Pesan Inklusif dari ”Negeri Tirai Bambu”
Perlahan, investor asing satu per satu berdatangan. China mengizinkan kepemilikan modal swasta, mengirim warganya secara masif ke luar negeri untuk belajar, serta membuka pintu lebar-lebar kepada tenaga asing untuk bekerja di bidang strategis, dengan syarat wajib menularkan ilmu kepada tenaga ahli lokal.
”Pertama-tama, biarkan saja dulu sebagian orang menjadi kaya,” demikian ucap Pemimpin Republik Rakyat China Deng Xiaoping pada awal 1980-an. Kata-kata terkenal dalam sejarah reformasi perekonomian China itu menandai perubahan di ”negeri tirai bambu” tersebut hingga dewasa ini melejit menjadi salah satu raksasa ekonomi dunia.
Bagi China yang saat itu masih memegang teguh prinsip sosialisme murni serta mengedepankan slogan sama rasa sama rata, ucapan Deng jelas mengejutkan. Deng menjungkirbalikkan apa yang selama ini diyakini pendiri negara RRC dan Pemimpin Partai Komunis China Mao Zedong.
Deng berpandangan, jika tidak melakukan reformasi, China akan menemui jalan buntu. Oleh karena itu, ia tidak mempersoalkan konsekuensi membuka diri pada kapitalisme dunia. Secara pragmatis, Deng mengibaratkan kapitalisme dan sosialisme sebagai kucing hitam dan kucing putih yang berusaha menangkap tikus.
”Tidak masalah kucing itu berwarna hitam atau putih, yang penting sama-sama bisa menangkap tikus. Siapa yang tidak mereformasi diri akan jatuh. Maka, pertama-tama kita harus membiarkan beberapa orang menjadi kaya,” ujarnya.
Tidak masalah kucing itu berwarna hitam atau putih, yang penting sama-sama bisa menangkap tikus. Siapa yang tidak mereformasi diri akan jatuh. Maka, pertama-tama kita harus membiarkan beberapa orang menjadi kaya.
Sepeninggal Mao, di bawah kepemimpinan Deng, China mereformasi diri secara besar-besaran. Negara sosialis-komunis yang habis dilanda bencana kelaparan dan sedang berusaha memulihkan diri itu memutuskan membuka pintunya pada pasar dunia.
Perlahan, investor asing satu per satu berdatangan. China mengizinkan kepemilikan modal swasta, mengirim warganya secara masif ke luar negeri untuk belajar, serta membuka pintu lebar-lebar kepada tenaga asing untuk bekerja di bidang strategis, dengan syarat wajib menularkan ilmu kepada tenaga ahli lokal.
Ucapan Deng menjadi kenyataan. Sebagian orang di China akhirnya benar-benar menjadi kaya meskipun China harus menghadapi implikasi dari keputusannya membuka diri pada kapitalisme, yaitu angka kesenjangan sosial yang ikut meninggi dan skandal korupsi oleh para elitenya.
Sampai sekarang, keputusan Deng untuk membuka diri puluhan tahun lalu dianggap tepat. China kini melejit ke peringkat atas negara dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi dan menunjukkan bahwa keputusannya untuk membuka diri pada dunia berbuah manis.
Kemajuan China salah satunya tampak dari wajah ibu kotanya, Beijing. Di tengah cuaca mendung dan rintik hujan yang terus membayangi kunjungan Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri dalam rangka menghadiri Forum Perdamaian Dunia Ke-8 pada 6-12 Juli 2019 lalu, Beijing terkesan hidup dan penuh vitalitas.
Wajah kota itu semarak dengan tata perkotaan yang apik dan modern, layanan transportasi umum yang cerdas, serta sistem lalu lintas yang maju. Bangunan pencakar langit dan taman-taman hijau yang teduh membaur dengan gedung arsitektur tua warisan masa lalu, menjadi ekspresi kebanggaan bangsa China atas kulturnya sendiri tanpa harus menutup diri dari dunia luar.
Dalam pidato pembukaan di Forum Perdamaian Dunia Ke-8 yang diselenggarakan Universitas Tsinghua, 8 Juli 2019, Wakil Presiden China Wang Qishan mengatakan, negara perlu belajar dari masa lalu untuk menyambut masa depan. China, ujarnya, mengalami kemajuan pesat dibandingkan puluhan tahun lalu dan di tengah ketidakpastian iklim dagang global saat ini bertekad untuk semakin membuka dirinya pada dunia.
”Kita hidup di sebuah kampung global di mana setiap orang bergantung satu sama lain. Memang akan ada banyak tantangan di depan, tetapi saat menghadapi persoalan, hal yang perlu ditakuti justru rasa takut itu sendiri,” katanya mengutip kalimat terkenal yang pernah diucapkan Presiden ke-32 Amerika Serikat Franklin D Roosevelt saat pidato pelantikannya pada 1933.
Perang dagang
Selama satu tahun terakhir, China dirundung sengketa perseteruan tarif barang impor dengan Amerika Serikat, atau yang lebih beken disebut dengan perang dagang. Dalam Forum Perdamaian Dunia Ke-8 pada awal pekan ini, isu perang dagang AS-China menjadi salah satu isu yang paling banyak disoroti.
