Penerapan teknologi informasi menjadi salah satu bagian dari upaya yang dilakukan Mahkamah Agung untuk meningkatkan kepercayaan publik terhadap lembaga itu.
JAKARTA, KOMPAS – Perkembangan teknologi informasi yang diterapkan menjadi salah satu wujud pembaruan dari Mahkamah Agung yang dikerjakan bersama UNDP Uni Eropa-Sustain (Support for Justice Sector Reform in Indonesia) selama lima tahun ini. Kendati demikian, lembaga peradilan tertinggi di Indonesia ini masih memiliki pekerjaan rumah yang perlu dituntaskan meski kolaborasi dengan Uni Eropa ini telah berakhir.
Hal ini dipaparkan dalam penutupan proyek UNDP Uni Eropa-Sustain dengan MA yaitu 5 Tahun Mendukung Reformasi Sektor Peradilan yang digelar di Hotel Indonesia Kempinsky, Jakarta, Selasa (16/7/2019). Selain itu, bekerjasama dengan Harian Kompas diselenggarakan juga diskusi publik yang bertajuk “Mewujudkan Peradilan yang Transparan dan Akuntabel: Tantangan dan Keberhasilan”.
Hadir dalam kegiatan ini, Ketua MA Hatta Ali, Kepala Perwakilan UNDP Indonesia Christophe Bahuet, Pelaksana Tugas Kuasa Usaha Delegasi Uni Eropa Charle-Michel Geurts, dan Penasehat Senior Proyek UNDP Uni Eropa-Sustain Gilles Blanchi. Sedangkan, diskusi publik menghadirkan Wakil Ketua MA bidang Non Yudisial Sunarto, Wakil Ketua KPK Laode M Syarif, Sekretari Jenderal Transparency International Indonesia Dadang Trisasongko, dan advokat senior Harry Ponto dengan Wakil Pemerintah Redaksi Harian Kompas Tri Agung Kristanto sebagai moderator.
“Aspek pemanfaatan teknologi informasi dalam sistem yang ada di Mahkamah Agung dioptimalkan dalam Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010-2035 yang salah satunya untuk mengembalikan kepercayaan publik. Berbagai aplikasi yang lahir akan terus dijaga dan dikembangkan dengan semaksimal mungkin. Proyek Sustain ini merupakan stimulan. Berakhirnya proyek ini, tidak berarti langkah pembaruan akan terhenti,” tutur Hatta.
Adapun pemanfaatan teknologi informasi ini dilakukan sejalan dengan empat fokus utama yang disasar yakni sistem manajemen perkara, sistem manajemen sumber daya manusia, pendidikan dan pelatihan hakim/aparatur peradilan, serta pengawasan internal dan eksternal.
Selama 5 tahun berjalan, sejumlah layanan terintegrasi berbasis teknologi dengan dukungan dari proyek Sustain mendorong berkembangnya Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP), Sistem Informasi Pengawasan (SIWAS), Sistem Informasi Kepegawaian (SIKEP), hingga Sistem Informasi Pendidikan dan Latihan (SISDIKLAT).
Lewat proyek yang pendanaannya mencapai 10 juta euro ini telah melatih lebih dari 6.000 hakim dan staf pengadilan. Proyek ini juga mengembangkan model pengadilan ramah anak. Tujuan akhir proyek ini adalah untuk meningkatkan kepercayaan publik dalam sistem peradilan dan menegakkan rule of law.
“Waktu berubah, transparansi bukanlah suatu pilihan. Itu adalah kenyataan di peradilan seperti di tempat lain. Jika tidak transparan, maka seseorang akan transparan untuk anda. Ini dibuktikan dengan Wikileaks, Panama Papers, dan pengungkapan whistle blowerlainnya,” ujar Gilles.
Sunarto berpendapat senada. Menurut dia, kesulitan dalam melakukan reformasi ini juga terjadi di lembaganya. Kendati demikian, upaya untuk terus menggencarkan penerapan sistem berbasis teknologi yang terintegrasi tak terhenti. “Mau apa lagi? Solusinya ada pada pemanfaatan teknologi untuk transparansi dan akuntabilitas. Tantangannya ada,mereka yang suka terima suap itu tidak suka dengan reformasi karena terganggu,” ungkap Sunarto.
Sementara itu, Syarif dan Dadang mengapresiasi reformasi yang terjadi di tubuh MA. Akan tetapi, masukan dan dorongan untuk terus berbenah tetap ada. Menurut keduanya, salah satu penyebab skor Indeks Persepsi Korupsi hanya naik sedikit karena korupsi politik dan korupsi di sektor penegak hukum masih tinggi.
Persoalan korupsi di sektor penegak hukum ini juga melanda MA. Berdasarkan catatan KPK periode 2004-2019, ada 25 hakim di bawah naungan MA yang terjerat korupsi dengan modus suap penanganan perkara. Bahkan ada sejumlah hakim yang ditangkap itu telah mengikuti program terkait integritas.