Sebanyak 260 permohonan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum legislatif 2019 yang diproses oleh Mahkamah Konstitusi bermuara pada kerja KPU.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Proses sengketa hasil pemilihan umum legislatif 2019 yang kini berlangsung di Mahkamah Konstitusi bisa menjadi salah satu alat evaluasi Komisi Pemilihan Umum. Sebab, banyak permohonan perselisihan yang diajukan oleh peserta pemilu mempersoalkan kerja penyelenggara pemilu tersebut.
Berdasarkan analisa Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) terhadap seluruh permohonan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) legislatif 2019 yang diproses Mahkamah Konstitusi (MK) dan dipaparkan Perludem, di Jakarta, Senin (15/7/2019), sebanyak 260 perkara diantaranya mempersoalkan kerja jajaran Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Diantaranya terkait proses rekapitulasi suara, daftar pemilih, dan netralitas petugas KPU.
Sementara 243 perkara lainnya terkait sengketa antarpartai dan 94 sisanya, perkara sengketa internal partai.
Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini meminta KPU serius mengawal setiap permohonan PHPU Legislatif 2019, khususnya yang menyinggung kinerja KPU. Pasalnya, menyangkut integritas KPU dan kualitas pemilu yang diselenggarakan.
Tak hanya itu, proses PHPU hendaknya dijadikan alat evaluasi oleh KPU.
“Proses di MK ini bisa menjadi salah satu alat evaluasi KPU terhadap jajaran mereka di bawah untuk mengukur profesionalisme, netralitas, dan integritas, jajarannya,” katanya.
Ini terutama penting karena setelah Pemilu 2019, KPU memiliki tanggung jawab untuk menggelar Pemilihan Kepala Daerah 2020 di 270 provinsi dan kabupaten/kota.
Rekapitulasi suara
Salah satu yang perlu dievaluasi terkait rekapitulasi suara.
Hingga Pemilu 2019, KPU masih menggunakan sistem rekapitulasi suara secara manual dan berjenjang, mulai dari tempat pemungutan suara (TPS) kemudian kecamatan, kabupaten/kota, provinsi hingga tingkat nasional. Akibatnya, rekapitulasi membutuhkan waktu lama.
Padahal, dalam 13 prinsip pemilu yang bebas dan adil menurut International Institute for Demoracy and Electoral Assistance (IDEA), salah satu poin yang harus dilaksanakan adalah memberikan hasil pemilu dalam waktu cepat.
“Hasil yang cepat itu yang belum pernah terwujud dalam pemilu di Indonesia,” kata Titi.
Selain itu, rekapitulasi secara manual dan berjenjang membuka celah kecurangan dan manipulasi. Ini yang kembali dipersoalkan peserta pemilu di Pemilu 2019, dan dijadikan bahan gugatan ke MK.
Untuk mengatasi persoalan itu, menurut Titi, KPU hendaknya mulai berpikir untuk memangkas rekapitulasi suara dengan memanfaatkan teknologi.
“Penerapan sistem rekapitulasi secara elektronik sudah mendesak untuk dilakukan,” ujar dia.
Akan tetapi, dia mengingatkan hal tersebut mesti dipersiapkan secara matang agar aman dalam pelaksanaannya, dan auditnya terbuka di hadapan publik. Dengan begitu, peserta pemilu dapat menerima hasil pemilu dan publik mau mempercayai hasil rekapitulasi suara secara elektronik.
Secara terpisah, Komisioner KPU Viryan Aziz menghormati proses PHPU legislatif 2019 yang tengah berjalan. Menurut dia, para peserta pemilu berhak menyampaikan dalil yang mendukung gugatan mereka, termasuk hal-hal yang bermuara pada kesalahan KPU. Hanya saja, dalil tersebut akan bermakna saat didukung dengan alat bukti dan diuji kebenarannya di hadapan hakim konstitusi.
“Keseluruhan dalil pemohon yang bermuara pada kesalahan KPU akan dilihat nanti pada putusan MK,” kata Viryan.
Mengenai daftar pemilih yang berdampak pada perolehan suara, Viryan mengatakan, hal tersebut memang kerap menjadi kambing hitam sejak pemilu dan pilkada sebelumnya, bahkan dalam Pemilu Presiden 2019.
“Dalam kasus Pilpres 2019 sudah terbukti bahwa gugatan daftar pemilih, rekapitulasi suara, dan yang lainnya tidak terbukti,” ujar dia.