Kementerian Dalam Negeri belum tuntas mengevaluasi Pemilu 2019. Sementara dari DPR dan masyarakat sipil, dorongan agar revisi Undang-Undang Pemilu diprioritaskan terus disuarakan. Ini agar tersedia ruang waktu yang cukup untuk menghasilkan UU Pemilu yang berkualitas sebagai dasar hukum Pemilu 2024.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Dalam Negeri belum tuntas mengevaluasi Pemilu 2019. Masukan dari berbagai pihak juga masih terus dihimpun. Akumulasi dari semuanya itu bakal menjadi bekal untuk perbaikan pemilu selanjutnya, bahkan tak menutup kemungkinan merevisi Undang-Undang Pemilu. Sementara dari DPR dan masyarakat sipil, dorongan agar revisi undang-undang diprioritaskan terus disuarakan.
Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Soedarmo saat ditemui di sela-sela Rapat Kerja Nasional Pembinaan Wawasan Kebangsaan dan Ketahanan Nasional di Jakarta, Selasa (16/7/2019), mengatakan, evaluasi Pemilu 2019 sudah dimulai di internal Kemendagri pasca-berakhirnya pemilu.
”Kami juga sedang mengakumulasi beberapa masukan dari pakar politik, pegiat pemilu, semua kami ajak duduk bersama,” katanya.
Dengan demikian, proses evaluasi belum tuntas. Namun, dia menargetkan proses itu bisa segera tuntas. Jadi, pihaknya sudah siap jika kelak pemerintah bersama DPR sepakat merevisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Berdasarkan hasil evaluasi sementara, salah satu hal yang dinilai perlu direvisi terkait durasi kampanye. Namun, dia belum mau menjelaskan lebih lanjut karena evaluasi masih belum tuntas.
Usulan revisi
Sementara Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) telah memetakan sejumlah hal yang perlu direvisi dari UU No 7/2017.
Salah satunya terkait gelaran pemilu legislatif dan presiden yang pada 2019 digelar serentak. Ke depan, Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini mengusulkan gelaran pemilu dipisahkan antara yang berskala nasional dan lokal.
Yang berskala nasional, yaitu pemilu presiden bersama pemilu calon anggota DPR dan DPD. Adapun yang berskala lokal, yaitu pemilu calon anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota bersama pemilihan kepala daerah.
”Kemudian antara gelaran pemilu nasional dan lokal dipisahkan jarak waktu berselang 2 hingga 2,5 tahun,” katanya.
Perubahan waktu keserentakan ini dinilai dapat menjadi solusi untuk mencegah terulangnya, ratusan petugas kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) yang meninggal saat Pemilu 2019. Berdasarkan kajian Universitas Gadjah Mada, kematian mereka disebabkan beban kerja berat yang dihadapi petugas.
Hal lain yang perlu direvisi, jumlah daerah pemilihan (dapil) untuk pemilihan anggota legislatif. Jumlah dapil perlu dikurangi agar pengorganisasian partai politik lebih terkonsolidasi. Beban petugas penyelenggara dan pemilih pun menjadi lebih ringan.
Selain itu, penerapan rekapitulasi suara secara elektronik (e-rekap) juga perlu dipertimbangkan. Penggunaan e-rekap itu dapat mengurangi beban administrasi, memotong rantai birokrasi yang panjang, dan memangkas waktu yang diperlukan untuk rekapitulasi suara.
”Kajian untuk merevisi UU Pemilu itu mesti disegerakan,” ujar Titi.
Pasalnya, jika berkaca pada setiap kali penyusunan UU Pemilu, penyusunan selalu dilakukan mepet dengan jadwal penyelenggaraan tahapan pemilu. Ini membuat penyusunan UU Pemilu tergesa-gesa sehingga berdampak pada kualitas UU Pemilu yang dihasilkan.
Selain Perludem, anggota Komisi II DPR dari Fraksi PDI-P, Arif Wibowo, juga mendorong pentingnya revisi UU No 7/2017. Materi yang dipertimbangkan untuk direvisi seperti waktu penyelenggaraan pemilu legislatif dan presiden. Kemudian mengubah aturan di UU No 7/2017 yang membuat ongkos pemilu masih mahal. Selain itu, terkait tata cara penghitungan suara.
Dia pun mendorong revisi diprioritaskan agar dapat segera dimasukkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahunan sebagai syarat undang-undang dapat direvisi.
”Jika sudah masuk Prolegnas, setidaknya butuh tiga tahun untuk membahas revisi UU Pemilu secara optimal,” kata Arif.
Jadi, jika tahapan pemilu selanjutnya, Pemilu 2024, diperkirakan sudah dimulai pada 2023, seharusnya revisi UU Pemilu sudah dimulai tahun depan atau 2020. Dengan demikian, tersedia ruang waktu yang cukup bagi pemerintah dan DPR melahirkan UU Pemilu yang berkualitas. Kualitas UU Pemilu ini akan berdampak pada kualitas penyelenggaraan pemilu.