Menjadi Oposisi Politik
Koalisi parpol pendukung Prabowo- Sandi pada Pilpres 2019 berakhir. Prabowo membebaskan partai- partai pendukungnya untuk menentukan arah politik selanjutnya ("Kompas", 29/6/2019).
Bubarnya koalisi Indonesia Adil dan Makmur menggambarkan ada perbedaan politik yang tajam dari partai pendukung Prabowo-Sandi. Dua partai, PAN dan Demokrat, dianggap “kurang konsisten”. PAN dan Demokrat cenderung “setengah hati”, tak sevisi dengan Prabowo dan PKS dalam membangun koalisi.
Dalam sistem demokrasi multipartai di Indonesia saat ini, hampir muskil membangun pemerintahan tanpa oposisi. Menjadi oposisi adalah panggilan politik dalam demokrasi, karena itu oposisi adalah keniscayaan dalam berdemokrasi.
Tanpa oposisi, politik Indonesia akan pincang, tak ada keseimbangan dan pengawasan. Demokrasi butuh kontrol agar kepentingan publik tak terabaikan. Tanpa kontrol, pemerintahan demokratis bisa kehilangan arah.
Menjadi oposisi adalah panggilan politik dalam demokrasi, karena itu oposisi adalah keniscayaan dalam berdemokrasi.
Ancaman “koalisi kartel”
Bubarnya koalisi Indonesia Adil dan Makmur pasca-keputusan MK yang memenangkan pasangan capres/cawapres 01 bisa berdampak positif dan negatif. Dampak positifnya, kubu koalisi Prabowo-Sandi yang tetap bertahan dalam barisan oposisi akan kian solid. Soliditas koalisi oposisi sama pentingnya dengan soliditas koalisi partai yang memerintah. Dampak negatifnya, kekuatan oposisi politik makin melemah.
Hasil Pemilu 2019 menunjukkan partai-partai yang berhimpun dalam koalisi Indonesia Kerja, yang lolos ambang batas parlemen, memperoleh hampir 54,9 persen suara. Sedangkan partai yang berhimpun dalam koalisi Indonesia Adil dan Makmur memperoleh suara sekitar 35,39 persen.
Angka-angka ini belum menunjukkan kekuatan perolehan kursi di parlemen, namun paling tidak dapat jadi gambaran awal. Jika PAN dan Demokrat keluar dari kubu Prabowo-Sandi, kekuatan kubu oposisi akan semakin mengecil. Sebaliknya akan tercipta pemerintahan yang memiliki dukungan yang sangat besar di parlemen. Besar kemungkinan akan tercipta koalisi kartel dalam pemerintahan Jokowi-Makruf.
Menurut Kuskridho Ambardi, konsep kartel pertama kali dikenalkan Daniel Katz dan Peter Mair tahun 1995 di mana pada masa itu mulai bermunculan partai-partai baru bercorak lain yang kemudian disebut partai kartel. Partai sebelumnya lebih bertipe partai kader, partai massa dan partai lintas kelompok.
Soliditas koalisi oposisi sama pentingnya dengan soliditas koalisi partai yang memerintah.
Dua partai yang paling mencolok perbedaannya adalah partai massa dan partai kartel. Partai massa muncul untuk mewadahi kepentingan kelompok yang tak terakomodasi dalam politik elektoral seperti kelas buruh.
Eva Kusuma Sundari juga menyebutkan hal yang hampir sama mengenai ciri-ciri kartel politik yaitu: pertama, menghilangnya peran ideologi partai sebagai faktor penentu koalisi antar partai. Kedua, sikap permisif dalam pembentukan koalisi.
Ketiga, tiadanya oposisi yang benar-benar melakukan kritik terhadap pemerintah. Keempat, pemilu tidak berpengaruh dalam menentukan perilaku partai. Kelima, kuatnya kecenderungan partai untuk bertindak secara kolektif sebagai satu kelompok.
Menguatnya politik kartel terjadi di era reformasi disebabkan karena partai politik lebih suka berhimpun dengan penguasa ketimbang untuk menjaga kepentingan publik, sehingga berposisi berbeda. Orientasi koalisi lebih didasarkan pada keuntungan materiil yang diperlukan oleh partai. Dengan berkoalisi pada pihak yang berpotensi “menang”, sejumlah keuntungan akan diperoleh.
Sebaliknya, insentif menjadi oposisi politik tidak terlalu kelihatan. Biasanya insentif dari partai oposisi ialah adanya peluang untuk memperoleh dukungan suara pada pemilu berikutnya. Dalam konteks politik di Indonesia, yang terjadi sebaliknya, menjadi oposisi politik belum sepenuhnya “diterima” dalam budaya masyarakat yang masih permisif. Bahkan menjadi oposisi sepertinya merupakan perilaku politik yang buruk.
Kondisi demikian justru mengarahkan lahirnya gagasan koalisi kartel di Indonesia. Koalisi yang dibangun oleh parpol secara berkelompok bukan atas dasar ideologi dan kesamaan platform.
