Memiliki usaha atau bisnis sendiri menjadi impian banyak orang. Namun, tidak semua dapat mewujudkannya. Di zaman yang lekat dengan disrupsi ini, berwirausaha ternyata juga dapat dilakukan sambil tetap menjadi karyawan di perusahaan lain.
Oleh
SUSANTI AGUSTINA S
·5 menit baca
Memiliki usaha atau bisnis sendiri menjadi impian banyak orang. Namun, tidak semua dapat mewujudkannya. Di zaman yang lekat dengan disrupsi ini, berwirausaha ternyata juga dapat dilakukan sambil tetap menjadi karyawan di perusahaan lain. Kreativitas menjadi kunci dalam menangkap peluang dan bertahan menghadapi persaingan.
Semangat berwirausaha kini mulai tumbuh dan dibangkitkan untuk menyiasati kondisi perekonomian yang penuh dengan ketidakpastian. Beragam bidang usaha dapat digarap, misalnya kuliner, jasa, toko kelontong, busana, dan otomotif. Modal yang digunakan pun tidak harus besar, bisa dimulai dari ratusan ribu dan jutaan rupiah saja.
Peringkat kewirausahaan di Indonesia sebenarnya masih rendah. Menurut Global Entrepreneurship Index pada 2018, indeks kewirausahaan global di Indonesia berada di angka 20,7, menempati peringkat ke-94 dari 135 negara. Peringkat Indonesia hanya berbeda sedikit dengan negara-negara seperti Ghana dan Bosnia-Herzegovina. Sementara Amerika Serikat berada di peringkat atas dengan indeks 83,61.
Indonesia masih membutuhkan setidaknya 4 juta wirausaha baru untuk turut mendorong penguatan struktur ekonomi. Saat ini, rasio wirausaha di dalam negeri masih sekitar 3,1 persen dari total populasi penduduk atau sekitar 8,06 juta orang. Angka itu sebenarnya telah melampaui standar internasional sebanyak 2 persen. Namun, Indonesia masih perlu menggenjot jumlah wirausaha untuk mengejar capaian negara-negara tetangga yang memiliki capaian lebih tinggi.
Jajak pendapat Litbang Kompas pada 2-3 Mei 2019 memotret mayoritas responden (72,8 persen) mempunyai cita-cita atau keinginan memiliki bisnis sendiri atau menjadi seorang wirausaha. Hanya 26 persen responden yang tidak memiliki harapan memiliki bisnis atau menjadi wirausaha.
Namun, hanya separuh dari mereka yang bercita-cita memiliki bisnis/usaha mengaku berhasil atau sedang memulai mewujudkannya. Sebanyak 47,9 persen responden belum berhasil mewujudkan mimpinya menjadi wirausaha.
Hasil yang mirip diperoleh dari survei yang dilakukan perusahaan jaringan profesional LinkedIn pada Oktober 2018 yang melibatkan 11.000 responden berusia 16-60 tahun di sembilan negara melalui metode wawancara daring. LinkedIn Opportunity Index menunjukkan responden Indonesia masuk dalam daftar kedua tertinggi orang yang ingin menjadi wirausaha dibandingkan dengan rata-rata orang di Asia Pasifik.
Mayoritas responden (72,8 persen) mempunyai cita-cita atau keinginan memiliki bisnis sendiri atau menjadi seorang wirausaha.
Namun, halangan keuangan masih menjadi penghambat terbesar untuk mewujudkan mimpi berwirausaha. Kendala finansial, koneksi, dan ketakutan akan kegagalan menjadi penghalang memulai usaha. Meski demikian, berbagai kendala itu tidak serta-merta menjauhkan responden dari mimpinya untuk mencoba berwirausaha. Pola wirausaha paruh waktu (sampingan) pun dilakukan di samping tetap memiliki sumber penghasilan dari bekerja pada perusahaan lain.
Sebanyak 41,6 persen responden jajak pendapat Litbang Kompas menyebutkan memiliki bisnis sendiri tidak otomatis membuat mereka meninggalkan pekerjaannya sebagai karyawan. Status sebagai karyawan memberikan jaminan kepastian penghasilan melalui penerimaan gaji yang stabil setiap bulan. Ketidaksiapan menghadapi krisis finansial karena belum stabilnya bisnis atau usaha yang dibangun mendorong mereka tetap menjadi karyawan sambil menjalankan usaha atau bisnis miliknya.
