Korupsi SDA Terjadi karena Koruptor Menyandera Negara
›
Korupsi SDA Terjadi karena...
Iklan
Korupsi SDA Terjadi karena Koruptor Menyandera Negara
Oleh
Sharon Patricia
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Korupsi di sektor sumber daya alam bukan hanya persoalan tata kelola, melainkan karena adanya praktik state-captured corruption atau penyanderaan koruptor atas nama negara melalui lemahnya fungsi otoritas kelembagaan negara. Maka, diperlukan penguatan otoritas kelembagaan negara untuk mengatasi benturan kepentingan dan dalam urusan sumber daya alam.
”State-captured corruption bukan semata ditujukan untuk pembuktian adanya kuasa oligarki atas birokrasi negara, melainkan karena makin menjauhnya tujuan dan mandat negara atas tujuan konstitusionalnya,” kata evaluator Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam, Hariadi Kartodiharjo, di Jakarta, Selasa (16/7/2019).
Menurut dia, hal ini terjadi ketika arah kehidupan berbangsa dan bernegara tidak lagi diturunkan dari hikmat kebijaksanaan dan mandat ”sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat” yang telah disepakati secara konstitusional sejak negara ini berdiri.
Hariadi menyampaikan pendapat ini dalam kegiatan dialog kanal ”Quo Vadis Korupsi Sumber Daya Alam Indonesia”. Sekaligus refleksi lima tahun perjalanan Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNP-SDA).
Dengan adanya GNP-SDA, selama periode 2014-2017, terjadi peningkatan penerimaan pajak sebesar 32,18 persen. Peningkatan signifikan terjadi di sektor kelautan dan perikanan, yakni 56,47 persen. Selain itu, ada juga dampak langsung dari peningkatan penerimaan pajak. Pada 2017, rasio pajak meningkat menjadi 3,87 persen.
Namun, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) di sektor kehutanan malah menurun dari Rp 4,15 triliun pada tahun 2015 menjadi Rp 4,10 triliun pada 2017. Hariadi menyampaikan bahwa ada dua persoalan dalam hal ini.
”Turunnya pendapatan dana reboisasi dari Rp 2 triliun pada 2015 menjadi Rp 1,72 triliun pada 2017. Selain itu karena turunnya penerimaan provisi sumber daya hutan dari Rp 1,01 triliun pada 2015 menjadi Rp 918,35 miliar pada 2017,” ujarnya.
Untuk itu, perlu adanya perombakan struktural sistem pengelolaan SDA yang tidak adil agar mampu mengatasi ketimpangan untuk keberlangsungan antargenerasi. Penting juga optimalisasi nilai manfaat SDA dan pengelolaan penerimaan negara yang berorientasi untuk kemakmuran rakyat.
Sejalan dengan itu, Sekretaris Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Bambang Hendroyono menyampaikan pentingnya penerapan sistem perizinan terpadu atau online single submission (OSS). Tujuannya agar perizinan tidak lagi disalahgunakan.
”Dengan OSS yang berbasis elektronik, selain akan memudahkan investor, sistem ini juga akan mencegah izin-izin yang ilegal untuk diterapkan. Melalui sistem ini, izin di luar OSS sudah pasti ilegal,” kata Bambang.
Namun memang masih perlu adanya sinergi antarkementerian dan lembaga untuk membuat OSS berjalan lebih baik. Kementerian dan lembaga terkait harus bersatu dan memahami bahwa Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup harus menjadi ”ibu” dari semua kementerian dan lembaga.
Korupsi SDA
Kajian KPK pada 2013 menemukan bahwa di sektor kehutanan, besaran uang suap atau gratifikasi antara Rp 688 juta dan Rp 22,6 miliar per perusahaan per tahun. Sementara BUMN Kehutanan, pada 1998-2015, Perhutani diperkirakan kehilangan aset tegakan hutan sebesar Rp 998 miliar per tahun.
Pada sektor pertambangan mineral dan batubara pada tahun 2010, ada kekurangan bayar pajak tambang di kawasan hutan sebesar Rp 15,9 triliun per tahun di tiga pulau, yaitu Kalimantan, Sumatera, dan Papua. Ada juga potensi penerimaan negara yang hilang akibat persoalan administrasi, buruknya sistem perizinan, dan lemahnya sistem kontrol penerimaan negara.
”Hingga tahun 2017, koordinasi dan supervisi KPK mencatat jumlah tunggakan PNBP mencapai Rp 25,5 triliun,” kata Hariadi.
Sementara sektor kelautan dan perikanan, pada 2014, potensi produk domestik bruto sektor kelautan mencapai Rp 70 triliun per tahun. Jumlah ini tidak sebanding dengan PNBP yang mencapai Rp 230 miliar per tahun.
Kemudian untuk sektor kehutanan, khususnya di perkebunan sawit, ditemukan ada potensi pajak yang tidak dipungut pemerintah. Data KPK, pada 2016, yaitu sebesar Rp 18,13 triliun.
Wakil Ketua KPK Laode M Syarif menyampaikan bahwa korupsi di sektor SDA merupakan yang terbesar. Padahal, SDA juga merupakan sumber daya uang bagi negara, tetapi kontribusinya masih sedikit.
”Jadi kadang antara manfaat ekonomi dan kerusakan yang diberikan itu tidak seimbang, apalagi nikel, habis nikelnya tinggal lubangnya. Maka, seharusnya kita bisa me-manage hutan, ikan, air, untuk kemaslahatan jangka panjang agar betul-betul bisa menyumbang,” kata Laode.
Selain itu, Laode juga menegaskan bahwa pengelolaan SDA merupakan tanggung jawab bersama, bukan hanya KPK. Sebab, lebih baik mencegah serta menindak pelanggaran dibandingkan membuktikan perkara korupsi.
”Jangan ada lagi ruang gelap di negeri ini karena SDA adalah barang milik publik, harta masyarakat yang harus dijaga dan dikelola secara bijak demi keadilan bagi generasi yang akan datang,” ujar Laode.