Koalisi lahir dari keinginan untuk mempertahankan kekuasaan dengan menghimpun sebanyak-banyaknya partai pendukung. Ciri utamanya office-seeking, keuntungan sebesar-besarnya untuk memperoleh kekuasaan. Ciri koalisi kartel lainnya lebih mengarah kartel kekuasaan (power of cartel) yang dicirikan oleh bagi-bagi keuntungan.
Dalam konteks politik di Indonesia, yang terjadi sebaliknya, menjadi oposisi politik belum sepenuhnya “diterima” dalam budaya masyarakat yang masih permisif. Bahkan menjadi oposisi sepertinya merupakan perilaku politik yang buruk.
Fenomena koalisi kartel ini mirip dengan lahirnya industri holding dalam politik, ketika mekanisme pasar—elektabilitas dan faktor keterpilihan—jadi ukuran utama pertimbangan berkoalisi. Hasil dari koalisi kartel ialah bagi-bagi kekuasaan sebagai bagian dari keuntungan besar dari proses elektoral yang telah diperolehnya. Koalisi kartel juga berupaya menjaga kekuasaan dan kepentingan politik pendukungnya dengan cara meminimalkan kekuatan oposisi.
Secara teoretik bangunan koalisi model demikian melahirkan sifat perilaku politik elite yang permisif. Peringatan beberapa elite PDI-P yang menyebut rekonsiliasi politik tak berarti semua harus diserap dalam kabinet, merupakan peringatan penting.
Beberapa elite PDI-P menyadari bahwa menyerap semua kekuatan politik dalam pemerintahan bukan berarti akan menambah soliditas koalisi Indonesia Kerja. Yang terjadi bisa saja sebaliknya, menimbulkan “kompetisi internal” yang rumit dan kompleks. Apalagi koalisi besar itu ada pada periode kedua pemerintahan Jokowi.
Orientasi politik elite partai menyebabkan bangunan koalisi dalam pilpres selalu buyar di tengah jalan. Koalisi yang terbentuk jadi rapuh dan tak bertahan lama. Selain karena faktor kepentingan politik elite partai, rapuhnya koalisi saat ini merupakan akibat dari model bangunan koalisi yang diwajibkan oleh UU No 7/2017 tidak hati-hati.
Koalisi cenderung lahir dari “keterpaksaan” akibat adanya ancaman UU No 7/2017 Pasal 235 Ayat (5) yang menyebut apabila parpol tak menentukan sikap politiknya, ia terancam tak bisa jadi peserta pemilu pada pemilu berikutnya. Ancaman Pasal 235 Ayat (5) turut memberi andil mengapa koalisi Prabowo-Sandi terancam bubar, atau bisa disebut akan segera berakhir.
Orientasi politik elite partai menyebabkan bangunan koalisi dalam pilpres selalu buyar di tengah jalan.
Secara faktual, kehadiran PAN dan Demokrati pada koalisi Indonesia Adil dan Makmur lebih karena sanksi Pasal 235 ayat (5) daripada ingin mendukung penuh koalisi Prabowo-Sandi.
Fungsi oposisi politik
Menjadi oposisi politik memiliki fungsi strategis untuk menjaga demokrasi berjalan sesuai garisnya. Dalam perkembangan demokrasi modern di sejumlah negara, kehadiran partai di luar pemerintah dapat mendorong dirinya sebagai pemerintah bayangan (pseudo government). Tugasnya mengontrol kebijakan pemerintah agar tak melenceng dari cita-cita bersama.
Mengapa oposisi politik semacam itu perlu? Pertama, untuk menjaga agar tak terjadi kecenderungan politik yang menyerap semua kekuatan-kekuatan politik ada dalam barisan pemerintahan. Fenoma koalisi kartel yang menyerap kekuatan politik dan masyarakat (civil society) dapat mengarah pada munculnya demokrasi bergaya tirani mayoritas.
Demokrasi demikian bukan cita-cita reformasi 1998. Demokrasi yang diidealkan adalah adanya ruang kontrol bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam setiap kebijakan yang akan dikeluarkan oleh pemerintah.
Kedua, pemerintahan demokratis yang bergaya “mayoritas mutlak” akan mengarah pada pemerintahan demokrasi anti-kritik. Kritik cenderung tak diberi ruang dan tempat yang sama pentingnya dengan pihak yang mendukung pemerintahan.
Fenoma koalisi kartel yang menyerap kekuatan politik dan masyarakat (civil society) dapat mengarah pada munculnya demokrasi bergaya tirani mayoritas.
Gejala demikian bisa memundurkan perkembangan demokrasi kita saat ini dan ke depan. Oleh karena itu, elite politik perlu menyadari bahwa oposisi politik sama derajatnya dengan pihak yang memerintah, karena demokrasi tanpa oposisi justru melahirkan kekuasaan absolut. Secara teori, kekuasaan absolut berpotensi menimbulkan penyimpangan dan korupsi.
Oleh karenanya parpol harus ada yang rela berperan sebagai pihak oposisi, walaupun keuntungan “materiil” akibat dari menduduki jabatan kekuasaan tak diperolehnya. Dalam sejarah politik di sejumlah negara, mengemban tugas sebagai oposisi bukan semata-mata untuk memperoleh keuntungan sesaat. Mereka sesungguhnya mengemban tugas konstitusional menciptakan checks and balances pemerintahan yang demokratis.