Kekeringan Berdampak terhadap Sektor Pertanian di Jatim
›
Kekeringan Berdampak terhadap ...
Iklan
Kekeringan Berdampak terhadap Sektor Pertanian di Jatim
Kekeringan yang melanda wilayah Jawa Timur mulai berdampak terhadap sektor pertanian utamanya tanaman pangan. Untuk menjaga produksi beras tetap surplus, pemerintah Provinsi Jatim telah menyiapkan sejumlah upaya mitigasi.
Oleh
RUNIK SRI ASTUTI, AMBROSIUS HARTO
·4 menit baca
SURABAYA, KOMPAS - Kekeringan yang melanda wilayah Jawa Timur mulai berdampak terhadap sektor pertanian utamanya tanaman pangan. Untuk menjaga produksi beras tetap surplus, pemerintah Provinsi Jatim telah menyiapkan sejumlah upaya mitigasi.
Berdasarkan data Dinas Pertanian Jatim luas tanaman padi yang kekeringan saat ini mencapai 24.633 hektar (ha) atau sekitar 1,35 persen dari total luas sawah 1,8 juta ha. Adapun luas tanaman padi yang mengalami gagal panen atau puso saat ini hampir mencapai 1.000 ha atau sekitar 0,05 persen.
Kepala Dinas Pertanian Jatim Hadi Sulistyo mengatakan kekeringan maupun gagal panen yang terjadi saat ini belum berdampak signifikan terhadap produksi beras secara keseluruhan. Dia optimis hingga akhir tahun ini, produksi beras di Jatim mengalami surplus sebesar 3,2 juta ton setara beras. Surplus ini untuk memasok kebutuhan pangan nasional.
“Dinas Pertanian Jatim telah memetakan daerah-daerah yang berpotensi mengalami kekeringan maupun gagal panen. Daerah rawan itu antaral ain Kabupaten Bojonegoro, Lamongan, Pacitan dan Tuban,” ujar Hadi, Selasa (16/7/2019).
Mengantisipasi meluasnya dampak kekeringan terhadap sektor pertanian, pihaknya sudah menyiapkan sejumlah upaya mitigasi. Salah satunya berkoordinasi dengan dinas pertanian kabupaten dan kota untuk memetakan potensi kerawanan dan mencarikan solusinya.
Saat ini belum ada permohonan bantuan dari dinas pertanian kabupaten/kota ke dinas pertanian provinsi. Artinya, permasalahan yang ada di lapangan masih bisa ditangani oleh pemda setempat
Salah satunya menyiapkan varietas benih padi yang tidak memerlukan banyak air. Selain itu menyiapkan Brigade Alsintan (alat dan sarana produksi pertanian). Brigade Alsintan ini telah terbentuk di tiap kabupaten dan kota serta dilengkapi dengan alat pertanian modern seperti eskavator, traktor, dan mesin pompa air.
Alat-alat ini bisa dimanfaatkan untuk mengatasi kendala di lapangan sesuai akar masalah kekeringan di masing-masing. Ada daerah yang memiliki potensi sumber air namun untuk memanfaatkannya diperlukan mesin pompa. Mobilisasi pompa air biasanya dilakukan untuk menyelamatkan tanaman padi yang sudah tumbuh (Standing crop) agar tidak gagal panen.
Hadi menambahkan kepada petani yang tanamannya tidak bisa diselamatkan, pihaknya menyiapkan menyiapkan program bantuan benih untuk musim tanam berikutnya. Bantuan itu diharapkan mampu meringankan beban petani dan menjaga semangat mereka untuk menanam lagi pada musim hujan.
Petani juga bisa memanfaatkan program asuransi tani yang sudah digulirkan oleh pemerintah. Dengan berasuransi, kerugian akibat gagal panen akan mendapat ganti rugi yang bisa dimanfaatkan sebagai modal tanam musim berikutnya.
"Saat ini belum ada permohonan bantuan dari dinas pertanian kabupaten/kota ke dinas pertanian provinsi. Artinya, permasalahan yang ada di lapangan masih bisa ditangani oleh pemda setempat," kata Hadi.
Jangka pendek
Antisipasi dan penanganan bencana kekeringan di Jawa Timur responsif atau jangka pendek. Belum ada kebijakan praktis yang revolusioner sebagai solusi jangka panjang.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprediksi musim kemarau tahun ini lebih panjang daripada sebelumnya. Informasi itu telah diketahui termasuk oleh pemerintahan daerah di Jatim dengan pemetaan dan persiapan program penanganan.
Di Jatim terdeteksi ada 822 desa/kelurahan di 24 kabupaten/kota yang terancam terserang bencana kekeringan. Sebagian bahkan sudah krisis air. Menurut catatan Pemprov Jatim, kekeringan untuk sementara ini berdampak ke lahan seluas 34.000 hektar. Seluas 5.000 hektar di antaranya bahkan sudah gagal panen.
Pemerintah sejauh ini menangani kekeringan dengan mengirim air melalui truk tangki ke desa-desa yang krisis. Ada juga dengan pembuatan sumur bor, embung, dan pemipaan dari sumber air.
“Namun, cara itu terutama pengiriman air merupakan respon sesaat atau solusi jangka pendek,” ujar pakar ilmu kebumian dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Amien Widodo.
Menurut Amien ada prinsip atau keyakinan lama yang telah diabaikan padahal tetap manjur sebagai solusi kekeringan. Yang dimaksud, menjamin keberadaan dan kelestarian kawasan hutan di pegunungan dan perbukitan. Yang terjadi saat ini, hutan-hutan di dataran tinggi dihabisi dengan dalih pembangunan, pariwisata, permukiman, dan pertanian.
“Padahal, satu-satunya kunci pelestarian air ya dengan merehabilitasi kawasan dataran tinggi yang kritis dengan penghijauan,” ujar Amien. Jika hutan lestari di dataran air, lanskap alam berkemampuan tinggi untuk menampung atau menyimpan air saat musim hujan. Air itulah yang kemudian terdistribusi ke manusia melalui mata air dan mengalir ke sungai-sungai.
Padahal, satu-satunya kunci pelestarian air ya dengan merehabilitasi kawasan dataran tinggi yang kritis dengan penghijauan
Namun, prinsip sederhana itu telah diabaikan oleh masyarakat dan penyelenggara negara. Untuk itu, solusi jangka panjang penanganan kekeringan, memerlukan kebijakan revolusioner untuk memulihkan dan menghijaukan kawasan-kawasan yang gundul bahkan kritis.
Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jatim Subhan Wahyudiono mengatakan, solusi kekeringan dengan pengiriman air melalui truk tangki memang bersifat sementara. Penanganan lebih permanen dengan pembuatan sumur bor, embung, dan pemipaan.
Selain itu, berkoordinasi dengan pengelola wilayah Sungai Bengawan Solo dan Sungai Brantas yang merupakan batang air terbesar di Jatim. Kerja samanya, lanjut Subhan, memastikan pengelola wilayah sungai tetap mengalirkan air dari bendungan-bendungan yang ada di sepanjang sungai ke daerah krisis terdekat.