“The Squad” Melawan Trump, Potret Industri Politik Kepentingan
Sasaran pesan Trump adalah empat anggota House of Representatives AS (DPR) dari Demokrat. Trump tidak menyebutkan nama-nama. Akan tetapi, media AS menyebutkan, sasaran Trump adalah ”The Squad”.
”Orang-orang ini benci Amerika. Jika Anda tidak senang, kembalilah ke negara asalmu yang paling korup, kacau, dan tidak efektif ...” Inilah antara lain isi Twitter Presiden AS Donald Trump pada Senin (15/7/2019). Pesan ini dia ulangi lagi dalam berbagai kesempatan.
Sasaran pesan Trump adalah empat anggota House of Representatives AS (DPR) dari Demokrat. Trump tidak menyebutkan nama-nama. Akan tetapi, media AS menyebutkan, sasaran Trump adalah ”The Squad”, sebutan untuk sekelompok politikus Demokrat yang memiliki perjuangan sama.
The Squad adalah julukan bagi Alexandria Ocasio-Cortez (Demokrat-New York kelahiran AS berdarah Puerto Riko), Ilhan Omar (Demokrat-Minnesota kelahiran Mogadishu, Somalia), Ayanna Pressley (Demokrat-Massachusetts kelahiran Ohio berdarah Afrika), Rashida Tlaib (Demokrat-Michigan kelahiran Detroit berdarah Palestina).
Empat perempuan ini adalah penentang keras Trump dalam banyak hal. Mereka mengkritik Trump yang memberangus imigran, menentang supremasi kulit putih, mengkritik pengurangan jaminan sosial bagi warga kurang mampu, menolak pembangunan tembok di perbatasan AS-Meksiko, hingga menolak perlakuan istimewa AS di bawah Trump pada Israel.
Mereka menyerang benang merah kebijakan Republikan dan Trump, yang abai pada warga tak mampu dan minoritas AS. Mereka juga mengkritik kapitalisme liberal, pemerintahan dengan anggaran boros dan tidak peduli pada keamanan jangka panjang keuangan negara. ”Kami (The Squad) adalah mimpi buruk bagi Trump. Saya wewakili para pemilik impian, pekerja, imigran, orang-orang minoritas...,” kata Pressley.
Omar meminta pengampunan utang tertunggak oleh para mahasiswa sebab Trump memberi keringanan pajak pada korporasi besar AS. Omar gencar mengkritik Israel terkait pendudukan Palestina. Dukungan ini dia katakan sebagai pengaruh dari lobi Israel di AS lewat American Israel Public Affairs Committee (AIPAC).
Baca juga: Isi Memo Dubes Inggris Soal Trump Bukan Hal Baru
Tlaib juga pengkritik kebijakan Trump soal Israel, mengkritik Arab Saudi sahabat AS, terkait hak-hak asasi manusia dan intervensi Arab Saudi di Yaman.
Cortez menyerang kapitalisme dan mengadvokasi program sosial seperti terbukti bisa berjalan di Inggris, Norwegia, Finlandia, dan Swedia.
Perang ideologi dua partai
Empat orang ini menegaskan dukungan untuk penjungkalan Trump sebagai presiden (impeachment) dengan alasan memiliki banyak kesalahan. Keempatnya menangis menyaksikan penyergapan imigran di AS yang diperburuk dengan pemisahan anak-anak dari para orangtua mereka.
Ide-ide empat perempuan ini sebenarnya sekaligus mewakili ideologi partai mereka, Demokrat. Salah satu contoh, Demokrat tidak bermasalah dengan program sosial, tetapi tabu bagi Republikan. Para ”Srikandi” AS ini memang tergolong sangat garang dan berani menentang pemerintahan Trump.
Baca juga: Serangan ke Iran Tak Perlu, Solusi Terbuka Lebar (1)
Mereka berprinsip untuk perjuangan itulah mereka dipilih para pendukung. Keberanian The Squad ini jarang dimiliki para anggota Kongres yang lain. Keberanian mereka yang tergolong unik adalah kritik terhadap keberpihakan AS pada Israel. Ini merupakan isu umum, tetapi tidak lazim dibahas di publik AS, namun tidak pernah tenggelam dalam dunia politik AS.
Kontroversial
Penyinggungan Israel dan lainnya dalam kritik mereka termasuk membuat Trump angkat bicara. ”Orang-orang ini merasa mampu menjalankan tugas dan menganggap diri layak mengajari Pemerintah AS. Jika Anda tidak bahagia, kembali saja ke negara asal Anda.” Demikian lebih kurang balasan Trump atas segala kritik The Squad.
Berita soal Trump kembali mendunia. Dia dituduh rasis di dalam negeri dan di luar negeri. Perdana Menteri Inggris Theresa May, juga Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau yang memiliki darah Melayu, mengatakan, ucapan Trump amat tidak pas. Televisi CNN pun mengompilasi komentar dari banyak kelompok.
Tentu ada juga pendukungnya. Ada orang dari kelompok supremasi kulit putih yang bersepakat dengan Trump agar empat perempuan itu dikembalikan saja ke negara asal nenek moyangnya.
Trump mengatakan tidak peduli dengan segala kritik, bahkan mengucapkan, ”People love it” (Orang-orang menyukainya). Trump membantah dirinya rasis dengan mengatakan, ”Saya tidak rasis.... Tidak ada dalam darah saya niat soal rasisme.”
Baca juga: China Siap Pimpin Dunia dengan ”Mengabaikan” AS
Serangan Trump memiliki insinuasi rasisme. Persepsi sekelebat pun memunculkan serangan Trump itu rasis. Trump mungkin benar berdasarkan persepsinya bahwa dia tidak rasis. Trump dikenal mudah menyerang balik orang-orang yang tidak menyukainya. Dia lebih kerap tidak memikirkan konsekuensi dari ucapannya sebagai Presiden AS.
