Meski telah rutin melakukan penertiban, nyatanya Perusahaan Negara Garuda masih ”kecolongan”, terutama di bagian pasasir. Petugas atau orang dalam bekerja sama dengan tukang catut. Di Bandara Kemayoran, 15 April 1968, beberapa penumpang merasa kecewa karena tidak dapat terbang ke Telukbetung.
Di dalam manifes penumpang No 44320 dan No 44331 tercantum nama penumpang yang akan terbang ke Telukbetung pada 15 April dengan pesawat GA 116. Ternyata, penumpang yang telah memiliki tiket sejak 13 April dicoret dari manifes penumpang dan tidak diizinkan terbang. Anehnya, pemilik tiket No 3926557 dan No 3926558 yang baru beli pagi harinya dapat terbang dengan pesawat tersebut yang lepas landas pukul 13.00 (Kompas, 17/4/1968).
Perusahaan Negara (PN) Garuda dalam penjelasannya yang dimuat di rubrik Surat Pembaca Kompas, Rabu (24/4/1968), menyatakan ada miskomunikasi soal itu. Dikatakan, pada hari tersebut semua penumpang diberangkatkan sesuai dengan daftar manifes dan tidak ada yang ditelantarkan.
Modus lain jual-beli tiket dengan calo dialami seorang bapak yang akan pergi ke Semarang dengan Garuda pada 25 April 1976, pukul 13.00. Ia bisa berangkat setelah membeli tiket dari seseorang dengan harga lebih mahal Rp 1.250 daripada harga resmi. Padahal, saat antre di loket, dikatakan tiket sudah habis.
Dirut Perum Angkasa Pura Hari Soebagyo, dalam jumpa pers menyambut hari jadi ke-17 Angkasa Pura, 17 Februari 1981, mengatakan, calo-calo itu tidak mungkin bisa hidup subur kalau tidak ada kerja sama dengan orang dalam.
Praktik percaloan bukan hanya menyangkut urusan tiket pesawat, melainkan juga taksi di Bandara Kemayoran. Sudah banyak penumpang yang mengeluhkan penggunaan jasa taksi, mulai dari tarif borongan tanpa argometer hingga ancaman diturunkan di tengah jalan jika tidak bersedia membayar sejumlah biaya. Kini Bandara Kemayoran sudah tiada. Sistem percaloan tiket juga tinggal kenangan masa silam. (JPE)