Industri pengolahan tahu di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, mendesak pemerintah tidak melarang penggunaan sampah plastik impor sebagai bahan bakar tungku pemasak kedelai. Hingga kini, belum didapati bahan bakar pengganti sampah impor yang lebih ekonomis sekaligus ramah lingkungan.
Oleh
RUNIK SRI ASTUTI
·4 menit baca
SIDOARJO, KOMPAS — Industri pengolahan tahu di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, mendesak pemerintah tidak melarang penggunaan sampah plastik impor sebagai bahan bakar tungku pemasak kedelai. Hingga kini, belum didapati bahan bakar pengganti sampah impor yang lebih ekonomis sekaligus ramah lingkungan.
Hal itu terungkap dalam rapat koordinasi yang dihadiri belasan pengusaha tahu Desa Tropodo, Kecamatan Krian, di Kantor Pemkab Sidoarjo, Rabu (17/7/2019). Rapat dipimpin Wakil Bupati Sidoarjo Nur Achmad Saifuddin dan dihadiri pimpinan satuan kerja perangkat daerah (SKPD) terkait, seperti dinas lingkungan hidup dan kebersihan, dinas kesehatan, serta perwakilan Perusahaan Gas Negara (PGN).
”Hingga kini, belum ditemukan bahan bakar pengganti yang tepat. Namun, bukan berarti tidak ada. Setidaknya, saat ini telah terbangun persepsi bersama. Penggunaan sampah impor sebagai bahan bakar harus segera dihentikan,” ujar Nur Achmad.
Pemkab Sidoarjo akan berkirim surat resmi ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan agar menghentikan praktik perdagangan sampah impor yang berpotensi mengandung sampah plastik serta limbah bahan berbahaya dan beracun. Sampah impor itu telah mengontaminasi lingkungan dan membahayakan kesehatan warga, terutama ancaman infeksi saluran pernapasan atas.
Desa Tropodo merupakan salah satu sentra produksi tahu di Sidoarjo. Di desa itu, terdapat 50 pengusaha tahu dengan skala usaha rumahan. Mereka mengolah sedikitnya 50 ton kedelai setiap hari dan memerlukan tak kurang dari 200 truk sampah impor sebagai bahan bakar pemanas tungku boiler pemasak kedelai dan kompor penggorengan tahu.
”Sebelum memakai bahan bakar sampah, pengusaha tahu menggunakan sekam. Namun, karena sekam kian sulit diperoleh, akhirnya beralih menggunakan kayu bakar. Dalam perjalanannya, beralih lagi menggunakan sampah plastik karena harganya jauh lebih murah,” kata Fuad, pemilik Usaha Dagang (UD) Waluyo Jati.
Mereka mengolah sedikitnya 50 ton kedelai setiap hari dan memerlukan tak kurang dari 200 truk sampah impor sebagai bahan bakar pemanas tungku boiler.
Biogas gagal
Fuad mengatakan, selain usaha tahu, dia punya usaha peternakan sapi dengan populasi lebih dari 200 ekor. Kotoran sapi itu ditampung dan diolah menjadi biogas. Namun, gas yang dihasilkan volumenya kecil sehingga tidak mampu memanaskan tungku boiler pemasak kedelai. Bahkan, menggoreng tahu pun tidak bisa karena kurang panas.
Fuad juga pernah mengonversi bahan bakarnya dengan batubara. Namun, tungku boiler-nya cepat rusak karena keropos. Hal itu berdampak pada biaya perawatan peralatan yang membengkak, padahal investasi alat tidak murah.
Kepala Desa Tropodo Ismail yang juga pemilik industri tahu rumahan menambahkan, pihaknya pernah melakukan uji coba menggunakan gas alam produksi PGN. Namun, biaya bahan bakar gas tiga kali lipat lebih mahal dibandingkan dengan kayu bakar. Upaya pengalihan ke bahan bakar gas alam pun tidak dilanjutkan meski lokasi desa jaraknya hanya 400 meter dengan jaringan pipa distribusi milik PGN yang menyuplai gas ke sejumlah industri di Sidoarjo.
Mahalnya harga gas bumi dibandingkan kayu bakar dibenarkan Faisal Reza dari bagian penjualan PT PGN wilayah Sidoarjo. Menurut Reza, ada dua cara penyaluran gas bumi, yakni melalui jaringan pipa besar atau melalui truk tangki. Gas yang disalurkan melalui truk tangki sudah terkompresi (compressed natural gas/CNG). Namun, harga bahan bakar gas alam tetap lebih mahal dibandingkan dengan harga kayu bakar.
Pelaku usaha minta pemerintah tidak melarang penggunaan bahan bakar sampah sebelum ada solusi bahan bakar pengganti yang ekonomis dan ramah lingkungan. Pada prinsipnya, pengusaha sadar dampak buruk penggunaan sampah impor terhadap kesehatan. Mereka bersedia mengeluarkan dana untuk investasi bahan bakar pengganti.
Pelaku usaha minta pemerintah tidak melarang penggunaan bahan bakar sampah sebelum ada solusi bahan bakar pengganti yang ekonomis dan ramah lingkungan.
Pengusaha sempat mengusulkan penggunaan sampah lokal sebagai bahan bakarnya. Selain lebih ekonomis, pemanfaatan sampah lokal bisa mengatasi persoalan sampah di Sidoarjo yang menumpuk dan tidak terkelola.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kabupaten Sidoarjo Sigit Setyawan mengatakan, pemanfaatan sampah sebagai bahan bakar produksi tidak boleh melanggar aturan perundangan dan tetap harus mempertimbangkan dampak lingkungan serta risiko kesehatan. Hal itu perlu kajian yang melibatkan berbagai pihak.