Moratorium Minim Pengawasan, 1,3 Juta Hektar Hutan Terancam Jadi Kebun Sawit
›
Moratorium Minim Pengawasan,...
Iklan
Moratorium Minim Pengawasan, 1,3 Juta Hektar Hutan Terancam Jadi Kebun Sawit
Oleh
Fajar Ramadhan
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Moratorium pemberian izin pemanfaatan hutan dan lahan yang telah berjalan sebelas tahun kini perlu dievaluasi secara mendalam. Dengan begitu, moratorium ke depan diharapkan bisa selaras dengan agenda reforma agraria dan perhutanan sosial. Salah satu yang perlu menjadi perhatian adalah pengawasan pelaksanaan morotarium.
Pengawasan morotarium pemberian izin pemanfaatan hutan dan lahan cenderung lemah. Akibatnya, banyak hutan alam di sejumlah pulau seperti Papua, terancam menjadi perkebunan sawit.
Moratorium pemanfaatan hutan yang diatur dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 6 Tahun 2017 tentang Penundaan dan Penyempurnaan Tata Kelola Pemberian Izin Baru Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut berakhir pada Rabu (17/7/2019). Inpres tersebut selama ini diperbarui setiap dua tahun sekali sejak 2011.
Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan Teguh Surya menilai, pemerintah perlu melakukan evaluasi mendalam Inpres tersebut sebelum mengeluarkan moratorium baru atau aturan permanen tentang pemanfaatan hutan. Selama delapan tahun berjalan, ia menilai belum ada penguatan substansi.
“Kami berharap di tahun kesembilan dan seterusnya, pemerintahan Presiden Joko Widodo tidak mengulangi kesalahan sebelumnya. Inpres-inpres sebelumnya isinya hampir sama dan tanpa ada penguatan substansi,",” ujarnya dalam Diskusi “Moratorium Hutan dan Visi Indonesia, Akan Kemana?” di Jakarta, Selasa (16/7/2019).
Bahkan Teguh mengungkapkan, selama ini proses pengawasan moratorium tidak berjalan optimal, sehingga penegakan hukum cenderung lemah. Setidaknya, sejak 2011 telah keluar 19 Surat Keputusan (SK) pelepasan kawasan hutan. Sembilan di antaranya untuk perkebunan kelapa sawit.
“Berdasarkan data kami, yang terbesar ada di Papua. Saat ini ada 1,3 juta hektar hutan alam terancam akan digunduli untuk perkebunan sawit,” ujarnya.
Adapun luas hutan yang sudah diubah menjadi perkebunan kelapa sawit sebanyak 2.378 hektar. Tanpa penguatan substansi, dikhawatirkan Inpres baru justru memberikan celah eksploitasi hutan alam dalam jumlah yang besar.
Berdasarkan data kami, yang terbesar ada di Papua. Saat ini ada 1,3 juta hektar hutan alam terancam akan digunduli untuk perkebunan sawit
Menurut Teguh, sudah saatnya pemerintah membuka ruang konsultasi publik guna memperkuat moratorium tersebut. Dengan konsultasi tersebut, diharapkan proses penyusunan moratorium atau aturan permanen bisa selaras dengan agenda reforma agraria dan perhutanan sosial.
“Hal itu sekaligus untuk menutup celah pemberian izin negara, memitigasi konflik, atau memperkuat masyarakat adat,” katanya.
Sejumlah kelemahan lain yang diidentifikasi dalam penerapan moratorium selama delapan tahun terakhir adalah adanya pengecualian hutan sekunder dalam wilayah perlindungan hutan. Selain itu, dalam Inpres juga masih mengecualikan izin-izin lama eksploitasi hutan.
“Tercatat, luas cakupan moratorium tersebut sudah berkurang sebanyak 2,8 juta hektar dengan alasan ada lahan-lahan konsesi yang izinnya sudah lama diajukan,” ungkap Teguh.
Kelemahan lainnya yakni adanya pengecualian terhadap proyek-proyek vital nasional baik untuk program energi maupun ketahanan pangan. Menurut Teguh, hal itu rentan dimanfaatkan untuk kepentingan korporasi semata.
Kekuatan hukum
Kepala Departemen Advokasi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Zenzi Suhadi mendorong agar moratorium tidak hanya sekadar Inpres tapi harus memiliki kekuatan hukum. Menurutnya, Inpres hanya mengikat secara internal dalam pemerintahan.
“Kalau kita memang ingin menyelamatkan hutan dari izin baru, maka moratorium itu harus bersifat regulasi,” katanya.
Koordinator Nasional Pantau Gambut Iola Abas menilai Inpres belum efektif dalam melindungi hutan karena tidak ada konsekuensi hukumnya. Salah satu solusi untuk memperkuat perlindungan tersebut adalah mengubah Inpres menjadi Peraturan Presiden (Perpres).
“Penguatan izin dan perlindungan gambut serta penegakan hukumnya harus digalakkan,” katanya.