamalkan isinya dalam berbagai aspek kehidupan.
Ketua Umum Sangha Theravada Indonesia Bhante Subhapanno Mahathera mengatakan, selama tiga hari ini, 12-14 Juli 2019, sebanyak 1.250 orang beragama Buddha, telah membaca Tripitaka dan mendapatkan paparan tentang maknanya dari para biku.
Asadha adalah momentum penting, memperingati hari ketika Sang Buddha memberikan khotbah pertamanya kepada lima pertapa di Taman Rusa.
Dengan melakukan ini, menurut dia, maka umat Buddha pun dapat lebih membenarkan pandangan dan pemahaman tentang ajaran agama Buddha.
”Setiap umat pasti pernah atau sempat memiliki pandangan yang keliru, dan dengan melakukan Tipitaka Chanting ini, maka diharapkan kekeliruan semacam itu bisa diminimalisasi,” ujarnya.
Dengan melaksanakan acara Tipitaka Chanting ini, Bhante Subhapannp berharap pihaknya bisa menularkan tradisi membaca kitab suci bagi umat beragama lainnya.
Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo meminta segenap masyarakat selalu menghargai setiap perbedaan yang ada di setiap orang dan di lingkungan yang ditemuinya. Setiap perbedaan, menurut dia, juga merupakan bagian dari keindahan.
”Seperti juga pelangi, kita tidak mungkin bisa menyebutnya indah jika pelangi hanya tersusun dari satu warna,” ujarnya.
Ganjar mengatakan, perbedaan adalah hal yang tidak mungkin dihindari karena mereka yang dilahirkan kembar pun tetap memiliki perbedaan satu sama lain. Oleh karena, masyarakat pun tidak perlu mempersoalkan berbagai perbedaan, termasuk perbedaan agama.
Acara keagamaan, seperti Indonesia Tipitaka Chanting dan Asalha Mahapuja ini, menurut dia, bisa diangkat menjadi acara wisata rohani. Dalam hal ini, umat Buddha pun nantinya bisa menjadi duta agama, duta wisata, serta sekaligus duta kemanusiaan, yang mengajarkan nilai-nilai kebaikan dari ajaran Sang Buddha.