Beragam Keindahan Melayu di Satu Panggung
Dua penari muncul dari sisi kanan dan kiri bagian belakang panggung. Begitu bertemu, mereka bersalaman kemudian sama-sama melangkah ke tengah panggung. Selanjutnya, mereka mengatupkan kedua tangan di depan dada dan menundukkan kepala sebagai salam kepada penonton.
Setelah itu, mereka duduk. Lutut kiri menyentuh lantai dan tangan kiri diletakkan di atasnya. Sementara lutut kanan ditegakkan, menopang lengan kanan. Kepala masing-masing tetap tertunduk.
Ketika alunan musik berupa perpaduan gambus (alat musik petik) dan marwas (alat musik tepuk) serta dendang terdengar, keduanya berdiri, menegakkan kepala, dan mulai menari.
Gerakannya tidak begitu banyak. Itu diawali dengan kaki kanan maju bersamaan dengan kedua lengan dengan pelan. Sementara kepala menunduk dan punggung sedikit membungkuk.
Di bagian akhir, sebelum gerakan serupa diulang kembali dengan kaki kiri yang lebih dahulu maju, kedua penari menegakkan kepala dan melempar senyum. Sesekali sambil terus menari dengan gerakan tersebut, mereka berputar atau bergerak melingkar.
Itulah sekilas tari Zapin Tradisi Bengkalis yang dibawakan Kumpulan Seri Seni Melayu (KSSM) asal Pekanbaru, Riau, pada Festival Nan Jombang Tanggal 3 di Ladang Tari Nan Jombang, Balai Baru, Kota Padang, Sumatera Barat, Rabu (3/4/2019). Festival Nan Jombang Tanggal 3 pada tanggal tiga setiap bulan diselenggarakan Komunitas Galombang Minangkabau bersama Nan Jombang Dance Company didukung Bakti Budaya Djarum Foundation dan Taman Budaya Sumbar.
Zapin Tradisi Bengkalis bukan satu-satunya tari dari KSSM pada Festival Nan Jombang Tanggal 3. Total ada delapan ragam tarian yang ditampilkan, yakni Kemilau Riau (terdiri dari lima tari), Zapin Tradisi Bengkalis, Zapin Cak Esah, Pekan Cik Puan, Perempuan, Zapin Jalan Panjang, Zapin Pecah Dua Belas, dan Ompu.
Zapin Cak Esah, sebagai pengembangan, memiliki dasar gerakan yang sama dengan zapin tradisi, yakni dominasi gerakan kaki dan tangan. Namun, gerakannya jauh lebih bervariasi, termasuk di dalamnya gerakan melompat. Apalagi, penarinya lebih banyak, yakni enam orang, terdiri dari dua laki-laki dan empat perempuan.
”Karena Cak Esah adalah pengembangan dari tradisi, musik pengiringnya juga sudah berkembang dengan penambahan biola, akordeon, dan gendang,” kata Sunardi selaku koreografer dan pimpinan KSSM.
Zapin lainnya, seperti Zapin Jalan Panjang, juga merupakan zapin pengembangan. Malam itu, Zapin Jalan Panjang dibawakan lima penari laki-laki. Dibanding zapin tradisi yang terbatas dan pelan, gerakan di Zapin Jalan Panjang lebih dinamis dengan tempo yang lebih cepat, bahkan disertai teriakan para penari di bagian akhir.
Sementara Zapin Pecah Dua Belas merupakan zapin yang berkembang di daerah Pelalawan, Riau. Dalam sejarahnya, tari ini ada sejak berdirinya kerajaan Pelalawan tahun 1811-1945.
Seperti halnya zapin tradisi, Zapin Pecah Dua Belas yang malam itu dibawakan tiga penari perempuan dengan diiringi musik gambus dan marwas juga lebih menonjolkan gerakan kaki. Sementara gerakan tangan terbatas. Itu pun didominasi tangan kanan yang digerakkan mengikuti gerak kaki yang dilangkahkan. Sementara tangan kiri membentuk siku-siku dan sedikit dirapatkan di sisi dada sebelah kiri.
Kemilau Riau
Meski zapin bisa dikatakan sebagai pencuri panggung, penonton yang datang ke Ladang Tari Nan Jombang juga disuguhi tarian lain yang tak kalah memikat. Kemilau Riau, misalnya, merupakan kombinasi dari lima tari, yakni silat, rentak bulian yang merupakan tari pengobatan suku Talang Mamak di Indragiri Hulu, randai Teluk Kuantan, bajamba, dan joget.