Akan tetapi, ketika Trump menyampaikan agar empat perempuan anggota Kongres AS kembali saja ke negara asal orangtua mereka, jelas mencuat cap rasisme. Apalagi, dia sebutkan, negara-negara itu tercabik-cabik dan kacau balau.
Kata sampah terucap
Ada nuansa pelecehan di balik kalimat-kalimat serangan Trump yang sinis, sarkas, dan tanpa tedeng aling-aling. Maka, hal ini memunculkan adrenalin empat perempuan anggota Kongres AS itu. Omar, misalnya, menyebut dari mulut Trump keluar inti-inti dari sampah.
Saat jumpa pers bersama empat perempuan itu pada Senin (15/7/2019), Omar menambahkan, ”Pembicaraan soal rasialisme terjadi dalam kehidupan.... Namun, kini rasialisme telah masuk ke Gedung Putih.”
DPR AS yang dikuasai Demokrat akhirnya mengeluarkan resolusi pada hari Selasa dengan suara 240-197. Isinya mengecam bahasa Trump yang rasis.
Bukan Trump jika dia mengalah. Dia kembali menerjang dengan menyinggung serangan 11 September 2001, Al Qaeda, dan kemelut di Somalia. Muncul lagi insinuasi baru dari Trump, didukung Lindsey Graham (anggota DPR AS dari Republikan), seakan empat anggota Kongres itu adalah komunis atau sosialis.
Sistem yang salah
Perang ideologi dua partai berkembang menjadi mirip aksi saling serang personal yang dipicu Trump. Uniknya, perang seperti ini lazim terjadi sejak Trump menjadi presiden. Uniknya lagi, tidak ada gejala bahwa serangan seperti ini akan berhenti, apalagi menjelang pemilu Presiden AS 2020.
Trump memiliki pendukung demikian juga The Squad. Tidak akan ada yang mengalah dan tidak ada solusi permanen untuk sebuah titik temu. Harvard Business Review menuliskan bahwa ini semua karena politik duopoli di AS telah berkembang menjadi sebuah industri, yakni industri politik.
Politik duopoli menjadi mirip ajang bisnis. Serupa saja untuk keduanya, baik Republikan dan Demokrat, menurut HBR. Bagaimana mengakhiri semua ini? Tidak ada yang tahu dan ini sudah berlangsung dari tahun ke tahun dan memuncak di era Trump.
Menjawab ini, ada ekstraksi dari tulisan berjudul ”Why Competition in the Politics Industry is Failing America—A Strategy for Reinvigorating Our Democracy”, ditulis oleh Katherine M Gehl and Michael E Porter dari Harvard Business Review.
Tidak ada kontrol
Politisi dari duopoli pada umumnya beraksi seperti pelaku ekonomi, dalam hal ini pada industri politik. Di dalamnya ada kepentingan uang yang besar, kepentingan kelompok. Demi kelompoknya, setiap partai yang berkuasa akan menelurkan undang-undang yang menguntungkan kelompoknya, bahkan keduanya bisa saling mengubah aturan yang telah dibuat partai pesaingnya.
Politisi dengan ucapan melenceng dan perilaku melenceng pun makin subur sebab mereka tidak berperilaku lagi sebagai politisi demi kepentingan bersama. Di industri politik, para politisi menjadi mirip sebagai tenaga pemasaran bagi masing-masing partai. Demi partainya, demi dirinya dengan taburan uang, itulah bagian dari industri politik ini.
Tidak ada kontrol lagi pada perilaku dan tidak ada penilaian pada kinerja. Uniknya lagi, tidak ada kebijakan dari duopoli demi kepentingan jangka panjang AS sebagai sebuah negara.
Kepentingan umum dan kesempatan bagi kelompok independen pun tersisih dari sistem yang terbentuk oleh duopoli partai politik di AS ini. Lebih lanjut lagi, semakin jauh budaya atau praktik bipartisan bagi duopoli partai.
”Inilah yang menggagalkan demokrasi AS dan menjadi beban bagi negara keseluruhan,” demikian Gehl dan Porter.
Baca juga: Mengapa Negara Wajib Memiliki Kestabilan
Kali ini, duopoli ribut soal rasisme. Di lain waktu, mereka bisa dan mudah lagi ribut soal isu lain. Duapoli telah ribut soal pembangunan tembok AS-Meksiko. Menurut Gehl dan Porter, hal itu disebabkan para pelaku dari duopoli partai pada industri politik AS ini menyuarakan kepentingan konstituennya semata.
Reformasi sistem politik dan pengembalian politik ke jalur dasarnya, perjuangan politisi demi kepentingan semua warga, menurut dua penulis, adalah jalan terbaik. Hanya itu yang akan membuat AS kembali tegak dengan demokrasi sesungguhnya. Kesadaran warga dan elite politik, menurut Gehl dan Porter, amat diperlukan untuk kebaikan AS di masa depan.
Jika hal ini tidak ditegakkan, perjuangan sejati The Squad pun berisiko terjebak dalam persepsi politik kepentingan. Tentu ada perjuangan The Squad yang menyentuh nurani, seperti penolakan terhadap kebijakan pemerintahan Trump yang memisahkan anak-anak imigran dari orangtua mereka. Kebijakan ini ditentang Demokrat dan Republikan. Akan tetapi, sistem yang telah terbentuk mudah mementalkan kebenaran hakiki dari sebuah perjuangan politik sejati. (REUTERS/AP/AFP)