Tantangan Mengubah Pendekatan Pemberantasan Korupsi
Pelaku tindak pidana korupsi dari sektor swasta menempati urutan kedua terbanyak setelah anggota legislatif berdasarkan data Komisi Pemberantasan Korupsi. Menjadi sebuah ”sinyal” akan pentingnya penanganan korupsi sektor swasta.
Pada awal Juli, Transparency International Indonesia (TII) mengelar diskusi bertajuk ”Tantangan KPK ke Depan dalam Korupsi Sektor Swasta”. Pada diskusi itu, salah seorang anggota dewan Indonesia Business Links (IBL), Basrie Kamba, yang memandu diskusi, mengutip salah satu rilis Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengenai jumlah pelaku tindak pidana korupsi.
Berdasarkan data KPK sepanjang periode 2004-2018, terdapat 238 pelaku korupsi yang berasal dari sektor swasta. Jumlah itu berada di urutan kedua setelah anggota legislatif, yakni 247 orang.
Bahkan, jika dilihat data pada 2018 saja, total tersangka tindak pidana korupsi dari profesi di sektor swasta menempati tempat teratas. Berdasarkan Laporan Tahunan KPK 2018, dari total 121 tersangka, 46 tersangka berasal dari sektor swasta. Di posisi kedua terbanyak ada kepala daerah dengan jumlah 21 tersangka.
Ketua Dewan Pembina IBL Heru Prasetyo menambahkan, jika kalangan swasta tidak dilibatkan, upaya melawan korupsi adalah suatu impian hampa. Hal ini menyusul relatif banyaknya kalangan pebisnis yang masuk ke dalam lingkaran tindak pidana korupsi. Ia mengatakan, berdasarkan pengalaman selama ini, masuknya kalangan pengusaha ke dalam lingkaran tersebut lebih dalam peran mereka sebagai ”mangsa.” Padahal, idealnya, mesti dapat pula berperan sebagai ”pemangsa” tindak pidana korupsi.
Apalagi, jika hal tersebut dikaitkan dengan ancaman universal yang cenderung menguat pada saat ini. Revolusi Industri 4.0, gerakan untuk keberlanjutan, dan era post-truth yang didalangi sains sekunder serta menganggap emosi dan intuisi cenderung lebih penting dalam memercayai sesuatu. Dalam kaitan itulah etika bisnis yang dipraktikkan menempati posisi penting terkait pemberantasan korupsi. Ini termasuk sejumlah acuan etika global yang juga dipergunakan.
Beberapa di antaranya adalah International Organization for Standardization (ISO) 9000 tentang kumpulan standar mengenai sistem manajemen mutu serta ISO 37001 ihwal standar manajemen untuk membantu organisasi mengembangkan sistem dan mekanisme pencegahan korupsi. Selain itu, termasuk juga Konvensi Antikorupsi PBB (UNCAC).
Pada saat yang sama, Heru memastikan, para pemimpin entitas bisnis juga menginginkan pemberantasan korupsi. Peranan penting aktor di dunia bisnis juga ditekankan Sekretaris Jenderal TII Dadang Tri Sasongko.
Menurut dia, kalangan pengusaha swasta adalah kelompok penekan yang efektif dalam menentukan arah pemberantasan tindak pidana korupsi. Ia bahkan menyebutkan bahwa responden utama indeks persepsi korupsi yang rutin dilakukan TII adalah kalangan pengusaha.
Fokus penanganan
Deputi Direktur Indonesian Legal Roundtable Erwin Natosmal Oemar, Minggu (7/7/2019), mengatakan, korupsi sudah selayaknya menjadi isu utama untuk segera ditangani. Ia mencontohkan sejumlah negara, di mana isu korupsi bahkan jadi penentu kemenangan presiden dalam kontestasi politik. Tiga di antaranya adalah El Salvador, Slowakia, dan Nigeria. Erwin mengatakan, isu perang melawan korupsi membuat tiga kandidat presiden di ketiga negara itu pada akhirnya meraih posisi sebagai presiden.
