Dana pemeliharaan gedung dan sekolah senilai Rp 4,8 miliar di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara, pada tahun anggaran 2016 diduga menjadi bancakan oknum pejabat di lingkungan Dinas Pendidikan Konawe. Akibatnya, tidak ada pemeliharaan gedung, bahkan sebagian besar unit pelaksana teknis daerah tidak memiliki kantor.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·4 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Dana pemeliharaan gedung dan sekolah senilai Rp 4,8 miliar di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara, pada tahun anggaran 2016 diduga menjadi bancakan oknum pejabat di lingkungan Dinas Pendidikan Konawe. Akibatnya, tidak ada pemeliharaan gedung, bahkan sebagian besar unit pelaksana teknis daerah tidak memiliki kantor.
Hal ini terungkap dalam sidang lanjutan kasus korupsi di Dinas Pendidikan Kabupaten Konawe tahun anggaran 2016. Sidang keempat ini menghadirkan 14 saksi yang pada 2016 menjabat Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Dinas Pendidikan Konawe.
Kasus ini sebelumnya telah menyeret tiga terdakwa, yaitu Ridwan Lamaroa selaku kepala dinas pendidikan hingga Mei 2016; Jusmin Pagala, pelaksana tugas (Plt) kepala dinas pendidikan pada Mei-Desember 2016; dan Gunawan, selaku bendahara dinas. Mereka bertiga diduga kuat menyelewengkan anggaran pemeliharaan kantor UPTD dan sekolah sebesar Rp 4,8 miliar.
Ketua Majelis Hakim Pengadilan Pengadilan Tipikor Kendari Andri Wahyudi, dalam lanjutan sidang, Senin (15/7/2019), fokus menanyakan pemanfaatan dana pemeliharaan gedung UPTD tahun 2016.
”Dari saksi di sini, ada berapa yang mempunyai kantor UPTD sendiri?” tanya hakim kepada sembilan saksi. ”Hanya dua Pak Hakim, itu pun dana swadaya. Yang lain numpang di sekolah, ada juga yang di balai desa,” kata Syafruddin, salah seorang saksi, mewakili rekannya.
Dalam pemeriksaan lima saksi sebelumnya, hanya ada satu saksi yang memiliki kantor. Total dari 14 saksi, hanya tiga UPTD yang memiliki kantor.
Menurut Syafruddin, sebelum 2016, selama beberapa tahun menjabat kepala UPTD, tidak pernah ada penganggaran untuk pemeliharaan gedung. Alokasi untuk UPTD hanyalah dana rutin yang sesuai jumlah sekolah dalam binaan.
Pada 2016, tambah Syafruddin, seperti kepala UPTD lainnya, ia tidak pernah menerima dana pemeliharaan untuk gedung kantor. Akan tetapi, berdasarkan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Sultra, ditemukan adanya dana pemeliharaan yang telah disalurkan. Sejumlah kepala UPTD dimintai klarifikasi oleh BPK, termasuk dirinya.
”Setelah klarifikasi di BPK, kami lalu didatangi Pak Gunawan untuk meminta tanda tangan laporan pertanggungjawaban. Katanya, itu untuk perbaikan administrasi. Waktu itu saya menolak,” ucap Syafruddin.
Para kepala UPTD ini, bersama sejumlah kepala sekolah se-Kabupaten Konawe dikumpulkan untuk diberikan pengarahan di sebuah sekolah oleh dinas pendidikan setempat. Dalam pertemuan itu, hampir semua yang hadir menandatangani laporan tersebut.
Sementara itu, jaksa penuntut umum dari Kejaksaan Negeri Konawe Arbin Nu’man menanyakan teknis kehadiran dan alasan para kepala UPTD hadir dalam pertemuan di sebuah sekolah tersebut. Apalagi, para saksi bersedia menandatangani laporan pertanggungjawaban meski tidak pernah menerima dana.
Dewi Saranani, kepala UPTD lain, mengatakan, ia menandatangani dokumen tersebut sebagai bentuk loyalitas ke pimpinan. ”Kami loyal kepada pimpinan saja, Pak. Bukan takut untuk diganti atau apa,” katanya.
Hakim mengingatkan agar para saksi tidak sembarangan menandatangani sesuatu. Perbuatan itu bisa dianggap memperkaya atau membantu orang lain.
Hakim mengingatkan agar para saksi tidak sembarangan menandatangani sesuatu. Perbuatan itu bisa dianggap memperkaya atau membantu orang lain.
Kasus korupsi di Dinas Pendidikan Kabupaten Konawe untuk tahun anggaran 2016 ini masih terus bergulir. Dalam dakwaan jaksa, dana pemeliharaan rutin untuk gedung dan kantor di lingkup dinas pendidikan senilai Rp 4,8 miliar semestinya ditujukan untuk 27 UPTD dan 249 gedung sekolah. Setiap gedung dianggarkan mendapatkan alokasi dana Rp 17,5 juta. Meski demikian, dana tersebut tidak pernah sampai ke pihak UPTD ataupun sekolah.
Dalam persidangan sebelumnya, terkuak bahwa dana tersebut digunakan ketiga terdakwa untuk menutupi utang pada Tahun Anggaran 2015 yang timbul akibat pengeluaran yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Di kemudian hari, sejumlah terdakwa dan saksi mengembalikan dana sebanyak Rp 295 juta. Total kerugian negara hingga saat ini sebesar Rp 4,5 miliar.
Kasus ini selanjutnya akan menghadirkan sejumlah saksi lain. Beberapa waktu lalu, pihak kepolisian juga telah meminta keterangan sejumlah orang yang disebutkan terdakwa, termasuk bupati dan wakil bupati saat itu, serta sejumlah pihak lain.
Setelah sidang, Arbin mengatakan, sidang akan dilanjutkan pekan depan dengan agenda mendengar kesaksian saksi. ”Semua saksi, dan nama yang ada dalam BAP (berita acara pemeriksaan) akan kami panggil, termasuk bupati dan wakil bupati di tahun anggaran itu,” katanya.