Apa Salah Sekolah Favorit?
Sejak Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 51 Tahun 2018 tentang sistem zonasi dalam penyelenggaraan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) dilaksanakan, muncul keriuhan atau tepatnya kekisruhan. Formula 90 persen (siswa dalam zonasi) + 5 persen (siswa berprestasi) + 5 persen (siswa mutasi) menjadi pangkal persoalan.
Perbedaan kondisi dan hambatan di setiap daerah membuat formula tersebut tidak mudah diimplementasikan, bahkan memunculkan masalah baru. Atas perintah Presiden, Mendikbud merevisi formula menjadi 80 persen + 15 persen + 5 persen. Sistem zonasi bagus, tetapi kurang mempertimbangkan aspek kebinekaan setiap daerah. Penetapan persentase semestinya berdasarkan pada kajian atau survei lapangan yang obyektif.
Persentase batas atas-batas bawah lebih relevan digunakan untuk meminimalkan kekisruhan dalam implementasi sistem zonasi, terutama untuk daerah-daerah yang belum siap sarana dan prasarana pendidikannya. Di antaranya, persebaran guru-guru berkualitas belum merata dan keberagaman sosial ekonomi masyarakat.
Suatu tindakan yang tidak bijak jika kehadiran sistem zonasi justru dimaksudkan untuk meniadakan sekolah-sekolah berkualitas, yang oleh sebagian masyarakat diberi label sekolah favorit. Sekolah favorit muncul karena tuntutan dan kebutuhan masyarakat akan sekolah yang berkualitas.
Seharusnya pemerintah mengkaji atau meneliti lebih dalam, mengapa sebuah atau beberapa sekolah negeri dianggap favorit. Justru kewajiban pemerintah, melalui dukungan dan partisipasi masyarakat, membuat sekolah yang tidak favorit menjadi favorit, berkualitas.
Sistem zonasi tidak bakal memunculkan masalah jika pemerintah hati-hati, jeli, dan tidak grusa-grusu dalam menerapkan aturan ini. Memaksakan suatu kebijakan atau peraturan menjadi langkah yang tidak bijaksana ketika memunculkan gejolak dan kekisruhan.
Beruntung, kegaduhan sistem zonasi terjadi setelah pemilu serentak usai. Tak terbayang, betapa hiruk pikuk dan repotnya jika PPDB sistem zonasi berlangsung sebelum 17 April 2019.
Budi Sartono Soetiardjo Graha Bukit Raya, Cilame, Ngamprah, Bandung
Pembaca Setia Harian ”Kompas”
Sangat menarik membaca pengalaman sejumlah pembaca setia Kompas dalam tulisan ”54 Tahun Kompas: Kisah Mereka yang Tetap Setia” (Kompas, 28/6/2019).
Dari enam pembaca, Trisno Karmadji, Yos Salam Surjadi, Idris Ilyas, FX Wibisono, Chauw Wen, dan Harry Prastawa, dua berlangganan Kompas sejak 1965: Trisno Karmadji (75) dan Yos Salam Surjadi (82).
Idris Ilyas (76) bercerita, dirinya lulus kuliah di Jurusan Ekonomi, Fakultas Ekonomi Universitas Andalas, berkat berlangganan Kompas. Kata Chauw Wen (80), membaca Kompas menjadi kewajiban setiap pagi. Ada yang kurang jika belum membaca.
Tak kalah menarik pengalaman Arifin Pasaribu, pelanggan Kompas ”sejak terbit pertama”. Berjudul ”Nostalgia ’Kompas’”, tulisan dimuat di rubrik ”Surat Kepada Redaksi” pada edisi yang sama.
Selain sering menulis surat pembaca, Arifin juga berjumpa dengan banyak wartawan Kompas: Piet Warbung, August Parengkuan, H Kodhyat, L Sastra Widjaja, dan Dian Dewi. Akhirnya Arifin berkesimpulan, ”Ternyata selama puluhan tahun ini saya bukan hanya pembaca, tetapi sekaligus mitra kerja harian Kompas.”
Saya usul, Kompas membuka rubrik tetap ”Pembaca Setia Kompas” untuk menampung pengalaman menarik, unik, dan inspiratif pembaca setia Kompas, baik yang ditulis sendiri maupun hasil wawancara wartawan Kompas. Bisa terbit seminggu atau dua minggu sekali.
PAMUSUK ENESTE Jl Mertilang, Bintaro Jaya, Tangerang Selatan 15229