Sektor Maritim Harapkan Suku Bunga Turun
JAKARTA, KOMPAS
Keinginan Indonesia menjadi kekuatan maritim belum terwujud sepenuhnya. Ekosistem yang mendukung pertumbuhan kekuatan maritim belum terbentuk.
"Saat ini banyak yang mengeluh, salah satu penyebab defisit transaksi berjalan adalah banyaknya pembelian kapal dari luar negeri. Pembelian kapal, baik baru maupun bekas, dari luar negeri cukup banyak karena harga kapal di Indonesia mahal. Mahalnya harga kapal lokal karena memang hampir semua bahan baku masih harus diimpor," kata Ketua Umum Ikatan Perusahaan Industri Kapal (Iperindo) Eddy Kurniawan Logam di Jakarta, Rabu (17/7/2019).
Sejak azas Cabotage diberlakukan di Indonesia, pertumbuhan kapal di Indonesia sebanyak 1.300 unit setiap tahun. Namun, sebagian besar kapal itu diimpor. Sejak 2016, pemesanan kapal dengan dana APBN sangat kecil jumlahnya.
"Pembuatan kapal paling besar dilakukan swasta. Namun, swasta memilih membeli kapal dari luar negeri karena di sana untuk membuat kapal tidak dibebani suku bunga bank yang tinggi dan jangka waktu yang pendek. Dengan fasilitas perbankan yang meringankan, harga kapal luar negeri jadi lebih murah dibandingkan dengan di dalam negeri," jelas Eddy.
Saat ini, suku bunga untuk pinjaman membangun kapal berkisar 12-13 persen. Sementara, di luar negeri, suku bunga pinjaman 3-5 persen. Selain itu, perbankan hanya menyediakan jangka waktu lima tahun untuk pinjaman membangun kapal. Akibatnya, biaya cicilan menjadi sangat berat.
"Kalau suku bunga dan jangka waktu diperingan, tentu akan banyak kapal dibangun di Indonesia. Jika banyak kapal, akan mendorong pembukaan lapangan kerja dan industri komponen tumbuh subur. Jadi perubahan regulasi ini akan mendorong pertumbuhan di industri maritim," ujar Eddy.
Sementara itu, Ketua Umum Indonesia National Shipowners\' Association (INSA) Carmelita Hartoto mengatakan, masalah suku bunga dan jangka waktu yang tidak kondusif sudah disampaikan beberapa kali ke pemerintah. "Katanya akan mengeluarkan peraturan soal pembiayaan kapal. Tetapi hingga kini belum ada realisasinya," kata Carmelita.
Kepala Bagian Departemen Penelitian dan Pengaturan Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Rochma Hidayanti mengatakan, sebenarnya OJK tidak pernah mengatur jangka waktu tenor pinjaman. "Kami tidak mengatur berapa tahunnya, tetapi lebih mengatur berdasarkan usia penggunaan sebuah produk. Misalnya kredit motor, hanya bisa diberikan maksimal lima tahun, karena usia guna sepeda motor tidak panjang. Ketika umur sepeda motor sudah mencapai 6 tahun, dia mulai turun kemampuannya," kata Rochma.
Jika memang, tambah Rochma, kapal mempunyai usia yang lebih panjang, bisa lebih dari 20 tahun, tentu bisa diberikan tenor yang lebih panjang. "Bisa sampai 15 tahun," kata dia.