JAKARTA, KOMPAS - Pengaruh Indonesia dalam arus rantai pasok perdagangan dunia minim, sehingga sengketa dagang antara Amerika Serikat-China tidak terlalu menghambat pertumbuhan ekonomi domestik. Untuk meningkatkan peran dalam rantai pasok perdagangan global, Indonesia perlu menggenjot investasi.
Pernyataan ini merupakan isi pidato kunci dari Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam Seminar Nasional Kajian Tengah Tahun 2019, yang digelar Institute for Development of Economics and Finance (Indef) di Jakarta, Selasa (16/7/2019).
Di sisi lain akibat tidak memiliki peran signifikan dalam rantai pasok pasar dunia, Indonesia menjadi kesulitan dalam meraup untung dari situasi perang dagang.
“Selain minim terpapar dampak negatif, Indonesia juga minim untuk memperoleh output positif dari adanya sengketa dagang antara AS-China,” kata Sri Mulyani.
Berdasarkan catatan Indef, dampak perang dagang terhadap sejumlah aspek. Pertama, dampak pada pertumbuhan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Indonesia hanya sebesar 0,01 persen. Posisi ini jauh lebih rendah dibandingkan Vietnam yang mencapai 0,52 persen terhadap PDB.
Selain minim terpapar dampak negatif, Indonesia juga minim untuk memperoleh output positif dari adanya sengketa dagang antara AS-China
Di regional Asia Tenggara, hampir semua negara menyiapkan diri untuk berebut efek positif perang dagang tersebut. Namun, Vietnam-lah negara yang mendapatkan keuntungan lebih banyak ketimbang Indonesia, Thailand, Malaysia, bahkan Singapura.
Untuk dapat masuk ke dalam rantai pasok global, Indonesia perlu menggenjot investasi dengan cara memperbaiki faktor-faktor fundamental yang meningkatkan optimisme investor.
Sejumlah indikator ekonomi Indonesia saat ini sudah positif seperti stabilnya pertumbuhan ekonomi di angka 5 persen, serta turunnya pengangguran menjadi 5,01 persen. Adapun angka kemiskinan per Maret 2019 yang berada di posisi 9,41 persen yang menjadi level terendah dalam sejarah bangsa.
“Tetapi dari sisi struktural sejumlah fundamen ekonomi masih perlu diperbaiki dalam 5 tahun kedepan. Contohnya kemudahan perizinan usaha, infrastruktur penghubung antarwilayah, hingga kompetensi sumber daya manusia,” ujarnya.
Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad menilai investasi di Indonesia belum tepat sasaran. Hal ini tercermin dari nilai Incremental Capital Output Ratio (ICOR) 2016-2018 masih berada di angka lebih dari 6, masih jauh di atas nilai ICOR tahun 2008 di angka 3,7.
ICOR merupakan rasio antara investasi di tahun yang lalu dengan pertumbuhan output regional (PDRB). ICOR bisa menjadi salah satu parameter yang menunjukkan tingkat efisiensi investasi di suatu negara. Semakin tinggi nilai ICOR semakin tidak efisien suatu negara untuk investasi.
Untuk dapat masuk ke dalam rantai pasok global, Indonesia perlu menggenjot investasi dengan cara memperbaiki faktor-faktor fundamental yang meningkatkan optimisme investor
Tauhid juga mengatakan investasi di Indonesia semakin menjauh dari sektor primer dan sekunder karena bergeser ke sektor tersier. Dia mengungkapkan pada 2013 porsi investasi asing yang masuk ke sektor sekunder mencapai 55,4 persen sementara pada 2018 bergeser ke tersier dengan porsi investasi di sektor sekunder tersisa 35,3 persen.
Komoditas ekspor
Berdasarkan data yang dihimpun oleh Bank Indonesia (BI) menunjukkan kesamaan komoditas ekspor antara Indonesia dengan China paling rendah dibandingkan dengan Thailand, Malaysia dan Vietnam. Hal ini membuat Indonesia kurang mendapatkan dampak positif dari perang dagang.
Kepala Departemen Internasional BI Doddy Zulverdi mengatakan kesamaan produk ekspor Vietnam dengan China yang begitu tinggi membuat AS akan mengalihkan impor dari China ke Vietnam. Tahun lalu, ekspor produk telepon selular ke AS meningkat tajam dan mencapai 5,7 persen dari total PDB Vietnam.
Selain ekspor, Vietnam juga mendapatkan keuntungan relokasi industri dari China. Pada periode Januari-Mei 2019, investasi China ke Vietnam 1,6 miliar dollar AS atau meroket 456 persen dari periode yang sama tahun lalu.
Pemerintah, menurut Doddy, perlu menjalin kerja sama dengan negara-negara yang berpotensi menjadi tujuan ekspor. “Dengan cara itu, produk-produk ekspor dari Indonesia tidak kalah bersaing dengan produk negara lain yang sudah menjalin kerja sama dengan AS,” ujarnya.
Manufaktur
Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Rosan Roeslani mengatakan bahwa investasi di sektor manufaktur harus digenjot. Sektor tersebut perlu dikembangkan agar investasi yang masuk juga dibarengi dengan terbukanya lapangan kerja.
“Dengan berkembangnya industri manufaktur di Indonesia, diharapkan ke depannya ekspor Indonesia tidak lagi bergantung pada komoditas,” ujarnya.
Untuk mendukung sektor manufaktur, Rosan mengatakan produktivitas tenaga kerja di Indonesia masih perlu digenjot sembari menunggu hasil revisi undang-undang Ketenagakerjaan.
Untungnya, Menurut dia, keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) No. 45/2019 yang memberikan insentif pajak bagi industri yang bersedia memberikan vokasi dan mengadakan riset, dapat membantu meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
“Kondisi saat ini, kenaikan gaji tenaga kerja setiap tahun tidak sejalan dengan produktivitas tenaga kerja Indonesia yang menurutnya cenderung stagnan. Dampaknya, selisih antara gaji dan produktivitas selalu melebar dari tahun ke tahun,” ujarnya.