Meski demikian, porsi yang cukup besar, yakni sekitar 40,8 persen lainnya, sudah menjadikan bisnis atau usaha miliknya sebagai pekerjaan utama. Ketekunan dan kerja keras dipercaya menjadi kunci kesuksesan menjalankan usaha atau bisnis apa pun.
Modal
Memulai bisnis atau usaha sendiri tidak harus dengan modal awal yang besar. Modal yang minim tidak menghalangi upaya membangun bisnis yang dicita-citakan. Sumber modal pun bisa bervariasi. Modal usaha saat ini tidak hanya berupa uang. Aset yang dimiliki juga bisa digunakan sebagai sarana bisnis.
Terdapat sekitar 21 persen responden memulai usahanya dengan modal hanya ratusan ribu rupiah. Porsi yang lebih besar, yaitu sebanyak 45,6 persen responden, memulai bisnis/usaha dengan modal awal yang lebih besar mencapai jutaan rupiah. Hanya sebagian kecil (7 persen) responden yang bermodalkan ratusan juta rupiah pada saat awal membuka usaha. Yang menggunakan modal awal hingga miliaran rupiah juga ada meski hanya sebanyak 1 persen responden.
Separuh responden menyebutkan dana dari tabungan miliknya sebagai modal awal menjalankan bisnis atau usaha. Sementara ada 11 persen yang menggunakan pinjaman lunak dari keluarga. Sebanyak 10 persen lainnya memanfaatkan pinjaman dari perbankan.
Sebagian kecil lainnya menggunakan dana yang berasal dari koperasi, dana pensiun, pinjaman dari teman, arisan, ataupun menjual aset untuk memperoleh modal awal menjalankan usahanya.
Dengan modal usaha yang relatif minim ini, wirausaha saat ini didorong untuk mampu bersaing dengan mengedepankan kreativitas.
Kreativitas
Kreativitas menjadi kunci untuk bersaing di era ekonomi global. Hal itu mencakup upaya-upaya kreatif secara langsung terkait dengan penambahan nilai, penciptaan nilai, serta penemuan peluang bisnis di tengah persaingan yang kian sengit.
Salah satu upaya yang berpotensi dilakukan adalah menjalankan usaha/bisnis dalam jaringan (daring) atau secara online. Hal ini bukan tanpa alasan. Pengguna internet terus bertambah setiap harinya dan publik kian akrab dengan internet dalam melakukan berbagai hal, termasuk bertransaksi. Bahkan, menurut McKinsey and Company, ekonomi Indonesia akan terdongkrak sebesar 10 persen melalui aktivitas digital pada 2025.
Beragam usaha juga terus bergerak seiring perkembangan ekonomi dan kreativitas menangkap peluang. Variasi usaha mereka yang telah menggeluti bisnis atau usaha milik sendiri sangat beragam. Mereka bergerak mulai dengan toko kelontong/bahan kebutuhan pokok, kuliner, jasa, toko busana, otomotif/bengkel, konfeksi, properti, salon kecantikan, aksesori/kosmetik, servis elektronik, bahan bangunan, pertanian, bahkan koperasi simpan-pinjam, kontrakan/indekos, isi ulang air mineral, laundry, dan distribusi bahan bakar minyak nonsubsidi.
Data Badan Pusat Statistik juga mencatat hanya 3,79 juta pelaku UMKM yang telah memanfaatkan teknologi digital atau menjalankan bisnis e-commerce.
Sayangnya, hasil jajak pendapat Litbang Kompas menunjukkan mereka yang menggunakan sistem daring dalam menjalankan usahanya masih sedikit. Hanya 18 persen yang menggunakan sistem daring. Sementara 63 persen lainnya masih menjalankan bisnis atau usahanya secara konvensional dengan sistem di luar jaringan (offline).
Data Badan Pusat Statistik juga mencatat hanya 3,79 juta pelaku UMKM yang telah memanfaatkan teknologi digital atau menjalankan bisnis e-commerce. Padahal, hingga akhir 2018, menurut data Kementerian Koperasi dan UMKM, jumlah usaha mikro di Indonesia mencapai 58,91 juta dan usaha kecil 59.260 unit. Adapun jumlah usaha menengah mencapai 4.987 unit.
Kondisi itu menunjukkan perlunya para wirausaha menengah, kecil, dan mikro ini diberdayakan dan ditingkatkan keterampilannya untuk fasih memanfaatkan teknologi untuk memperluas pasar. (LITBANG KOMPAS)