Isu ketidaksetaraan ekonomi juga cenderung mewarnai negara-negara tersebut. Hal ini terkait dengan penguasaan sumber-sumber perekonomian pada sekelompok kecil elite atas sebagian besar kelompok dalam masyarakat.
Ketidaksetaraan
Jong-sung You (2015) dalam buku Democracy, Inequality and Corruption: Korea, Taiwan and the Philippines Compared membahas ketidaksetaraan ekonomi yang mengantar pada tindakan korupsi. Bahwa ada kecenderungan ketidaksetaraan ekonomi yang bisa meningkatkan korupsi, terutama di negara-negara demokrasi.
You menulis, kesuksesan dan kegagalan reforma agraria di Korea Selatan, Taiwan, dan Filipina menghasilkan tingkatan ketidaksetaraan yang berbeda-beda. Dalam risetnya, You menemukan bahwa sejumlah perbedaan dalam ketidaksetaraan ekonomi menyusul kesuksesan (Korea dan Taiwan) dan kegagalan (Filipina) reforma agraria memiliki efek mendalam pada praktik korupsi di negara-negara tersebut.
Efek mendalam ini tergambar dari Indeks Persepsi Korupsi yang dikeluarkan Transparency International. Pada 2018, Korea Selatan berada di peringkat ke-45 dari 180 negara dengan nilai indeks 57. Taiwan di posisi ke-31 dengan nilai indeks 63. Sementara Filipina ada di tempat ke-99 dengan indeks 36.
Pada bagian akhir, You menulis, hasil penelitian tersebut tidak harus ditafsirkan secara pesimistis. Alih-alih You menunjukkan bagaimana pemerintah yang reformis mampu mengeksploitasi peluang dalam mendorong redistribusi kemakmuran dengan memberi efek positif bukan hanya bagi pemberantasan korupsi, melainkan juga pembangunan ekonomi.
Lingkaran setan ketidaksetaraan ekonomi tinggi dan tingkat korupsi yang juga tinggi, menurut You, mungkin untuk diputus guna menuju keseimbangan antara tingkat ketidaksetaraan ekonomi yang rendah dan tingkat korupsi rendah. Indonesia perlu membuka mata terhadap pendekatan pemberantasan korupsi ini.
Pembangunan ekonomi
Ketua Panitia Seleksi Calon Pimpinan KPK Yenti Garnasih dalam diskusi awal Juni lalu menuturkan, panitia seleksi KPK sedang mencari kandidat yang memahami adanya peluang pidana korupsi dalam kejahatan kerah putih (white collar crime) atau kejahatan ekonomi (kejahatan korporasi).
”(Mesti ada) pemikiran (bahwa) pembangunan ekonomi harus sinergi dengan pemberantasan dan pencegahan korupsi,” kata Yenti. Penanganan kejahatan kerah putih, kata Yenti, mesti mempertimbangkan pula aspek pembangunan ekonomi. Pendekatan sanksi pidana ekonomi dalam hal ini harus dikedepankan. Termasuk memetakan apakah di kasus tertentu yang terjadi ialah kejahatan korporasi atau kejahatan individu dalam korporasi.
Dalam hal inilah pemahaman penegak hukum mengenai kejahatan korporasi terkadang belum maksimal. Yenti menyebutkan, kadang yang terjadi adalah, kejahatan yang dilakukan pengurus atau direktur, tetapi korporasinya yang lantas dihukum dengan denda besar dan bisa jadi ditutup.
Natalia Subagyo yang mewakili TII mengingatkan pentingnya para pimpinan KPK periode 2019-2023 memahami sejumlah peraturan terbaru. Salah satunya adalah Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2018 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi dalam Rangka Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme.
Hal lain yang juga mesti disadari pihak pengusaha, imbuh Natalia, adalah jangan terpancing untuk mengikuti tata kelola korporasi yang buruk. Ini terutama tatkala para pebisnis berhubungan dengan sebagian rekan bisnis dari sebagian negara di Asia yang belum terikat dengan pakta anti-penyuapan. Bisakah pendekatan pemberantasan korupsi sektor swasta ini dilakukan secara serius? Kita tunggu saja. (INGKI RINALDI)