Pemerintahan Trump menuduh China melakukan praktik dagang secara tidak adil melalui memaksakan transfer teknologi serta mencurangi hak kekayaan intelektual. Trump pun secara eksklusif menerapkan kebijakan proteksionisme melalui memberlakukan tarif yang signifikan untuk produk impor dari China. China membalas dengan langkah serupa.
Sengketa tarif impor antara China dan AS yang berlangsung selama satu tahun terakhir itu memunculkan ketidakpastian skala global. Tidak hanya melambatkan laju pertumbuhan ekonomi kedua negara itu, sengketa tersebut juga memengaruhi kondisi perekonomian global, termasuk Indonesia.
Perselisihan antara kedua negara adidaya itu belum menunjukkan tanda-tanda akan surut. Pertemuan Trump dan Presiden China Xi Jinping saat Konferensi Tingkat Tinggi G-20 di Osaka, Jepang, akhir Juni lalu, sempat membawa asa. Namun, komitmen melanjutkan dialog untuk meninjau ulang kebijakan tarif impor oleh kedua negara itu masih perlu dibuktikan.
Forum Perdamaian Dunia Ke-8 pada awal pekan ini seolah menjadi momentum yang dimanfaatkan China untuk menegaskan pesan di depan ratusan tokoh dunia, mantan pemimpin negara, dan peneliti lembaga think tank dari sejumlah negara yang hadir bahwa China mengecam kebijakan proteksionisme dan akan semakin membuka diri pada dunia.
Dalam pidatonya ketika membuka forum, meski tidak menyebut nama negara yang dimaksud, Wang Qishan seolah melempar sindiran halus kepada Trump dan AS ketika mengingatkan bahaya dari kebijakan proteksionisme terhadap stabilitas tatanan global.
Ia pun mengajak bangsa-bangsa untuk lebih aktif berkomunikasi untuk mewujudkan stabilitas dunia dan mengklaim tidak akan mengembangkan hegemoni dengan kekuatan ekonominya saat ini. ”China tidak bisa berkembang jika menutup diri dari dunia, demikian juga dunia tidak bisa mengucilkan China,” kata Wang.
Pernyataan Wang itu kembali diperjelas Wakil Menteri Luar Negeri Le Yucheng saat jamuan makan siang untuk menyambut delegasi peserta forum dari sejumlah negara. Le menegaskan, China menolak disalahkan atas perang dagang dengan AS yang ikut memengaruhi perekonomian global itu.
”Kondisi yang ada saat ini tidak bisa disalahkan ke China. China seharusnya tidak dikambinghitamkan. Kami akan terus bertahan, tidak ada yang bisa menggoyang kami,” kata Le.
Le juga menjanjikan bahwa China akan menerapkan kebijakan perdagangan yang lebih inklusif, bebas, dan terbuka. China akan menurunkan tamengnya, memperluas akses perdagangan dari sejumlah negara dan membuat aturan dagang yang lebih transparan. ”Pintu China tidak akan tertutup, tetapi semakin terbuka ke dunia. Jangan anggap kami sebagai musuh,” ujarnya.
Dialog konstruktif
Dalam forum perdamaian selama dua hari itu, para tokoh negara dan pemimpin dunia dalam berbagai sesi diskusi dan kesempatan pidato menyuarakan pentingnya dialog konstruktif yang inklusif antarbangsa untuk menyelesaikan perselisihan tingkat global, termasuk sengketa terkini AS-China.
Mantan Perdana Menteri Singapura Goh Chok Tong mengatakan, di tengah perseteruan AS dan China, negara-negara lain tidak bisa hanya berdiri di pinggir dan dengan pasif menerima ”peluru nyasar” dari sengketa dagang kedua raksasa ekonomi itu.
Menurut dia, negara-negara kecil bisa dan harus memainkan peran independen yang positif untuk membentuk tatanan global. Negara-negara tersebut tidak perlu membentuk blok tertentu, tetapi membantu mendorong dan menyuarakan perdamaian demi tatanan dunia yang lebih baik.
”Ketika cukup banyak negara kecil berdiri bersama, suara mereka bisa sama besarnya, atau bahkan lebih besar, dari suara kumpulan gajah,” kata Goh.
Hal senada juga diucapkan oleh Megawati Soekarnoputri saat berbincang dalam sesi tanya jawab dengan para peserta forum. Memperkenalkan prinsip musyawarah untuk mufakat, Megawati mengajak bangsa-bangsa mengedepankan prinsip dialog konstruktif untuk meredakan ketegangan antarnegara.
”Kita semua tahu, nasib umat manusia tidak bisa ditentukan oleh hanya segelintir bangsa atau golongan yang merasa dirinya besar dan kuat, yang merasa dirinya paling benar dan suci. Kita tidak bisa terus membangun sekat-sekat antara satu sama lain,” kata Megawati.
Kita semua tahu, nasib umat manusia tidak bisa ditentukan oleh hanya segelintir bangsa atau golongan yang merasa dirinya besar dan kuat, yang merasa dirinya paling benar dan suci. Kita tidak bisa terus membangun sekat-sekat antara satu sama lain.