Perlu Solusi Alternatif
Tidak ada solusi tunggal untuk menyelesaikan persoalan pengungsi global. Penempatan di negara ketiga semakin terbatas. Perlu kerja bersama antarpihak.
Meskipun konflik di sejumlah negara, seperti Suriah dan Irak, mereda, isu pengungsi tetap menjadi persoalan serius. Komisi Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi (UNHCR) mencatat, saat ini terdapat 70,8 juta orang yang terpaksa meninggalkan rumah mereka antara lain karena konflik, persekusi, dan kekerasan. Dibandingkan dengan tahun 2016, jumlahnya meningkat lebih dari 5 juta orang.
Sebagian dari mereka tinggal di negara asing sebagai pengungsi atau pencari suaka. Persoalan yang kini muncul dari besarnya jumlah pengungsi adalah menipisnya harapan bagi mereka untuk bisa diterima di negara ketiga, sedangkan untuk kembali ke negara asal situasi keamanan belum memungkinkan.
”Di Afghanistan ada perang sehingga saya terpaksa datang ke sini, tidak mungkin saya kembali kesana. Menurut saya, mengungsi ke negara ketiga adalah solusi terakhir,” kata Reza Mawhari (24), pengungsi asal Afghanistan, saat ditemui di tempat penampungan pengungsi di Kalideres, Jakarta Barat, Sabtu (13/7/2019).
Pada 2013, ia memutuskan mengungsi ke Indonesia, setelah bertahun-tahun terkatung-katung di Iran. Ia berharap UNHCR membantunya diterima sebagai warga oleh Australia atau Selandia Baru. Namun, hingga enam tahun, harapan itu tidak kunjung terwujud. Kisah Reza merupakan cerminan dari cerita serupa jutaan pengungsi lain yang hingga saat ini masih terkatung-katung di negara transit.
Baca juga: Pengungsi Asing di Jakarta: Antara Panggilan Kemanusiaan dan Beban Sosial
Solusi penempatan ke negara ketiga memang diatur dalam Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol 1967. Prinsip dari keduanya adalah tidak mengirim pengungsi ke negara yang membuat nyawa mereka terancam. Solusi lain adalah integrasi lokal atau repatriasi jika negara asal pengungsi telah aman.
Hingga 2015, sebanyak 142 negara telah meratifikasi dua kesepakatan itu. Salah satunya Amerika Serikat yang pada 2019 berencana menampung 30.000 orang. Jumlahnya berkurang 15.000 orang dibandingkan dengan penerimaan tahun 2018 yang mencapai 45.000 orang. Tercatat sejak tahun 1980 hingga saat ini AS telah menampung lebih dari 3 juta pengungsi dan 683.000 pencari suaka.
Mitra Indonesia di kawasan, Australia, juga tetap membuka diri bagi pengungsi. Melalui jawaban tertulis, Kedutaan Besar Australia di Jakarta mengatakan, Pemerintah Australia telah memperbanyak alokasi program pemukiman ulang menjadi 18.750 orang dari sebelumnya 13.750 orang pada 2016-2017. Namun, setiap tahun, jumlah orang yang melamar lebih banyak dari kuota yang tersedia.
Meskipun demikian, Pemerintah Australia menegaskan tetap berkomitmen secara teratur menempatkan ulang pengungsi. Kebijakan itu diseimbangkan dengan kebijakan pengetatan wilayah perbatasan. Australia tetap menutup diri bagi pengungsi yang hadir secara ilegal.
”Jalur laut ilegal ke Australia akan terus ditutup sehingga orang yang melakukan perjalanan dengan kapal ilegal tidak akan diizinkan masuk atau tinggal di Australia,” demikian kata pernyataan itu.
Di sisi lain, sikap selektif itu antara lain menyebabkan sejumlah pengungsi menumpuk di negara transit. Saat ini, Malaysia menampung 173.730 orang, Thailand menampung 95.644 orang, dan Indonesia menampung 13.997 orang.
Perwakilan UNHCR Indonesia, Thomas Vargas, mengatakan, pengungsi kini berada di posisi yang sulit. ”UNHCR terus melakukan advokasi global supaya negara-negara tradisional mau menerima mereka,” ujarnya.
Baca juga: Mengetuk Pintu Harap dari Sepenggal Kaki Lima
Solusi alternatif
Dosen Antropologi Monash University, Antje Missbach, berpendapat sudah saatnya ASEAN mengisi kekosongan perlindungan pengungsi di kawasan. ”Pengungsi perlu untuk memperoleh pemenuhan hak asasi manusia dan ASEAN bertanggung jawab untuk menjamin hak-hak itu,” kata Missbach.
Salah satu langkah yang dapat dilakukan adalah mengimplementasikan Prinsip-prinsip Bangkok tentang Status dan Perlakuan Pengungsi. Menurut Missbach, Bangkok Principles merupakan seperangkat prinsip progresif untuk melindungi pengungsi di kawasan.
Di sisi lain, peneliti Human Rights Working Group, Avyanthi Azis, menambahkan, negara transit perlu segera mengembangkan regulasi dalam menangani pengungsi. Indonesia yang telah memiliki Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 perlu memperkuatnya dengan berbagai elemen perlindungan.
Pengembangannya dapat merujuk pada konvensi PBB, seperti Konvensi Hak-hak Anak, Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, dan Konvensi Menentang Penyiksaan. ”Selain itu, hal mendesak lainnya adalah mencari sumber pendanaan alternatif dan meredam wacana anti-asing yang mulai muncul di tengah masyarakat,” ucap Avyanthi.
Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Tri Nuke Pudjiastuti berpendapat, negara transit dan UNHCR perlu menggandeng lembaga PBB lainnya, seperti UNDP dan Unicef, untuk membuat proposal alternatif dalam menangani pengungsi.
Menurut dia optimalisasi solusi alternatif itu salah satunya bergantung pada kemampuan berbagi beban antara negara transit dan negara tradisional yang telah meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951.
Meskipun persoalan pendanaan bagi pengungsi adalah tanggung jawab UNHCR dan Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM), menurut Nuke negara-negara tradisional wajib memberikan pendanaan yang cukup dalam rentang waktu tertentu hingga pengungsi dapat direpatriasi. Alasannya, kata Nuke, negara transit dan UNHCR tidak dapat mendorong negara penerima secara langsung untuk memenuhi kewajiban mereka.
Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta melalui keterangan tertulis mengatakan, pada 2018, AS menyediakan lebih dari 8 miliar dollar AS untuk bantuan kemanusiaan. Akan tetapi, menurut AS, cara terbaik untuk membantu adalah mengakhiri konflik yang mendorong migrasi, memberi bantuan dengan cara yang lebih cerdas, dan mempromosikan pembagian beban dengan negara mitra. (REUTERS)