Perkuat Pelaksanaan Instruksi Gubernur DIY tentang Pencegahan Konflik Sosial
›
Perkuat Pelaksanaan Instruksi ...
Iklan
Perkuat Pelaksanaan Instruksi Gubernur DIY tentang Pencegahan Konflik Sosial
Sejumlah pihak mengapresiasi penerbitan Instruksi Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Nomor 1/INSTR/2019 tentang Pencegahan Konflik Sosial. Aturan itu dinilai jadi terobosan guna menyelesaikan masalah intoleransi dan diskriminasi di DIY.
Oleh
HARIS FIRDAUS
·4 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS – Sejumlah pihak mengapresiasi penerbitan Instruksi Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Nomor 1/INSTR/2019 tentang Pencegahan Konflik Sosial. Aturan itu dinilai jadi terobosan guna menyelesaikan masalah intoleransi dan diskriminasi di DIY.
“Kita punya Instruksi Gubernur DIY Nomor 1/INSTR/2019. Tapi, pelaksanaan instruksi ini masih menjadi pekerjaan rumah bagi seluruh komponen pemerintah daerah,” kata Koordinator Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika (ANBTI) Yogyakarta Agnes Dwi Rusjiyati dalam diskusi “Mendorong dan Memperkuat Kebijakan Toleran di Yogyakarta”, Rabu (17/7/2019), di Yogyakarta.
Instruksi Gubernur DIY Nomor 1/INSTR/2019 diterbitkan 4 April 2019 setelah kasus penolakan pendatang karena perbedaan agama di sebuah dusun di Kabupaten Bantul, DIY. Di sana, Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X antara lain memerintahkan bupati dan wali kota membina dan mengawasi guna mewujudkan kebebasan beragama dan beribadat menurut agama dan keyakinan masing-masing warga.
Sultan juga menginstruksikan agar bupati dan wali kota menjamin kebebasan warga untuk memilih pendidikan, pekerjaan, dan tempat tinggal. Selain itu, para bupati dan wali kota diperintahkan mencegah praktik diskriminasi dan menjunjung tinggi sikap saling menghormati serta menjaga kerukunan hidup beragama dan aliran kepercayaan.
Agnes menyatakan, penerbitan Instruksi Gubernur DIY Nomor 1/INSTR/2019 menunjukkan adanya upaya dari Pemerintah Daerah (Pemda) DIY untuk mewujudkan kebebasan beragama dan berkeyakinan bagi semua warga. Namun, pelaksanaan instruksi tersebut di lapangan masih harus ditingkatkan. Sebab, selama ini, penanganan masalah diskriminasi dan intoleransi di DIY masih cenderung memihak kelompok mayoritas.
“Ketika terjadi insiden, misalnya penolakan keberadaan tempat ibadah atau komunitas tertentu, perspektif kelompok yang lebih besar selalu diutamakan sehingga kelompok yang jumlah anggotanya lebih sedikit diminta mengalah,” ungkap Agnes.
Ketika terjadi insiden, misalnya penolakan keberadaan tempat ibadah atau komunitas tertentu, perspektif kelompok yang lebih besar selalu diutamakan sehingga kelompok yang jumlah anggotanya lebih sedikit diminta mengalah
Agnes menuturkan, agar masalah semacam itu tidak terus terjadi, ANBTI Yogyakarta dan sejumlah lembaga lain terus menjalin komunikasi dengan pemda. Di DIY, dialog itu antara lain dilakukan dengan Parampara Praja atau lembaga penasihat Gubernur DIY serta sejumlah pemerintah kabupaten/kota di DIY.
“Kami berkomunikasi dengan pemerintah daerah karena menyadari tidak mudah menyamakan konsep berpikir pemenuhan hak beragama dan berkepercayaan,” tutur Agnes.
Penjelasan
Direktur Institut Dialog Antariman di Indonesia, Elga Sarapung, mengatakan, Instruksi Gubernur DIY Nomor 1/INSTR/2019 masih membutuhkan penjelasan lebih lanjut agar dipahami semua pihak. Dia mencontohkan, perlu ada penjelasan mengenai tindakan diskriminasi dan intoleransi beserta contoh tindakan-tindakan semacam itu.
“Perlu contoh-contoh konkret yang sering terjadi di masyarakat, juga dalam kebijakan pemerintah di berbagai tingkatan, yang masuk dalam kategori tindakan diskriminatif dan intoleran,” ungkap Elga.
Elga menambahkan, tata cara pelaporan tindakan yang dianggap intoleran dan diskriminatif juga mesti diperjelas. Selain itu, dibutuhkan pula aturan mengenai institusi yang menerima laporan tersebut. “Dibutuhkan juga penjelasan mengenai apa kewajiban dan tindakan yang perlu diambil pemerintah setempat bila terjadi praktik diskriminasi dan intoleransi di daerahnya,” katanya.
Menurut Elga, penjelasan terkait Instruksi Gubernur DIY Nomor 1/INSTR/2019 dibutuhkan agar instruksi tersebut dipahami seluruh aparatur pemerintah hingga tingkat bawah. Dengan adanya pemahaman yang memadai, instruksi itu bisa dilaksanakan dengan baik.
“Kalau terlalu umum, instruksi itu tidak jalan seperti yang diharapkan,” ujarnya.
Pulihkan citra
Direktur Eksekutif Setara Institute Ismail Hasani mengatakan, penerbitan Instruksi Gubernur DIY Nomor 1/INSTR/2019 merupakan terobosan dalam penanganan kasus diskriminasi dan intoleransi di DIY. Namun, pelaksanaan instruksi itu perlu didorong agar benar-benar berlaku efektif.
“Kalau kita bisa sama-sama mendorong instruksi dilaksanakan secara efektif, citra Yogyakarta sebagai city of tolerance (kota toleransi) bisa kita pulihkan,” katanya.
Selama beberapa tahun terakhir, citra DIY sebagai wilayah yang toleran memang tercoreng. Berdasarkan riset Setara Institute, selama tiga tahun terakhir, terjadi 77 kasus diskriminatif di DIY. Kasus diskriminasi dan intoleransi yang terbaru adalah penolakan pendirian gereja di Kampung Gunung Bulu, Desa Argorejo, Kecamatan Sedayu, Bantul, yang mengemuka awal Juli ini.
Sekretaris Daerah DIY Gatot Saptadi mengatakan, setelah terbitnya Instruksi Gubernur DIY Nomor 1/INSTR/2019, bupati dan wali kota diharapkan segera melakukan langkah-langkah konkret mencegah terjadinya praktik diskriminasi dan intoleransi. Salah satu yang mesti dilakukan adalah mencermati kembali aturan-aturan yang ada di masyarakat.
Apabila ditemukan aturan yang diskriminatif, bupati dan walikota diminta mencabut aturan-aturan tersebut. “Perlu ditertibkan regulasi yang beredar di masyarakat. Jangan sampai kearifan lokal dijadikan senjata karena kearifan lokal tetap harus mengacu pada Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, dan Undang-Undang Dasar 1945,” ujar Gatot.