Kinerja Semester I APBN 2019 Tak Sebaik Tahun Lalu
›
Kinerja Semester I APBN 2019...
Iklan
Kinerja Semester I APBN 2019 Tak Sebaik Tahun Lalu
Oleh
Karina Isna Irawan
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kinerja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2018 pada semester I tidak lebih baik daripada periode yang sama tahun lalu. Hal ini disebabkan perlambatan pertumbuhan penerimaan negara yang cukup tajam, terutama perpajakan. Tekanan global masih membayangi perekonomian dalam negeri.
Menurut data Kementerian Keuangan, defisit anggaran pada semester I-2019 sebesar Rp 135,8 triliun atau 0,84 persen dari produk domestik bruto (PDB). Defisit lebih dalam dibandingkan semester I-2018 yang sebesar Rp 110,6 triliun atau 0,75 persen PDB.
Keseimbangan primer pada semester I-2019 defisit Rp 1 triliun, sementara periode yang sama tahun lalu surplus Rp 10 triliun.
Adapun realisasi pendapatan negara pada semester I-2019 sebesar 898,8 triliun atau 41,5 persen dari APBN 2019. Adapun realisasi belanja pemerintah pusat dan transfer ke daerah dan dana desa Rp 1.034,5 triliun atau 42 persen dari pagu.
”Kinerja APBN masih relatif baik meskipun tidak sebaik tahun 2018. Hal itu akibat tren penerimaan melemah dengan perekonomian yang mengalami tekanan,” kata Sri Mulyani seusai rapat kerja penyampaian laporan realisasi APBN 2019 untuk semester I dan prognosis semester II bersama Badan Anggaran DPR RI di Jakarta, Selasa (16/7/2019).
Sri Mulyani mengatakan, seluruh sumber pendapatan negara pada semester I-2019 tumbuh melemah dibandingkan semester I-2018. Pendapatan negara terlemah berasal dari penerimaan perpajakan. Realisasi penerimaan perpajakan per Juni 2019 hanya tumbuh 5,4 persen atau Rp 688,9 triliun. Padahal, pada Juni 2018, realisasinya tumbuh 14,3 persen.
Penyebab penerimaan perpajakan tumbuh paling lemah karena penerimaan pajak dari industri pengolahan dan pertambangan menurun sejak awal tahun 2019. Realisasi penerimaan pajak industri pengolahan dan pertambangan pada semester I-2019 masing-masing Rp 160,62 triliun dan Rp 33,43 triliun.
”Tekanan ekonomi global pada semester I-2019 masih menghantui. Kinerja ekspor dan impor kontraksi, sementara investasi melambat,” kata Sri Mulyani.
Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Ari Kuncoro berpendapat, penerimaan pajak terendah jenis Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Selain ada tekanan global, situasi politik dan ekonomi dalam negeri tidak kondusif efek dari penyelenggaraan Pemilu 2019. Ekspor juga belum bisa diandalkan untuk menambah penerimaan negara.
Realisasi penerimaan PPN dalam negeri pada semester I-2019 turun 2,9 persen menjadi Rp 123,5. Adapun realisasi PPN impor turun 2,1 persen menjadi Rp 82,10 triliun.
”Intinya, PPN harus ditingkatkan sehingga penerimaan negara akan cepat pulih, Pemerintah harus memperbaiki basis data PPN,” kata Ari.
Menurut Ari, pada semester II-2019, kondisi perekonomian dalam negeri yang lebih kondusif akan menumbuhkan optimisme dunia usaha dan investor. Kegiatan ekonomi kembali menggeliat sehingga pendapatan negara bisa tumbuh lebih tinggi dari semester I-2019. Meski demikian, defisit anggaran berpotensi tetap melebar.
Tidak mencapai target
Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Robert Pakpahan menyatakan, penerimaan pajak hingga akhir tahun tidak akan mencapai target. Realisasi penerimaan pajak diperkirakan Rp 1.437,2 triliun atau 91,1 persen dari target APBN 2019, yaitu Rp 1.557,6 triliun. Potensi kekurangan penerimaan pajak atau shortfall sekitar Rp 140 triliun.
”Shortfall pajak disebabkan harga komoditas yang turun drastis, kinerja impor turun, restitusi dipercepat,” kata Robert.
Risiko penerimaan pajak juga terefleksi dari realisasi asumsi makro per Juni 2019. Beberapa indikator lebih rendah dari asumsi makro yang ditetapkan, yaitu kurs rupiah, harga minyak dunia, serta produksi minyak dan gas dalam negeri.
Kendati penerimaan melemah, sejauh ini pemerintah belum memutuskan untuk APBN perubahan. Perekonomian pada semester II-2019 diperkirakan membaik dan lebih optimistis seiring kondisi domestik dan global yang semakin kondusif.
Anggota Banggar DPR RI Ecky Awal Mucharam berpendapat, pemerintah tetap harus antisipasi risiko realisasi pendapatan negara yang lebih rendah dari target. Ada kemungkinan penerbitan surat utang meningkat untuk mengompensasi defisit anggaran.