Rentak bulian, seperti namanya, didominasi entakan kaki kiri dan kanan secara bergiliran. Dalam pementasan tersebut, tiga penari perempuan muncul terlebih dahulu lalu mengentakkan kaki bergiliran ke lantai sambil merentangkan kedua lengan.
Tak lama kemudian, para penari perempuan duduk bersimpuh sambil terus menari hingga muncul penari laki-laki. Sang penari laki-laki juga menari dengan mengentakkan kaki kemudian mengelilingi satu penari perempuan. Di bagian akhir, semua penari perempuan berdiri dan menari bersama penari laki-laki.
Selain Kemilau Riau, ada juga tari Pekan Cik Puan. Menurut Sunardi, tari ini berkisah tentang pasar tradisional yang mulai tergusur dengan adanya pasar-pasar modern. ”Padahal, keberadaan pasar tradisional penting, karena banyak sekali yang menggantungkan hidup, terutama masyarakat kelas menengah ke bawah,” kata Sunardi.
Pekan Cik Puan cukup menyita perhatian penonton. Apalagi, tarian yang dibawakan tiga penari laki-laki ini cenderung kocak. Tari ini bahkan satu-satunya yang menggunakan aksesori berupa keranjang dan daun singkong untuk memperkuat suasana pasar.
Meski terlihat kocak dan mampu memancing gelak tawa penonton, Pekan Cik Puan memiliki gerakan yang terbilang kompleks. Tidak sekadar gerakan kaki dan tangan yang padu, para penari juga harus melompat, saling mengangkat, menari dengan aksesori yang ada. Pada saat yang sama, mereka juga harus membangun dan menjaga jalan cerita tentang suasana di pasar.
Dari sekian banyak tarian, Perempuan yang terasa paling personal. Menurut Sunardi, tari ini memang terinspirasi dari perempuan-perempuan yang ada di sekitarnya. ”Saya memiliki tujuh kakak perempuan. Mereka mewarnai perjalanan hidup saya. Saya selalu melihat bagaimana tegarnya mereka menghadapi masalah,” kata Sunardi.
Perempuan dibawakan dua perempuan penari. Gerakannya berupa langkah kaki yang pelan dan lembut, gerakan tangan yang gemulai, serta sesekali menari sambil setengah kayang. Layaknya sebagian besar tarian yang disuguhkan KSSM malam itu, perempuan juga tanpa aksesori panggung.
Selain pakaian, mereka juga membawa serta kain panjang sebagai salah satu unsur utama tarian
Beragam
Menurut Sunardi, secara garis besar, melalui seluruh tarian yang telah dilatih sekitar tiga bulan itu, ia ingin menyampaikan betapa beragamnya seni tradisi di Pekanbaru, khususnya Riau daratan.
”Pada tari pertama, yakni Kemilau Riau, misalnya, saya ingin memperlihatkan bagaimana keberagaman Riau menjadi satu kesatuan yang unik. Mulai dari joget, zapin, dan silat kita gabung jadi satu pertunjukan,” kata Sunardi.
Sementara untuk zapin, terutama zapin pengembangan, kata Sunardi, untuk menunjukkan bawah tradisi itu bisa mengikuti perkembangan zaman tanpa menghilangkan unsur tradisi itu sendiri.
Hal itu juga dirasakan para penonton yang berasal dari berbagai latar belakang. Rinaldi Sikumbang (36), dosen salah satu perguruan tinggi negeri di Sumbar, mengatakan, kesenian Melayu, khususnya zapin, sulit ditemukan. Ia termasuk yang baru pertama kali menyaksikan zapin secara langsung.
”Meski suka Melayu, saya tidak pernah melihat langsung. Selama ini, zapin tradisi hanya dilihat dari lagu-lagu penyanyi Malaysia, Siti Nurhaliza,” kata Rinaldi.
Rinaldi mengatakan, kesenian tradisi seperti zapin harus terus diakomodasi dan mendapat tempat untuk tampil. Oleh karena itu, ia termasuk mengapresiasi kegiatan Festival Nan Jombang Tanggal 3, yang mau menampilkan seni budaya Melayu.
Direktur Festival Angga Djamar mengatakan, tradisi sebagai budaya sekelompok masyarakat menjadi identitas yang perlu dipertahankan. Hal itu bertujuan menjaga terciptanya masyarakat berbudaya.
Menurut Angga, kehadiran KSSM diharapkan menambah khazanah tentang seni budaya Melayu. Hal itu sejalan dengan tujuan Festival Nan Jombang Tanggal 3, yakni sebagai ruang berproses, belajar, dan berkarya bersama. (Ismail Zakaria)