Perserikatan Bangsa-Bangsa menyatakan Asia Tenggara sebagai pusat pengendali kejahatan narkoba hingga penyelundupan manusia.
BANGKOK, KAMIS —Sindikat kejahatan terorganisasi di Asia Tenggara berkembang pesat dalam perdagangan gelap obat- obatan terlarang, satwa liar, barang-barang palsu, hingga penyelundupan manusia. Kontrol wilayah perbatasan antarnegara yang lemah di Asia Tenggara dan diperparah dengan praktik korupsi membuat pergerakan orang ataupun barang-barang ilegal semakin sulit dikendalikan dan diberantas. Catatan serius itu termuat dalam laporan setebal 179 halaman yang dirilis Kantor PBB Urusan Narkoba dan Kejahatan (UNODC) di Bangkok, Thailand, Kamis (18/7/2019).
”Asia Tenggara memiliki masalah kejahatan terorganisasi dan kini saatnya menyatukan solusi mengatasi kondisi yang memungkinkan bisnis ilegal tumbuh, dan untuk mengamankan serta bekerja sama di
sepanjang perbatasan,” kata Jeremy Douglas, pejabat perwakilan regional Asia Pasifik UNODC.
Salah satu yang mendapat perhatian besar dalam laporan itu adalah perdagangan produk narkoba. Douglas mengatakan, tahun ini nilai kumulatif pasar metamfetamin atau umumnya diketahui sebagai narkoba jenis sabu lebih dari 60 miliar dollar AS. Jumlah itu melonjak dari temuan tahun 2013 yang diperkirakan baru sekitar 15 miliar dollar AS.
Faktor kelompok kartel tertentu dinilai jadi pendongkrak bisnis ilegal itu di Asia Tenggara. Kartel, yang berbasis di Hong Kong, Makau, Taiwan, dan Thailand, memproduksi sebagian besar metamfetamin mereka di Myanmar utara di laboratorium skala industri dan mendistribusikannya hingga Jepang dan Selandia Baru.
Pasar
”Pasar metamfetamin di Asia Pasifik saat ini terbesar di dunia,” kata Douglas. ”Dari semua jenis kejahatan terorganisasi, perdagangan narkoba adalah yang paling berbahaya dan menguntungkan.”
Pasar paling besar mencakup Australia, Jepang, Selandia
Baru, dan Korea Selatan dengan nilai 20 miliar dollar AS. Badan tersebut memperkirakan nilainya mencapai sepertiga dari pasar kelas atas produk ilegal itu.
Lebih dari 12 juta pengguna di Asia Timur, Asia Tenggara, Australia, dan Selandia Baru mengonsumsi sekitar 320 ton metamfetamin murni tahun lalu dan 120 ton di antaranya disita penegak hukum. Volume penyitaan itu adalah sebuah rekor tersendiri.
Douglas menegaskan, aksesibilitas dan harga metamfetamin memungkinkan pasarnya terus berkembang. ”Jadi, kamu bisa membeli metamfetamin di Bangkok seharga 2 dollar AS per pil. Itu setara dengan harga satu liter susu,” katanya.
Mantan Perdana Menteri Thailand Prajin Juntong mengatakan, pemerintahnya siap bekerja sama dengan PBB dan negara lain untuk memerangi ancaman itu. Penegakan hukum dan laboratorium obat
forensik harus didukung
untuk mengidentifikasi perubahan di pasar obat terlarang ketika jaringan kejahatan mendiversifikasi bahan kimia yang digunakan untuk memproduksi metamfetamin.