Kami akan menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan tepercaya.
Demikian bunyi butir keempat dari agenda prioritas Presiden Joko Widodo, dan Wakil Presiden M Jusuf Kalla, yang dinamai Nawacita. Sembilan harapan yang akan diwujudkan dalam lima tahun pemerintahannya, periode 2014-2019.
Pada Pemilu 2019, Joko Widodo terpilih kembali sebagai presiden untuk periode 2019-2024, berpasangan dengan calon wakil presiden Ma’ruf Amin. Presiden terpilih sudah menyampaikan pidato, Minggu (14/7/2019), di Sentul, Jawa Barat, berjudul ”Visi Indonesia”. Ada lima tahapan (prioritas) yang diangkat agar bangsa Indonesia menjadi lebih produktif, memiliki daya saing, dan mempunyai fleksibilitas yang tinggi dalam menghadapi perubahan dalam masyarakat dunia.
Visi Indonesia tampaknya lebih berfokus pada ekonomi, seperti tetap melanjutkan program pembangunan infrastruktur, mengundang investasi, membangun sumber daya manusia, dan menggunakan APBN secara tepat sasaran. Tak ada yang secara khusus berbicara persoalan hukum, seperti pemberantasan korupsi, penegakan hukum, dan penegakan hak asasi manusia (HAM), termasuk menyelesaikan dugaan pelanggaran HAM di masa lalu. Padahal, ketidakpastian hukum bisa menghambat investasi.
Beragam interpretasi bisa muncul terkait pidato Visi Indonesia yang nyaris tidak menyebutkan pentingnya hukum. Padahal, dalam Nawacita, masalah hukum adalah agenda prioritas. Bisa jadi untuk periode kedua mendatang, penegakan hukum dan pemberantasan korupsi dianggap sudah berada di jalur yang benar.
Kalau melihat data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), investasi di Indonesia tahun 2017 tumbuh 10 persen lebih. Namun, pada 2018, pertumbuhannya melambat dan tinggal sekitar 4 persen. Selain faktor ekonomi dan internasional, investasi di negeri ini juga terhambat persoalan politik dan kemudahan perizinan. Kepastian hukum menjadi sorotan dari sejumlah calon investor pula.
Presiden terpilih semoga tak melupakan penegakan hukum, penyelesaian HAM, dan pemberantasan korupsi. Sebagian kalangan menilai, korupsi bisa menjadi pelumas pembangunan. Senyatanya, korupsi akan menghancurkan pembangunan. Persoalan hukum masih membelit negeri ini dan memerlukan perhatian dari pemerintah mendatang. Transparency International Indonesia (TII), dalam lima tahun terakhir, mencatat indeks persepsi korupsi Indonesia membaik, tetapi hanya bergerak dari poin 36 ke 38. Lambat, seperti pepatah alon-alon waton kelakon (biar lambat asal terjadi).
Dalam Visi Indonesia, presiden terpilih menegaskan pentingnya mereformasi birokrasi kembali. Persoalan hukum dan korupsi tak bisa dipisahkan dari birokrasi. Birokrasi di negeri ini sudah berbenah, tetapi belum cukup. Semoga niat presiden terpilih untuk memimpin sendiri reformasi birokrasi adalah bahasa lain dari penegakan hukum tak pernah ditinggalkan.